Sore itu, langit di atas Florence terlihat muram, seolah ikut merasakan ketegangan yang belum mereka sadari. Di studio yang menghadap ke taman belakang, Averine duduk bersila di lantai kayu sambil membersihkan kuas lukis satu per satu. Perutnya yang besar sedikit menghalangi gerak, tapi wajahnya tenang, hampir damai. Dia menyeka sisa warna akrilik dari gagang kuas dengan kain flanel tua milik ibunya. Di sisi lain studio, Darian sedang mencoba menggantung lukisan yang baru saja selesai mereka kurasi.
"Kita bisa buka sesi komunitas minggu depan," gumam Averine sambil mengelus perutnya. "Kalau kamu jadi lahir minggu ini, semoga kamu sabar nunggu..."Tiba-tiba, sebuah denyutan kuat menyambar di perut bagian bawah. Averine terdiam. Tangannya mencengkeram kain flanel, dan dia menarik napas panjang. Denyutan itu datang lagi, lebih tajam kali ini."Darian..."Suaminya menoleh dari tangga kecil yang ia naiki. "Kenapa?"Averine memejamkan mata sejeSuara hujan di luar kamar bersalin masih terdengar samar, menyatu dengan detak jantung yang muncul dari monitor di samping ranjang Averine. Malam sudah bergeser ke dini hari. Aroma antiseptik mengambang, bercampur aroma lembut lavender dari diffuser kecil yang diam-diam dibawa Darian ke ruangan.Averine menggenggam sisi ranjang lebih erat. Kontraksi demi kontraksi datang dengan gelombang tak terduga. Perawat menyeka keringat di dahinya, sementara Darian berdiri di samping, tangannya tak lepas dari jemari istrinya. Tak satu pun dari mereka berbicara banyak keduanya terlalu fokus untuk bertahan.Dan saat momen itu tiba, waktu seolah berhenti. Dalam kepadatan rasa sakit, ketakutan, cinta, dan harapan, terdengarlah suara yang mereka tunggu. Tangisan bayi. Tangisan pertama dari jiwa kecil yang baru menyapa dunia.Averine terisak. Air matanya langsung jatuh, tanpa bisa ditahan. Tangannya bergetar ketika perawat meletakkan bayi mungil yang dibungkus kain putih be
Sore itu, langit di atas Florence terlihat muram, seolah ikut merasakan ketegangan yang belum mereka sadari. Di studio yang menghadap ke taman belakang, Averine duduk bersila di lantai kayu sambil membersihkan kuas lukis satu per satu. Perutnya yang besar sedikit menghalangi gerak, tapi wajahnya tenang, hampir damai. Dia menyeka sisa warna akrilik dari gagang kuas dengan kain flanel tua milik ibunya. Di sisi lain studio, Darian sedang mencoba menggantung lukisan yang baru saja selesai mereka kurasi."Kita bisa buka sesi komunitas minggu depan," gumam Averine sambil mengelus perutnya. "Kalau kamu jadi lahir minggu ini, semoga kamu sabar nunggu..."Tiba-tiba, sebuah denyutan kuat menyambar di perut bagian bawah. Averine terdiam. Tangannya mencengkeram kain flanel, dan dia menarik napas panjang. Denyutan itu datang lagi, lebih tajam kali ini."Darian..."Suaminya menoleh dari tangga kecil yang ia naiki. "Kenapa?"Averine memejamkan mata seje
pagi itu, udara Florence menyentuh kulit dengan kelembutan khas musim semi. Matahari masih malu-malu muncul dari balik menara tua, dan langit dibalut warna jingga yang perlahan menjingga keemasan. Averine berdiri diam di depan bangunan tua Valente, tangan kirinya bertumpu di perut yang makin membesar, tangan kanannya menggenggam kunci besi yang dulu pernah ia buang dalam kemarahan.Pintu kayu itu masih sama. Usang, dengan bekas ukiran mawar yang samar. Tapi sekarang, dari balik kaca jendelanya, terlihat kilau cahaya dan warna.“Kamu siap?” Darian berdiri di sampingnya, membawa dua gulungan lukisan dan tas kanvas berisi cat air.Averine mengangguk pelan. “Aku nggak tahu harus senang atau gugup.”“Senang aja,” kata Darian. “Valente bukan sekadar gedung. Ini ruang pulang. Dan kamu yang ngebuat dia bernyawa lagi.”Dengan napas dalam, Averine memutar kunci dan mendorong pintu.Suasana di dalam langsung menyambutnya dengan aroma cat ba
Langit sore mulai memudar warnanya jadi jingga pucat ketika Averine membuka jendela besar di studio. Angin membawa aroma cat minyak, debu kayu, dan wangi lavender kering yang menggantung di pojok ruangan. Hari itu sepi sekali. Rasanya seperti semua orang di dunia sedang menunggu dia menemukan sesuatu. Dan dia benar-benar menemukannya. Di antara tumpukan lukisan tua peninggalan Camilla yang baru saja dikirim dari rumah keluarga Almanda ada satu kanvas yang tampak berbeda. Usang, warnanya memudar, tapi begitu mata Averine menatapnya, ada sesuatu yang membuatnya berhenti bernapas sebentar. Bukan karena gambar lukisannya. Tapi karena ada amplop kecil yang diselipkan di belakang kanvas, ditempel rapi di bagian yang nyaris tak terlihat. Averine menyentuhnya pelan. Kertasnya rapuh, menguning, sedikit berdebu. Ia menarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Ada rasa yang sulit dijelaskan antara takut, penasaran, dan… rindu. Amplop itu terbuka dengan bunyi kertas tua yang lelah. Di
Langit Florence mulai gelap saat mobil berhenti perlahan di depan gerbang rumah tua keluarga Almanda. Suasana sepi. Angin membawa aroma tanah lembap dan sisa musim gugur. Daun-daun berguguran di jalan setapak seperti potongan waktu yang tak sengaja dijatuhkan.Dari dalam mobil, Averine duduk diam. Matanya tak lepas dari bangunan di depannya. Rumah itu berdiri dengan tenang, namun menyimpan gema masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Dulu ia membencinya. Sekarang... ia belum tahu harus merasa apa."Kamu yakin mau masuk?" tanya Darian, tangannya menggenggam jemari Averine.Butuh waktu beberapa detik sampai Averine mengangguk. "Kita udah sejauh ini, masa mau mundur?"Mereka turun dari mobil. Batu kerikil berderak halus di bawah sepatu mereka. Pagar depan yang dulu berkarat, kini diganti jadi putih bersih. Taman kecil dipenuhi bunga lavender yang baru ditanam. Semua terlihat segar, tapi tetap terasa asing.Begitu pintu dibuka, aroma cat baru langsung menyeruak. Lantai kayu dipoles u
Pagi itu hujan turun tipis di Florence. Bukan hujan deras yang menghentak jendela, tapi yang lembut seperti bisikan mengalun pelan di sela-sela waktu.Averine duduk bersandar di kursi rotan di balkon, mengenakan kaus Darian yang kebesaran dan legging hitam. Tangan kirinya menggenggam secangkir cokelat hangat, sementara tangan kanan mengusap perutnya perlahan.Darian muncul dari balik pintu, rambut masih basah usai mandi, membawa sepiring croissant dan potongan apel. “Untuk ratu yang sedang bertarung dengan punggung pegal dan lapar tengah malam,” katanya, meletakkan piring di meja kecil.Averine menyambutnya dengan senyum kecil. “Punggungku rasanya kayak dipukul palu kecil setiap lima menit.”Darian duduk di hadapannya, menyeruput teh.“Waktu yang tepat untuk mulai mikirin nama bayi, gak sih?” tanyanya.Averine menoleh, setengah ragu. “Kamu yakin? Kita bahkan belum tahu dia laki-laki atau perempuan.”“Justru itu serunya.