Beranda / Romansa / Cinta Dalam Tiga Luka / Bab 2 Seseorang Dalam Gerimis

Share

Bab 2 Seseorang Dalam Gerimis

Penulis: I. Vincera
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-12 08:30:24

Hujan turun mendadak. Langit yang sejak siang menggantung kelabu akhirnya menyerah pada beratnya sendiri. Rania masih berdiri di parkiran, memandangi titik-titik air yang mengalir pelan di kaca mobilnya.

Hari ini, mesin mobilnya mati. Ia sempat menghubungi bengkel langganannya, melaporkan bahwa mobilnya tak mau menyala. Sekarang ia hanya menunggu, dikelilingi senyap yang makin lama makin pekat oleh irama hujan.

Ia membuka bagasi, mencari sesuatu, mungkin payung. Tapi tak ada. Akhirnya ia hanya berdiri di samping pintu mobil, rambutnya mulai basah, pandangannya kosong ke arah lorong yang perlahan diliputi kabut hujan.

Dari kejauhan, siluet seorang pria muncul di antara tirai hujan. Ia membawa helm dan mengenakan jaket hitam, langkahnya tenang, seperti hujan yang turun tanpa tergesa. Ketika akhirnya sampai di dekat Rania, ia melepas jaketnya, gerakannya sederhana, tak dramatis.

"Kalau tidak dipakai, nanti kedinginan," ucapnya. Suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh hujan, tapi ada nada yang seharusnya terdengar akrab di telinga Rania. Namun saat itu, yang ia dengar hanyalah suara samar seorang asing yang meninggalkan jejak hangat, lalu pergi.

Rania menggeleng pelan. "Saya baik-baik saja," jawabnya sopan.

Tapi pria itu hanya meletakkan jaket hitamnya di kap mobil, lalu berbalik, melangkah pergi begitu saja, membiarkan hujan memeluk punggungnya.

Ia tak sempat menatap wajahnya dengan jelas. Hanya posturnya yang terasa asing sekaligus familiar, dan aroma samar yang tertinggal di udara: kayu, teh hitam, dan jejak musim kemarau. Wangi yang tidak mencolok. Bukan aroma yang sengaja dipamerkan, tapi yang tinggal diam-diam setelah seseorang berlalu.

Jaket itu akhirnya ia kenakan, perlahan, seolah sedang membungkus dirinya dengan kenangan yang entah dari mana datangnya.

Ia masuk ke dalam mobil, duduk sambil memeluk tubuh sendiri. Hujan memukul atap seperti denting perasaan yang tak punya nama. Di dalam hangat jaket itu, ada keheningan yang mengendap. Ia mencoba mengingat. Aroma itu. Sosok itu. Tapi pikirannya hanya menyentuh kabut samar.

Ia tak buru-buru menelepon bengkel lagi. Seperti sedang menunggu sesuatu. Atau mungkin… seseorang.

Lalu, suara mobil derek memecah keheningan. Derunya mendekat perlahan, bersamaan dengan hujan yang mulai reda, menyisakan gerimis. Seorang pria turun dari kabin, membawa payung besar yang langsung ia buka. Jaket hujan masih melekat di tubuhnya, tapi wajahnya terlihat jelas di bawah bayang payung, tenang, tanpa banyak ekspresi, tapi tidak dingin.

Teduh, itu kesan pertama yang muncul. Tapi bukan teduh yang dingin. Ada kehangatan diam-diam di matanya yang cokelat, seperti senja yang enggan pergi. Sorotnya tenang namun tajam, seperti seseorang yang terbiasa membaca lebih dari yang dikatakan. Rambutnya hitam dan sedikit acak, seolah belum sempat disisir tapi justru pas di tempatnya. Hidungnya mancung, rahangnya tegas, dan senyumnya, meski hanya sekilas, memiliki semacam sihir lembut yang bisa membuat siapa pun lupa bagaimana caranya marah.

Ia masih muda, mungkin dua puluh lima. Tapi cara dia menatap Rania, cara dia berdiri di bawah gerimis seolah itu tak penting, semua itu seperti milik seseorang yang sudah lama terbiasa menanggung lebih dari sekadar beban mesin rusak atau baut yang patah.

Ia mendekat, mengetuk kaca jendela pelan sambil sedikit menunduk agar wajahnya terlihat dari balik kaca yang basah.

Rania menurunkan jendela perlahan, membiarkan udara dingin dan bau hujan masuk ke dalam kabin.

"Wah, ada pahlawan berjaket hitam, ya, Bu?" katanya sambil menunjuk jaket yang dipakai Rania, senyumnya muncul sekilas, ringan.

Rania tersenyum samar, tak langsung menjawab.

Al mundur setengah langkah, memberi ruang. "Adrian Alfatih. Tapi biasa dipanggil Al," ucapnya, suaranya tenang namun dalam.

Rania membuka pintu mobil perlahan, melangkah keluar. Uap hujan langsung menyentuh kulitnya, tapi jaket hitam itu cukup menghalau dingin. Ia berdiri di hadapan Al, lalu mengangguk kecil. "Rania," jawabnya singkat. Ia tak menyebut nama belakangnya.

Sesaat, Al tampak terdiam. Ada sesuatu di sorot matanya yang berubah, bukan pengenalan, tapi semacam pengakuan diam-diam. Nama itu, baginya, terasa pas. Ekspresi itu hanya bertahan sekian detik sebelum tergantikan dengan senyuman kecil yang hampir tak terlihat.

"Nama yang indah," katanya pelan, nyaris seperti gumaman. Tapi cukup untuk membuat Rania menoleh dan menatapnya sejenak lebih lama.

Al kemudian beralih membuka kap mesin. Gerakannya cekatan tapi tetap tenang, seperti seseorang yang sudah terbiasa menghadapi hal-hal yang tiba-tiba macet di tengah jalan. Tangannya yang berlumur sedikit oli mengelus kabel-kabel dengan kesabaran seorang perawat.

"Sering begini?" tanya Al, sambil menunduk ke dalam ruang mesin.

Rania mengangguk pelan. Ia bersandar ringan pada sisi mobil, jaket hitam itu masih membungkus tubuhnya. "Beberapa bulan terakhir, iya. Kadang menyala, kadang tidak."

Al tersenyum kecil. "Mobil juga kayak manusia, kadang cuma butuh didengar."

Rania menoleh, ekspresi wajahnya berubah—mata cokelatnya menyipit sedikit, antara heran dan tertarik. "Kamu sering bicara sama mesin?"

"Lebih sering dari bicara sama orang," jawab Al, nada suaranya ringan tapi tidak kosong. Justru ada kehangatan diam-diam dari caranya bicara.

Ia merogoh saku, mengambil senter kecil, lalu menerangi bagian bawah kap mesin. "Kapan terakhir diservis?"

"Bulan lalu. Tapi… entahlah, rasanya tetap rewel."

"Hmm. Mungkin bukan cuma mesinnya yang capek," gumam Al, lebih kepada dirinya sendiri. Tapi Rania mendengarnya.

Ia tak langsung menanggapi. Hanya berdiri diam, memeluk jaket pinjaman yang kini terasa seperti pelindung dari sesuatu yang lebih dari sekadar udara dingin. Aroma asing itu, kayu, teh hitam, dan musim kemarau, pelan-pelan mulai terasa akrab.

Suara hujan kini hanya sisa rintik yang jatuh tenang, jadi latar yang melarutkan batas antara dua orang asing yang belum benar-benar asing.

"Suara Ibu... tenang, ya," ujar Al, masih menunduk, jarinya menyentuh kabel yang basah.

Rania tersenyum samar. "Kamu terlalu puitis untuk ukuran teknisi bengkel."

"Atau Ibu terlalu sastrawi untuk ukuran pemilik sedan tua," balasnya, kali ini menoleh, dan senyumnya hadir penuh untuk pertama kalinya.

Sambil tetap menelusuri komponen mesin, Al mencuri pandang. Bukan karena ingin tahu lebih banyak, tapi karena matanya tak bisa tidak. Cara Rania berdiri, tenang, nyaris seperti bagian dari suasana. Cara ia menggenggam ujung jaket, dan tatapannya ke arah hujan, seolah sedang mendengarkan cerita yang hanya bisa didengar oleh hati yang hening.

"Hujan hari ini… seperti punya tujuan," gumam Al, lebih kepada udara di antara mereka.

Rania menoleh. Senyum tipis menggantung di sudut bibirnya. "Kadang yang datang tanpa rencana justru yang paling lama menetap."

Dan di detik itu, Al merasa sesuatu di dadanya bergerak, bukan dentuman besar, hanya getar lembut yang menandakan awal sesuatu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 25 Nadia Bukan Adikku

    Lampu jalan menyinari aspal yang mulai basah oleh embun malam. Al mengendarai motornya dalam kecepatan sedang, menjaga jarak namun tetap sigap, seolah menjadi bayangan yang melindungi. Di depan, sedan silver tua milik Rania melaju perlahan menuju rumahnya. Tidak ada obrolan, tidak ada sinyal apa pun di antara mereka—hanya lampu rem yang sesekali menyala, menjadi pengingat bahwa Rania masih ada di sana, masih memimpin arah.Di atas motor besarnya, Al mengernyit pelan. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pertemuan itu. Motor pria misterius yang ia lihat sekilas sebelum bayangannya lenyap di kegelapan... Terlalu mirip. Terlalu familiar. Model dan warna motor itu hampir sama dengan yang ia tunggangi malam ini. Bahkan suara mesinnya pun nyaris identik.Ketika mobil Rania berhenti di depan pagar rumah, Al pun memperlambat laju motornya, memarkirkannya di tepi jalan. Rania keluar dari mobil, memutar tubuhnya ke arah Al. Untuk pertama kalinya sejak insiden tadi,

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 24 Retak Dalam Diam

    Pria itu masih mematung di balik pepohonan, diam, tak bergerak sedikit pun. Hatinya terasa sesak melihat Rania, wanita yang pernah sangat dekat dengannya, kini duduk di trotoar dengan bahu seorang pria muda yang ia kenal hanya sekilas. Begitu mudah, Rania tampak nyaman dengan kehadiran pria itu, seolah luka-luka masa lalu tak pernah ada.Helm hitam masih menutupi sebagian wajahnya, sama seperti saat ia meminjamkan jaket hitam itu di parkiran kampus. Ia juga yang berdiri diam di balik pilar, memperhatikan Rania dari jauh saat makan malam di restoran bersama Bima dan Moana, seperti bayang yang selalu ada namun tak pernah benar-benar mendekat. Bahkan klakson dari arah kanan, yang menyelamatkan Rania dari kecelakaan, berasal dari tangannya sendiri.Leo terdiam lebih lama bukanlah karna rasa cemburu, meski itu pun ada. Ada perasaan lebih dalam yang melingkupi dirinya—penyesalan. Penyesalan karena ia pergi tanpa kata, tanpa tahu bahwa di saat itu, perpisahan itu

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 23 Sekali Ini, Aku Bersandar

    Rania masih terduduk di balik kemudi, tubuhnya gemetar pelan. Nafasnya memburu, belum pulih dari kejutan barusan. Kilasan kenangan dengan Maya masih melekat di pelupuk mata saat klakson nyaring dari arah kanan membuyarkan semuanya. Ia nyaris menabrak seorang pejalan kaki—dan suara klakson itulah yang menyelamatkannya.Rania menoleh. Seorang pria di atas motor besar mengenakan helm hitam pekat. Wajahnya tak terlihat, namun ada sesuatu yang anehnya terasa familiar. Helm itu—ia mengingatnya dengan jelas. Helm yang sama dipakai pria yang meminjamkan jaket saat mobilnya mogok di parkiran kampus beberapa waktu lalu.Rania tersentak. Tapi sebelum ia sempat memastikan lebih lanjut, motor itu sudah melaju perlahan, menghilang di antara deretan kendaraan lain.Dan saat ia hendak menenangkan diri, mobilnya tiba-tiba mati total.Ia mencoba menyalakan ulang. Sekali. Dua kali. Tak ada suara selain bunyi klik pendek dan lampu dasbor yang redup.&ldquo

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 22 Bayangan Dibalik Nama

    Mobil melaju pelan di antara cahaya sore yang mulai meredup. Di balik kemudi, Rania membiarkan keheningan menyelimuti dirinya. Jemarinya menggenggam setir, namun pikirannya melayang jauh… kembali ke suatu sore yang tampaknya biasa, tapi justru membekas dalam ingatannya.Sebuah toko buku kecil di sudut mal—tempat favoritnya kala itu. Moana belum genap berusia dua tahun, sedang lucu-lucunya, dan selalu meminta dibacakan dongeng sebelum tidur. Hari itu, Rania menggendong Moana sambil menelusuri rak buku anak-anak, mencari cerita bergambar yang akan mengiringi malam si kecil dengan imajinasi.Saat ia tengah memandangi deretan buku bergambar kelinci dan peri, Moana terkekeh kecil. Tawa lembut itu membuat Rania menoleh dan mendapati putrinya sedang tersenyum pada seorang wanita di seberang rak.Wanita itu membalas senyum Moana dengan hangat, lalu menyentuh tangan mungilnya dan bercanda ringan, “Hai, cantik sekali kamu. Suka baca buku, ya?”

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 21 Diantara Ketegangan

    Tiara sudah kembali ke rumah beberapa hari lalu setelah menghadiri wisuda Dira di kota lain. Rania senang kakaknya kembali, membawa kehangatan yang menenangkan setelah hari-hari yang penuh tekanan. Dira sendiri tidak ikut pulang—seperti biasa. Sejak kecil, Dira memang tinggal bersama ayahnya setelah Tiara dan suaminya berpisah ketika Dira baru berusia satu tahun. Kini Dira sudah tumbuh dewasa, menempuh kuliah dan bekerja di kota yang sama, membangun hidupnya dengan kemandirian yang membuat Rania dan Tiara sama-sama bangga. Kepulangan Tiara pun disambut riang oleh Moana, terlebih karena Tiara membawakan oleh-oleh gelang-gelang warna-warni yang sudah lama diidamkan bocah kecil itu. Tawa Moana yang riang saat mencoba satu per satu di pergelangan tangannya menjadi momen sederhana yang membuat rumah kembali terasa hidup. Pagi itu, di dapur yang hangat oleh aroma teh dan roti panggang, Rania sibuk memeriksa tas Moana untuk memastikan semua keperluan putrinya terbawa. “Sikat gigi, baju gant

  • Cinta Dalam Tiga Luka   Bab 20 Dalam Sunyi yang Retak

    Pagi menjelang dengan bias cahaya yang masuk pelan dari celah tirai kamar. Bima duduk di sisi ranjang, tubuhnya tegang sejak fajar. Matanya merah karena tidak tidur semalaman—pikirannya tertahan pada sosok Maya yang malam tadi pulang dalam keadaan mabuk, sesuatu yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.Ia menoleh. Maya masih terlelap, tubuhnya terbungkus selimut hingga leher. Nafasnya lembut, tapi wajahnya pucat, dan ada bekas air mata di sudut matanya. Bima menghela napas panjang, lalu perlahan menyentuh bahu istrinya.“Maya…” panggilnya pelan.Maya menggeliat, sebelum membuka mata. “Mas…”Bima menatapnya lekat. “Kamu nggak pernah seperti ini sebelumnya. Kamu mabuk, Maya. Kenapa?”Maya menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya. Tatapannya kosong, seperti menahan sesuatu.“Aku cuma… butuh sesuatu buat menenangkan diri,” jawabnya lirih.“Dengan mabuk?” nada suara Bima meninggi sedikit, lebih karena panik. “Kamu tahu aku nggak suka kamu pulang larut. Apalagi sampai begini.”“Aku nggak se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status