Setelah perjalanan taksi yang terasa lebih panjang, Rania akhirnya tiba di depan rumah. Begitu mobil berhenti, Moana langsung berlari keluar, wajah cerahnya menyambut kedatangan ibunya.
“Bunda!” seru Moana, langsung memeluknya. “Kenapa Bunda terlambat? Ada apa?” Rania tersenyum sambil mengangkat tasnya. “Maaf, sayang. Tadi ada sedikit hal yang membuat Bunda baru pulang sekarang. Mobil Bunda rusak, jadi harus nungguin di bengkel.” Moana mengangguk, meski ada sedikit kebingungannya. “Ini Jaket siapa, Bunda?” tanyanya, menatap jaket hitam yang dikenakan Rania. Rania menoleh ke arah jaket itu. Ia meraba ujung jaketnya, dan tiba-tiba ingatan tentang sosok yang memberikannya kembali datang. Aroma kayu dan teh hitam itu masih terasa samar di ingatannya. Ia menarik napas pelan, berusaha menyembunyikan perasaan yang mulai menggelora. “Ah, ini jaket dari teman Bunda,” jawabnya ringan, meski hatinya sedikit ragu. “Bunda nggak kedinginan kok.” Moana hanya menatap jaket itu sebentar, lalu mengangguk, tampaknya memercayai penjelasan ibunya. Rania melepaskan pelukannya dan melangkah ke dalam rumah, merasakan kehangatan yang tak hanya datang dari fisiknya, tapi juga dari Moana yang menunggu di dalam. Begitu mereka masuk ke ruang tamu, Moana langsung menuju ke meja makan, mengambil sepotong kue dan menawarkan pada ibunya. “Bunda, tadi aku mau nelpon Bunda. Nanya kenapa Bunda telat, tapi Ayah bilang nggak boleh,” kata Moana, seiring dengan gerakan tangannya yang sibuk mengambil makanan. Rania tertegun sejenak, tatapannya berubah, seolah tersentak mendengar cerita itu. “Ayahmu... datang ke sini?” tanyanya pelan, rasa ingin tahu membuncah di dalam dada. Moana menggeleng, masih dengan ekspresi polosnya. “Nggak, Bunda. Ayah cuma nelpon. Katanya Bunda pasti sibuk, jadi nggak perlu khawatir. Dia cuma ngomong lewat telpon.” Rania menahan napas, berusaha tetap tenang meskipun ada rasa aneh yang mencuat. “Begitu ya,” ucapnya pelan. Ia terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja didengar. Sebuah pertanyaan muncul di benaknya, tapi ia memilih untuk tidak mengungkapkannya saat itu. Moana menoleh ke arah ibunya, melihat perubahan ekspresi wajah Rania. “Bunda kenapa?” tanyanya, sedikit bingung. Rania tersenyum lembut, berusaha mengalihkan perhatian. “Nggak apa-apa, sayang. Bunda cuma kaget sedikit." Moana mengangguk, tidak tahu betapa dalamnya pikiran ibunya. Rania merasakan ketegangan yang masih mengganjal, namun ia berusaha menyembunyikannya, berfokus pada kehangatan yang ada di hadapannya. “Kenapa Ayahmu nelpon tadi?” tanya Rania, suaranya lembut namun mengandung ketertarikan yang sulit disembunyikan. Moana mengangguk sambil menggigit kue yang ada di tangannya. “Iya, katanya Ayah cuma mau nanyain Bunda gimana. Dia bilang Bunda pasti capek, makanya dia tanya aja lewat telpon. Ayah bilang nggak usah khawatir, nanti Bunda bisa cerita kalau sudah pulang.” Rania menatap Moana dengan mata yang sedikit mengernyit, mencoba menangkap setiap kata yang keluar dari mulut putrinya. Ada sesuatu yang aneh di kalimat Moana, yang membuat perasaan Rania semakin tak menentu. Ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya, tapi rasanya semakin sulit. “Bunda... nggak apa-apa, kan?” Moana menatapnya khawatir, merasakan perubahan raut wajah ibunya yang sedikit berubah. Rania mengangguk cepat, berusaha tersenyum, meskipun senyum itu terasa lebih dipaksakan. “Iya, sayang. Bunda baik-baik aja. Cuma... penasaran aja kenapa Ayah tiba-tiba nelpon, ya.” Moana menggelengkan kepala, seolah tidak terlalu mengerti apa yang membuat ibunya penasaran. “Mungkin Ayah cuma khawatir Bunda, kan? Makanya nelpon.” Rania hanya mengangguk, meski dalam hati, banyak pertanyaan yang tak terjawab. Kenapa tiba-tiba Ayahnya merasa perlu menelpon? Suara Ayah Moana yang tidak terdengar langsung, namun tetap ada, membuat rasa ingin tahu Rania semakin mendalam. Sebuah perasaan aneh muncul, entah cemas atau hanya rasa yang sulit dijelaskan. Moana kembali sibuk dengan kuenya, tak menyadari kebimbangan yang mulai menguasai pikiran ibunya. Rania mengamati Moana yang kini duduk di karpet ruang tengah, kali ini sibuk dengan bukunya, lalu matanya menyapu ruangan yang terasa sedikit terlalu sunyi. “Moana…” panggilnya pelan, sambil melepas jaket dan menggantungnya di sandaran kursi, “Tante Tiara ke mana? Kok rumah sepi banget?” Moana mendongak, raut wajahnya agak bingung. Tapi belum sempat menjawab, telepon rumah berdering. Rania berjalan mendekat dan mengangkat gagang telepon. Suara berat dan tenang langsung terdengar di seberang. "Rania." Napas Rania tertahan sejenak. "Mas Bima?" "Aku cuma mau ngabarin. Tiara tadi nelepon aku. Dia harus ke luar kota. Wisuda anaknya." Rania mengerutkan dahi, baru teringat pesan W******p dari kakaknya yang belum sempat ia buka. "Oh… iya. Aku lupa bales." "Dia minta aku gantikan jagain kalian malam ini." "Mas… nggak usah repot-repot. Aku udah di rumah. Aman kok." Tapi Bima segera memotong. "Aku udah di jalan." Pendek. Tegas. Tak membuka ruang untuk ditolak. "Nggak usah siapin apa-apa. Aku cuma mau pastikan kamu dan Moana baik-baik saja." "Mas Bima, aku—" Sambungan sudah terputus. Rania meletakkan gagang telepon ke tempatnya, lalu berbalik. Moana masih duduk bersila di atas karpet, memeluk bantal kecil, menatap ibunya dengan dahi sedikit berkerut. Rania melangkah pelan, lalu ikut duduk di samping putrinya. Tangannya terulur, mengusap kepala Moana perlahan, tapi pikirannya tak sepenuhnya hadir di ruangan itu. Ada kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan, seperti gelombang yang mendesak-desak dinding hatinya. Bima akan datang. Malam ini. Rania menarik napas dalam. “Bunda kenapa?” tanya Moana pelan. Rania menoleh, mencoba tersenyum. “Nggak apa-apa, sayang. Bunda cuma... kepikiran sesuatu.” Moana diam sejenak, kemudian menatap ibunya dengan mata yang bersinar penuh rasa ingin tahu. “Itu tadi Ayah, ya? Ayah bilang apa ke Bunda?” Rania menggigit bibirnya pelan, lalu mengusap kepala Moana sekali lagi. “Ayah cuma bilang kalau Tante Tiara pergi keluar kota. Jadi... Ayah mau ke sini. Temenin kita.” Moana langsung tersenyum cerah. “Wah, Ayah datang! Aku senang banget, Bunda!” Rania tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang tak terucapkan. Saat itu, bel pintu berbunyi. Moana dengan cepat melompat dari tempatnya, berlari menuju pintu dengan semangat. “Itu pasti Ayah!” serunya penuh gembira. Rania berdiri perlahan, berusaha menenangkan degup jantung yang semakin cepat. Ia menepuk kepala Moana lembut. “Bunda yang bukain, ya.” Langkah Rania menuju pintu terasa berat, setiap detiknya seolah memperpanjang jarak antara dirinya dan kenyataan yang segera tiba. Jemarinya menyentuh kenop pintu dengan ragu, lalu… Pintu itu terbuka. ***Lampu jalan menyinari aspal yang mulai basah oleh embun malam. Al mengendarai motornya dalam kecepatan sedang, menjaga jarak namun tetap sigap, seolah menjadi bayangan yang melindungi. Di depan, sedan silver tua milik Rania melaju perlahan menuju rumahnya. Tidak ada obrolan, tidak ada sinyal apa pun di antara mereka—hanya lampu rem yang sesekali menyala, menjadi pengingat bahwa Rania masih ada di sana, masih memimpin arah.Di atas motor besarnya, Al mengernyit pelan. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pertemuan itu. Motor pria misterius yang ia lihat sekilas sebelum bayangannya lenyap di kegelapan... Terlalu mirip. Terlalu familiar. Model dan warna motor itu hampir sama dengan yang ia tunggangi malam ini. Bahkan suara mesinnya pun nyaris identik.Ketika mobil Rania berhenti di depan pagar rumah, Al pun memperlambat laju motornya, memarkirkannya di tepi jalan. Rania keluar dari mobil, memutar tubuhnya ke arah Al. Untuk pertama kalinya sejak insiden tadi,
Pria itu masih mematung di balik pepohonan, diam, tak bergerak sedikit pun. Hatinya terasa sesak melihat Rania, wanita yang pernah sangat dekat dengannya, kini duduk di trotoar dengan bahu seorang pria muda yang ia kenal hanya sekilas. Begitu mudah, Rania tampak nyaman dengan kehadiran pria itu, seolah luka-luka masa lalu tak pernah ada.Helm hitam masih menutupi sebagian wajahnya, sama seperti saat ia meminjamkan jaket hitam itu di parkiran kampus. Ia juga yang berdiri diam di balik pilar, memperhatikan Rania dari jauh saat makan malam di restoran bersama Bima dan Moana, seperti bayang yang selalu ada namun tak pernah benar-benar mendekat. Bahkan klakson dari arah kanan, yang menyelamatkan Rania dari kecelakaan, berasal dari tangannya sendiri.Leo terdiam lebih lama bukanlah karna rasa cemburu, meski itu pun ada. Ada perasaan lebih dalam yang melingkupi dirinya—penyesalan. Penyesalan karena ia pergi tanpa kata, tanpa tahu bahwa di saat itu, perpisahan itu
Rania masih terduduk di balik kemudi, tubuhnya gemetar pelan. Nafasnya memburu, belum pulih dari kejutan barusan. Kilasan kenangan dengan Maya masih melekat di pelupuk mata saat klakson nyaring dari arah kanan membuyarkan semuanya. Ia nyaris menabrak seorang pejalan kaki—dan suara klakson itulah yang menyelamatkannya.Rania menoleh. Seorang pria di atas motor besar mengenakan helm hitam pekat. Wajahnya tak terlihat, namun ada sesuatu yang anehnya terasa familiar. Helm itu—ia mengingatnya dengan jelas. Helm yang sama dipakai pria yang meminjamkan jaket saat mobilnya mogok di parkiran kampus beberapa waktu lalu.Rania tersentak. Tapi sebelum ia sempat memastikan lebih lanjut, motor itu sudah melaju perlahan, menghilang di antara deretan kendaraan lain.Dan saat ia hendak menenangkan diri, mobilnya tiba-tiba mati total.Ia mencoba menyalakan ulang. Sekali. Dua kali. Tak ada suara selain bunyi klik pendek dan lampu dasbor yang redup.&ldquo
Mobil melaju pelan di antara cahaya sore yang mulai meredup. Di balik kemudi, Rania membiarkan keheningan menyelimuti dirinya. Jemarinya menggenggam setir, namun pikirannya melayang jauh… kembali ke suatu sore yang tampaknya biasa, tapi justru membekas dalam ingatannya.Sebuah toko buku kecil di sudut mal—tempat favoritnya kala itu. Moana belum genap berusia dua tahun, sedang lucu-lucunya, dan selalu meminta dibacakan dongeng sebelum tidur. Hari itu, Rania menggendong Moana sambil menelusuri rak buku anak-anak, mencari cerita bergambar yang akan mengiringi malam si kecil dengan imajinasi.Saat ia tengah memandangi deretan buku bergambar kelinci dan peri, Moana terkekeh kecil. Tawa lembut itu membuat Rania menoleh dan mendapati putrinya sedang tersenyum pada seorang wanita di seberang rak.Wanita itu membalas senyum Moana dengan hangat, lalu menyentuh tangan mungilnya dan bercanda ringan, “Hai, cantik sekali kamu. Suka baca buku, ya?”
Tiara sudah kembali ke rumah beberapa hari lalu setelah menghadiri wisuda Dira di kota lain. Rania senang kakaknya kembali, membawa kehangatan yang menenangkan setelah hari-hari yang penuh tekanan. Dira sendiri tidak ikut pulang—seperti biasa. Sejak kecil, Dira memang tinggal bersama ayahnya setelah Tiara dan suaminya berpisah ketika Dira baru berusia satu tahun. Kini Dira sudah tumbuh dewasa, menempuh kuliah dan bekerja di kota yang sama, membangun hidupnya dengan kemandirian yang membuat Rania dan Tiara sama-sama bangga. Kepulangan Tiara pun disambut riang oleh Moana, terlebih karena Tiara membawakan oleh-oleh gelang-gelang warna-warni yang sudah lama diidamkan bocah kecil itu. Tawa Moana yang riang saat mencoba satu per satu di pergelangan tangannya menjadi momen sederhana yang membuat rumah kembali terasa hidup. Pagi itu, di dapur yang hangat oleh aroma teh dan roti panggang, Rania sibuk memeriksa tas Moana untuk memastikan semua keperluan putrinya terbawa. “Sikat gigi, baju gant
Pagi menjelang dengan bias cahaya yang masuk pelan dari celah tirai kamar. Bima duduk di sisi ranjang, tubuhnya tegang sejak fajar. Matanya merah karena tidak tidur semalaman—pikirannya tertahan pada sosok Maya yang malam tadi pulang dalam keadaan mabuk, sesuatu yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.Ia menoleh. Maya masih terlelap, tubuhnya terbungkus selimut hingga leher. Nafasnya lembut, tapi wajahnya pucat, dan ada bekas air mata di sudut matanya. Bima menghela napas panjang, lalu perlahan menyentuh bahu istrinya.“Maya…” panggilnya pelan.Maya menggeliat, sebelum membuka mata. “Mas…”Bima menatapnya lekat. “Kamu nggak pernah seperti ini sebelumnya. Kamu mabuk, Maya. Kenapa?”Maya menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya. Tatapannya kosong, seperti menahan sesuatu.“Aku cuma… butuh sesuatu buat menenangkan diri,” jawabnya lirih.“Dengan mabuk?” nada suara Bima meninggi sedikit, lebih karena panik. “Kamu tahu aku nggak suka kamu pulang larut. Apalagi sampai begini.”“Aku nggak se