Adzan Isya bergema dari mesjid yang tidak begitu jauh dari rumah kost Windy. Gadis itu terlonjak kaget dari atas pembaringannya ketika ia menoleh ke jam di dinding kamarnya yang menunjukkan waktu hampir jam 8 malam.
“Astaghfirullah.. sudah Isya rupanya. Kok aku bisa ketiduran sepulas ini, sehingga tidak mendengar adzan Magrib?” keluh Windy sembari bergegas menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Lalu ia segera menunaikan sholat Isya yang di jamak dengan sholat Magrib.Selesai melaksanakan rangkaian ibadah malam itu, Windy merapikan kembali mukena dan sejadahnya. Lalu ia mengambil ponselnya yang terletak di atas meja belajarnya.“Aduh, banyak banget panggilan dari Alvin. Dari tadi ponsel aku silence kan sehingga aku tidak mendengar nada panggilan.” ucap Windy jadi tak enak hati. Ia langsung menghubungi nomor kontak Alvin.Ponsel Alvin berbunyi di atas meja makan. Fatma segera mengambil benda pipih itu dan tersenyum sinis ketika melihat siapaFatma masuk ke dalam kamar dan mengganti stelan kantornya dengan baju rumahan. Ia mengenakan sebuah daster berwarna lila bercorak kembang sepatu berwarna putih. Fatma kini duduk di meja makan namun bukan makan malam yang ia inginkan. Ia duduk sambil mengutak-atik ponselnya.“Apakah Nyonya mau makan malam?” Tatik datang menanyakan keinginan majikannya.Fatma tidak menjawab, ia hanya mengibaskan tangannya dan itu cukup membuat Tatik terbirit-birit pergi. Tatik hafal sekali sifat majikannya itu. Fatma akan gampang mengamuk apa bila ada orang yang mengganggu ketika dirinya sedang memikirkan sebuah perkara besar.“Mereka sudah datang untuk menuntut balas!” ucap Fatma sedingin es lewat ponselnya entah kepada siapa. Lalu ia nampak mengangguk-angguk.Selova yang kepo terus mengintip dari dapur. Ucapan Fatma barusan mendarat sempurna di pendengaran gadis yang sering di ejek sandal selop oleh Alvin tersebut.“Hah? Menuntut balas?&rd
Windy di bawa ke sebuah rumah besar yang mirip dengan sebuah istana mewah.“Di mana ini?” tanya Windy sambil mengedarkan pandangan matanya sekeliling ketika Sandy telah mempersilahkannya turun dan ia menjejakkan kakinya di halaman bangunan yang ternyata sebuah Villa.“Di kediamanku!” jawab Sandy cukup angkuh.“Oh, aktor setaraf Sandy tentu saja mampu membeli rumah nan megah seperti ini.” ucap Windy di dalam hati.Entah mimpi apa ia semalam kok bisa-bisanya ia menjejakkan kaki di rumah aktor tampan itu dan berduaan pula dengannya.“ Di mana Alvin?” tanya Windy tidak sabar.Sandy tidak menjawab namun ia terus berjalan memasuki rumah megahnya tanpa sedikit pun memberikan pelayanan kepada Windy yang merupakan tamu di rumahnya itu.“Dasar manusia aneh!” sungut Windy namun akhirnya ia mengikuti langkah lelaki itu. Windy sedikit mengibaskan ujung kerudungnya yang jatuh ke depan.Sandy
“Hak..hak..hak..!”Pak Tua itu kembali tertawa sumbang. Suaranya bercampur serak dan Windy merasa kalau lelaki itu hidup dalam tekanan psikis berat yang cukup lama.Pak Tua kembali berdiri dan kakinya yang gemetar ia seret melangkah menuju sebuah lemari buku yang berdiri di antara ruang tamu dan ruang keluarga. Banyak tersusun buku-buku di sana namun Pak Tua mengambil sebuah saja di dalam laci yang sepertinya adalah album foto.Ia memegang album itu dan menatap benda itu sejenak laluuu..Breeet...Album besar itu ia lemparkan ke arah Windy dan hampir saja mengenai kepala gadis itu.Oouh..Windy menghindar sehingga kepalanya luput dari serangan benda yang datang tiba-tiba tersebut.Bruuuk...Album itu jatuh ke atas lantai dan beberapa lembarannya nampak terbuka.“Lihatlah! Dan kamu akan menemukan jawaban di sana!” perintah Pak Tua dengan tegas menunjuk album yang teronggok di lantai.Windy menatap se
“Orang gila !! Orang gilaa !!”“Hahhaa, Ayo lempar dia ! lempaar pakai batu ! Hahhaha..."“Tidaaaak....! Tidaaak...! Ibuku tidak gila. Pergi kalian semua... Pergiiiiii....!!!”“Win...! Windy...! Bangun Nak..! Kamu bermimpi lagi.” Farida menggoyang-goyang tubuh Windy yang terus saja mengginggau dalam tidurnya. Keringat dingin membasahi dahi gadis yang baru saja menamatkan SMU itu. Windy bermimpi melihat ibunya Hanum dilempari batu oleh anak-anak nakal karena ibunya itu gila dan mengejar siapa saja orang yang melintas didepannya.“Mak, Windy mimpi lagi.” seru Windy begitu terbangun dari mimpi yang sering mengusik tidurnya. Windy spontan memeluk tubuh Farida yang ia panggil Mak. Farida adalah kakak kandung Hanum ibunda Windy. Sudah tujuh belas tahun lamanya Farida merawat Hanum yang tengah mengalami gangguan jiwa. Selain merawat adik semata wayangnya itu, Farida juga membesarkan Windy sejak gadis itu berumu
Windy tidak bisa memejamkan matanya walau ia sudah membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur. Rasa berat meninggalkan ibu dan mak nya sangat mengganggu pikiran gadis itu.“Mak pasti akan kesusahan merawat Ibu sendiri. Mak harus kesawah mengurus padi, ke ladang memetik pisang dan pinang. Lalu Mak juga harus memasak dan memandikan Ibu. Ooh, Mak sangat baik. Aku bersyukur masih punya Mak. Kalau tidak ada Mak Farida entah bagaimana nasibku dan Ibu.” ratap Windy dalam hati. Dua tetes air mata menggulir dari rongga mata Windy lalu kemudian pecah membentur bantal. Hatinya pedih meninggalkan dua perempuan yang ia sayangi itu. Tapi bagaimanapun harus ia tinggalkan demi menggapai cita-cita dan mencari ayahnya untuk kesembuhan ibunya.Bukan tugas ringan yang ia pikul dipundaknya. Windy yakin kalau kawan-kawan sebayanya tidak memiliki masalah yang berat seperti dirinya. Namun Windy tidak putus asa, ia bertekad akan melakukan apapun demi keluarganya. Ia ingin ibunya sembuh.
Sebuah mobil Avanza memasuki halaman rumah. Juned bergegas memasukkan barang-barang kedalam bagasi mobil.“Wiiiin...! Windy...!” Farida berteriak memanggil Windy dari halaman rumah.“Bu, Windy pergi ya. Windy janji akan membawa ayah pulang.” ucap Windy kepada Hanum dari celah teralis besi.Hanum termangu dibalik dinding besi itu. Ia tidak lagi beringas seperti tadi pagi. Matanya nanar memandang Windy yang juga memandang lembut kearahnya.Hanum mendekati teralis besi dan mengulurkan tangannya keluar. Pandangan matanya mendadak sendu seolah ia tahu bahwa anak gadisnya akan pergi jauh.Windy membiarkan tangan Hanum menyentuh pipinya. Selama hidupnya baru kali inilah Hanum bersikap demikian. Hanum seakan-akan sadar saat itu.“Wiindyy...!” ujar Hanum terbata.“Ibuuu ! Ibu sudah mengenali Windy ?” Teriak Windy senang.“Windyyyy....!!” Dari halaman depan kembali terdengar suara panggilan Farida.“Iyaa Maaak...!” Windy menyahuti panggilan itu.“Windy perg
Seminggu sudah Windy dan Juned berada di Jakarta. Alvin setiap hari datang dan mengajak mereka berkeliling kota Jakarta hingga mereka berdua tidak canggung lagi dengan keramaian kota Jakarta yang hiruk pikuk.Hari ini adalah hari senin yang merupakan hari pertama kali mereka masuk kuliah. Dikampus mereka berpisah karena jurusan ilmu yang mereka tuntut berbeda. Windy memilih fakultas hukum dengan jurusan hukum pidana karena ia bercita-cita menjadi pengacara. Alvin memilih menjadi mahasiswa kedokteran karena profesi dokter adalah impiannya sejak kecil. Sedangkan Juned mengambil jurusan kontruksi bangunan karena ia ingin menjadi seorang kontraktor bangunan dikampungnya.“Hati-hati ya Win, jaga hati, jangan sampai kepincut mahasiswa senior.” ucap Alvin ketika mereka akan berpisah menuju tempat ospek masing-masing.“Kamu juga Al, jangan tergoda mahasiswi baru. Aku dengar mahasiswi kedokteran cantik-cantik lho.” jawab Windy sedikit resah.&ldquo
“Aku akan bekerja dikantor Mamanya Alvin sebagai petugas kebersihan.” ujar Windy ketika ia dan Juned mulai menyantap hidangan makan malam disebuah cafe yang tidak begitu jauh dari tempat kos mereka.“Apaa...?? Juned hampir saja tersedak dan buru-buru meminum air putih untuk mendorong makanan yang nyangkut dikerongkongannya.Kamu yakin Win, akan bekerja diperusahaan Mamanya Alvin ?” sambung Juned setelah merasa kerongkongannya sedikir lega.Windy menganggukkan kepalanya dan mulai menelan makanan suapan pertamanya.Juned meletakkan sendoknya dan kini menatap Windy sepupunya itu dengan pandangan semakin heran.“Iya Jun, masa aku main-main sih.” sahut Windy tenang dan terus menyuap makan malamnya disamping Juned.“Terus kuliahmu bagaimana Oon..!!” ujar Juned sedikit memaki Windy.“Tenang saja Jun, aku akan bekerja diluar jam kuliah. Mamanya Alvin memberiku sedikit kelonggaran waktu kerja disana.&rdq