Share

Bab 2. Malam terakhir.

Windy tidak bisa memejamkan matanya walau ia sudah membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur. Rasa berat meninggalkan ibu dan mak nya sangat mengganggu pikiran gadis itu.

“Mak pasti akan kesusahan merawat Ibu sendiri. Mak harus kesawah mengurus padi, ke ladang memetik pisang dan pinang. Lalu Mak juga harus memasak dan memandikan Ibu. Ooh, Mak sangat baik. Aku bersyukur masih punya Mak. Kalau tidak ada Mak Farida entah bagaimana nasibku dan Ibu.” ratap Windy dalam hati. Dua tetes air mata menggulir dari rongga mata Windy lalu kemudian pecah membentur bantal. Hatinya pedih meninggalkan dua perempuan yang ia sayangi itu. Tapi bagaimanapun harus ia tinggalkan demi menggapai cita-cita dan mencari ayahnya untuk kesembuhan ibunya.

Bukan tugas ringan yang ia pikul dipundaknya. Windy yakin kalau kawan-kawan sebayanya tidak memiliki masalah yang berat seperti dirinya. Namun Windy tidak putus asa, ia bertekad akan melakukan apapun demi keluarganya. Ia ingin ibunya sembuh. Windy juga ingin merubah nasib. Dirinya tidak mau lagi melihat Mak nya Farida harus berhujan panas ditengah ladang dan sawah untuk membiayai kehidupan mereka. Apalagi membiayai kuliah dirinya dan Juned, Farida harus pontang panting mengurus sendiri. Syukurlah mereka mempunyai harta pusaka sawah dan ladang yang cukup luas. Farida dengan piawai mengolahnya dengan mempekerjakan beberapa orang petani untuk berkebun cabe dan banyak jenis sayuran. Sebagai perempuan berdarah Minang, semua harta pusaka itu adalah milik kaum perempuan yaitu Farida dan Hanum.

Oh ya, Windy teringat seorang. Alvin ! ya Alvin, pemuda yang yang telah menjadi kekasihnya sekitar empat bulan yang lalu. Alvinlah yang memberikan ide agar Windy melanjutkan kuliahnya di Jakarta. Farida menyetujui ide Alvin namun mengikut sertakan Juned untuk bersama-sama kuliah disana. Farida khawatir melepas Windy yang masih gadis tinggal sendiri dikota besar.

Windy mengambil ponselnya dan mengecek waktu terakhir Alvin online di mesengger.

“Ooh, Alvin baru off lima belas menit yang lalu. Mungkin Alvin masih bangun.” gumam Windy sendiri seraya melihat waktu yang tertera bagian atas layar ponselnya.

Jam 04.20 pagi. Sebentar lagi akan masuk waktu sholat subuh.

(Alvin, kamu sudah bangun ?)

Send messege...

(Aku baru saja bangun Win, aku gak sabar nunggu kamu sampai di Jakarta sore ini.) Dua menit kemudian Alvin menjawab pesan yang dikirimkan Windy.

(Aku sudah bersiap-siap, abis sholat subuh aku dan saudaraku Juned akan naik travel menuju bandara kota Padang) Windy segera membalas pesan dari Alvin.

(Hati-hati dijalan ya Win, sampai jumpa dibandara Jakarta nanti sore.) Jawab Alvin.

Windy tersenyum bahagia. Hatinya berdegub kencang karena beberapa jam lagi ia akan bertemu dengan Alvin yang merupakan cinta pertamanya.

Walaupun kisah cinta mereka terjalin hanya lewat dunia maya, namun Windy yakin kalau Alvin adalah laki-laki yang baik. Ia berharap harapan yang telah ia semai kepada Alvin akan berbuah manis.

Allahu akbar...! Allahu akbar....!

Suara adzan subuh menggema dari corong pengeras suara mesjid yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Windy mengerjapkan matanya yang sedikit perih karena sejak terbangun tadi ia belum memejamkan matanya kembali. Kepalanya terasa sedikit pusing. Windy bangkit dan duduk disisi tempat tidur lalu memijit kedua belah pelipisnya.

Dari luar kamar mulai terdengar tanda-tanda kehidupan. Suara Mak Farida mulai menggelitik rongga telinga Windy dengan ocehannya yang nyaris sama setiap pagi.

“Juneeed...!Bangun..! sudah subuh nih. Jangan suka bangun siang nanti rejekimu dipatok ayam.” 

“Iyaa Maak...! Ini Juned sudah bangun dari tadi Mak.” Terdengar pula suara Juned bersungut-sungut menjawab.

“Ya sudah ! Berwudhu sana lalu sholat subuh..!” perintah Mak Farida.

Suara gesekan langkah mendekati kamar Windy.

“Windy sudah bangun Maak..! Windy lagi beres-beres tempat tidur.” Sebelum corong omelan mengarah kepadanya, Windy memutuskan untuk cepat-cepat membacakan pemberitahuan bahwa dirinya sudah bangun. Kalau tidak, hmm..., Mak Farida akan mengomel panjang kali lebar kali tinggi. Begitulah tabiat Mak Farida yang dikenal Windy sejak kecil. Mak Farida selalu menjaga sholatnya dan mendidik mereka disiplin beribadah.

Setelah merapikan kamarnya Windy segera keluar kamar dan menuju kamar mandi untuk mandi dan berwudhu. Sejuknya air yang ditampung dari perbukitan membuat bulu-bulu diseluruh tubuh Windy meremang dan dagunya sedikit bergetar menahan serangan rasa dingin. Windy segera kembali kekamarnya dan melakukan sholat subuh dengan khusuk. Ia berdoa agar perjalanan yang akan ditempuhnya bersama Juned diberi keselamatan, Ibunya dan Mak Farida yang ia tinggalkan ia titipkan kepada sang pencipta agar terjaga dari mara bahaya. Aamiin...! Windy menutup doanya dengan menyapukan kedua telapak tangan kewajahnya.

Windy membuka mukenanya dan mulai memakai busana untuk berangkat ke Jakarta. Jam delapan nanti mobil travel akan menjemput dirinya dan Juned lalu mengantar mereka kebandara Minang Kabau yang berada dikota Padang. Windy dan Juned yang tinggal disebuah kampung kecil di daerah Pasaman membutuhkan waktu sekitar lima jam untuk sampai ke kota Padang.

Sebelum keluar kamar Windy merapikan hijabnya dan memoles lips gloss dibibirnya. Windy juga memeriksa dokumen-dokumen yang akan ia bawa. Selain dokumen berbentuk nyata, Windy juga menyimpan beberapa foto dari dokumen itu seperti surat nikah kedua orang tuanya, fotocopy sertifikat rumah atas nama Januar di Jakarta, akte kelahiran dan banyak lagi. Tidak ketinggalan foto-foto ayah ibunya masa hidup bersama termasuk foto pengantin mereka. Ibarat akan berangkat perang, Windy sudah mempersiapkan peluru sebanyak mungkin.

Seabrek dokumen penting lainnya ia simpan didalam koper. Itu adalah dokumen data pribadi dan riwayat pendidikkannya. Semua pasti akan diminta pihak Universitas nantinya.

“Sudah siap Win..!” Terdengar Mak Farida memanggil.

“Sudah Mak.” jawab Windy lalu menarik kopernya keluar kamar.

Mak Farida sudah menunggu dimeja makan dengan empat piring nasi goreng yang masih mengepul dan empat gelas pula air putih.

Windy mendekati meja makan dan menerima sebuah nampan yang disodorkan Farida kepadanya. Diatas nampan itu ada satu piring loyang nasi goreng dan air minum didalam gelas plastik. Makanan dan minuman itu untuk Hanum dan sengaja tidak memakai bahan kaca karena takut akan membahayakan Hanum kalau sedang marah.

Windy membawa nampan itu kebelakang rumah dan pelan-pelan ia membuka kamar ibunya. Hanum terlihat sedang tenang dan itu membuat Windy tidak terlalu khawatir mendekatinya. Hanum nampaknya masih tertidur lelap dan suara dengkurnya masih terdengar halus.

Windy mendekat dan meletakkan nampan disebuah meja yang ada di sisi tempat tidur Hanum. Sesaat Windy menatap ibunya dan mendekat untuk mencium pipi wanita yang telah melahirkannya itu.

“Pergi kau bangsaaat...!!!” Tiba -tiba Hanum terbangun dan mendorong tubuh Windy hingga jatuh dan terlempar menabrak dinding teralis.

Praaaaang....!

Suara gaduh terdengar dipagi buta. 

“Ibuuuu...!!” teriak Windy mengaduh karena sakit yang ia rasakan dipunggungnya yang membentur besi teralis. Windy terduduk disaat langkah kaki Hanum mulai mendekat kepadanya.

Suara gaduh didalam kamar Hanum mengundang gerakan spontan Juned dan Farida untuk menghambur kedalam kamar berteralis itu.

Hanum mulai menjambak kerudung Windy dan mencengkram bahu anaknya itu dan membawanya berdiri berhadapan.

“Kau perempuan jahat Fatma...! Kau telah menculik suamiku dan mengurungnya didalam gudang. Cepaaaat lepaskan Uda Januar...!!” teriak Hanum sambil menatap wajah Windy dengan buas.

“Hanum, tenanglah Dek. Ini Windy anakmu, bukan Fatma. Kau lihatlah baik-baik..!!” Farida mencengkram bahu Hanum sedikit keras agar Hanum yang tidak menyadari kalau Windy adalah anaknya segera sadar.

“Windy siapa...??” Mata Hanum mendelik kepada Farida. Pegangannya mengendor dibahu Windy. Juned segera menarik Windy dan membawanya keluar dari kamar itu. Keadaan sedikit genting dan berbahaya.

“Ngapain masuk kedalam Win, sudah tahu Ibu sedang beringas.” sungut Juned memarahi sepupunya itu.

Windy hanya meringis karena memang merasa bersalah. Seharusnya ia bisa memasukkan makanan dengan membuka pintu kecil yang sudah disediakan yang cukup untuk menyodorkan sebuah nampan.

“Kaaak...! Fatma mengurung suamiku, Uda Januar ada dalam gudang Kak..!” Hanum menangis dan memeluk Farida. Hanum memang hanya takut dan patuh kepada kakaknya itu. Hanya Farida yang bisa menenangkan Hanum kalau sedang beringas.

“Iya, Windy dan Juned akan menjemput Januar. Kamu tenang dan tunggu disini.” Ujar Farida lalu menuntun Hanum duduk diatas pembaringannya.

Farida lalu menyuapkan nasi goreng kemulut Hanum yang terlihat kering dan bergetar.

“Uda Januar ada didalam gudang Kak..!” Hanum selalu saja mengucapkan kalimat itu. Tidak satu orangpun yang mengerti apalagi mempercayai kata-kata Hanum itu. Malah kata dokter yang sering memeriksa Hanum, itu hanyalah sekedar halusinasi pasien.

“Yang Ibu katakan pasti benar..! Aku yakin..!” ujar Windy sembari menatap Farida yang dengan sabar menyuapi adiknya itu.

Juned hanya mengangkat bahu mendengar gumaman Windy. 

“Win, aku minta kamu tetap berfikiran jernih. Jangan sampaaaiii...

Juned tidak melanjutkan ucapannya. Windy sudah tahu apa kelanjutan dari kalimat itu. “Jangan sampai kamu juga gila seperti Ibu.” Pasti itu yang dimaksud Juned. Windy memahami keresahan Juned karena sepupunya itu menyayangi dirinya.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status