Share

Cinta Dan Dendam Windy.
Cinta Dan Dendam Windy.
Penulis: Neliwati Nelisaja

Bab 1. Ibuku tidak gila.

“Orang gila !! Orang gilaa !!”

“Hahhaa,  Ayo lempar dia ! lempaar pakai batu ! Hahhaha..."

“Tidaaaak....! Tidaaak...! Ibuku tidak gila. Pergi kalian semua... Pergiiiiii....!!!”

“Win...! Windy...! Bangun Nak..! Kamu bermimpi lagi.” Farida menggoyang-goyang tubuh Windy yang terus saja mengginggau dalam tidurnya. Keringat dingin membasahi dahi gadis yang baru saja menamatkan SMU itu. Windy bermimpi melihat ibunya Hanum dilempari batu oleh anak-anak nakal karena ibunya itu gila dan mengejar siapa saja orang yang melintas didepannya.

“Mak, Windy mimpi lagi.” seru Windy begitu terbangun dari mimpi yang sering mengusik tidurnya. Windy spontan memeluk tubuh Farida yang ia panggil Mak. Farida adalah kakak kandung Hanum ibunda Windy. Sudah tujuh belas tahun lamanya Farida merawat Hanum yang tengah mengalami gangguan jiwa. Selain merawat adik semata wayangnya itu, Farida juga membesarkan Windy sejak gadis itu berumur dua tahun.

“Tidurlah kembali Win, besok kamu dan Juned akan berangkat ke Jakarta.” kata Farida sambil membetulkan selimut Windy yang tersingkap dibagian kakinya.

“Tidak Mak, Windy mau lihat Ibu dulu. Windy akan pergi jauh dan mungkin lama tidak akan bertemu Ibu.” sahut Windy sambil menurunkan kakinya dan mencari-cari sandal jepit dengan kakinya yang masih tergantung.

Farida hanya menghela nafas panjang. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjuk pukul 01.30 tengah malam.

“Ayolah !” ajak Farida sambil menarik lembut tangan keponakannya itu. Ia dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Windy. Walaupun Windy hanyalah keponakannya, namun Farida tidak pernah membedakan kasih sayangnya kepada Windy dan Juned yang merupakan anak kandungnya. Windy dan Juned kebetulan berusia sama. Mereka seperti sepasang anak kembar.

Farida membimbing Windy berjalan keluar dari kamar itu dan terus menuju kedapur. Didapur ada sebuah pintu menuju kebelakang yang menghubungkan dengan kamar kecil yang menghadap kesamping. Kamar itu tak ubahnya seperti penjara karena dinding depannya terbuat dari teralis besi. Didalam kamar itu tersedia kamar mandi dan sebuah dipan kecil yang selalu acak-acakan, karena Hanum akan selalu mengobrak-abrik kamarnya walau Farida dan Windy selalu merapikannya setiap hari.

Sebatang tubuh kurus tergolek diatas dipan. Rambutnya awut-awutan walau sudah dipotong pendek. Lampu remang-remang didalam kamar itu menambah suasana semakin menyedihkan juga nampak sedikit menyeramkan.

“Sampai kapan Ibu akan begini Mak ?" ucap Windy lirih menahan tangis menatap Hanum yang berbaring dan terdengar bersenandung kecil. Tangan Windy bergayut pada besi teralis yang mengurung ibunya didalam kamar khusus itu.

Farida mengangkat bahu dan menggelengkan kepala dengan raut wajah putus asa. Matanya lalu menatap seakan menerawang kesuatu masa dengan penuh amarah dan dendam.

“Januar, yah Januarlah yang menyebabkan adikku seperti ini. Dia meninggalkan Hanum tanpa berita dan alasan. Laki-laki brengsek itu lebih memilih menikahi perempuan yang bekerja sebagai pelayan dikantornya.” tandas Farida dengan suara tertekan menahan marahnya. Matanya berkilat seakan laki-laki yang dibencinya itu ada dihadapannya.

Farida sangat menyayangi adik semata wayangnya itu. Ia sungguh tidak rela Hanum diperlakukan demikian buruk oleh suaminya sendiri.

“Uuuh, Fatmaaa ! Keparat kau Fatmaa ! Kembalikan suamiku perempuan brengsek...! Mengapa kau kurung suamiku haaah..?” Tiba-tiba Hanum terbangun dan meradang dengan beringas. Ia melemparkan bantal dan apa barang apa saja yang ada didekatnya.

“Ibuu !” teriak Windy tertahan. Tangannya makin kuat mencengkram teralis besi dan nanar menatap ibunya dengan mata berlinang.

“Praaaaang...!!”

“Oooh..!!!” Tubuh Windy sontak terlempar karena kaget begitu sebuah piring loyang menghantam teralis besi tempat ia menyandarkan wajahnya.

“Windy...!!” Farida segera menangkap tubuh Windy agar gadis itu tidak terjatuh. Tubuh mereka terhuyung berdua dan saling berpelukan.

“Pergi kau Fatmaa...!! Pergiii...!! Pelacur murahaan... Pergiiiii....!!” sekonyong-konyong Hanum bangkit dari tempat tidurnya dan berteriak memarahi Farida dan Windy yang ia kira adalah Fatma perempuan yang telah merebut suaminya. Ia bergegas mendekati teralis dengan bengis dan menggoyang-goyang pagar pembatas itu sekuat tenaganya hingga meciptakan suara yang sangat berisik. Matanya tajam dan merah menatap Farida dan Windy yang mulai agak menjauh dari teralis besi itu.

“Ayo Win, kita masuk..!” ajak Farida sambil sedikit menyeret tubuh Windy kepintu dapur lalu menutup pintu itu kembali.

“Ibuuu... ! Huhuhuu...!” Windy terduduk disebuah kursi makan dan menangis tersedu-sedu. Hati anak mana yang tidak akan tersayat melihat keadaan ibu kandungnya seperti itu. Sejak kecil ia belum pernah merasakan belaian tangan ibunya. Hanya Faridalah yang menggantikan kasih sayang seorang ibu kepadanya. Apalagi perhatian seorang ayah. Sejak umur dua tahun Windy tidak pernah bertemu ayahnya. Sedangkan Farida juga hidup menjanda semenjak suaminya meninggal dunia delapan belas tahun lalu. Farida memutuskan untuk tidak menikah lagi dan hanya menyibukkan diri mengurus adiknya Hanum beserta Windy keponakannya dan Juned anak semata wayangnya.

Setelah mengunci pintu dapur, Farida menarik sebuah kursi dihadapan Windy. Ia lalu menuangkan segelas air putih kedalam gelas tinggi dari sebuah cerek plastik. Gelas itu ia sodorkan kepada Windy yang terlihat pucat wajahnya.

“Minumlah dan tenangkan dirimu Win. Kamu punya tugas yang sangat berat di Jakarta nanti.” ucap Farida sambil menghela nafas panjang.

“Selain menyelesaikan kuliahmu dengan baik, kamu juga harus mencari ayahmu. Karena hanya ayahmu yang bisa menyembuhkan ibumu.” sambung Farida menatap wajah keponakannya.

Windy meraih gelas yang disodorkan mak nya Farida dan air sejuk segera membasahi kerongkongannya. Entah karena haus atau karena beratnya beban hati yang tengah ia tanggung membuat Windy menyosor air putih itu sampai habis. Lalu ia meletakkan gelas kosong dihadapannya.

“Iya Mak, Windy akan selalu ingat nasehat Mak.” jawab gadis itu penuh percaya diri.

“Windy harus bisa menemukan Ayah dan membawanya pulang. Karena hanya Ayahlah yang bisa membuat Ibu sembuh.” sambung Windy.

“Dan kamu harus hati-hati melakukan misimu Win, Mak dengar si Fatma itu cukup kejam dan licik.” Kata Farida memandang sedikit khawatir kepada Windy.

“Iya Mak, Windy akan selalu hati-hati.” sahut Windy.

“Tenang saja Mak, Juned akan menjaga dan membantu Windy.” Tiba-tiba Juned sudah berdiri dibelakang Farida dengan berselimut kain sarung. Udara terasa cukup dingin karena seharian hujan tiada henti.

“Sudah kamu persiapkan semua barang-barangmu Juned ? Jangan sampai ada yang ketinggalan.” kata Farida memalingkan wajahnya kepada Juned yang tengah membuka tudung saji. Juned mencomot satu buah goreng pisang yang sudah dingin lalu melahapnya.

“Sudah Maaak...! Mak jangan khawatir.” jawab Juned sambil mengunyah goreng pisang dimulutnya. Bunyi kucipak-kucipuk terdengar dari mulut Juned.

“Kamu itu ya Jun, makan aja pikirannya.” Mak Farida mulai mengomeli anak lelakinya itu.

“Lha nanti kalau Juned mogok makan Mak juga yang susah.” jawab Juned lalu kembali membuka tudung saji dan mencomot sebuah goreng pisang lagi lalu memasukkan kedalam mulutnya sembari kembali melangkah kekamarnya.

Farida hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat ulah anak lelakinya itu.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status