Windy adalah gadis kampung dan kembali ke Jakarta kota kelahirannya untuk meneruskan kuliah dan menjalankan misi penting yaitu mencari ayahnya. Menurut cerita yang Windy dengar bahwa ayahnya telah menikah lagi dengan seorang wanita bernama Fatma di Jakarta saat Windy masih berumur dua tahun. Sejak saat itu ayahnya menghilang bak ditelan bumi dan menyebabkan Hanum ibunda Windy mengalami gangguan jiwa. Windy bertekad mencari Fatma dan membawa ayahnya pulang untuk kesembuhan ibunya. Lalu apa yang harus dilakukan Windy ketika kenyataan yang ia dapati di Jakarta, bahwa ternyata Fatma wanita yang ia cari adalah ibu dari Alvin kekasih dan cinta pertamanya ? Lalu siapakah Sandy, lelaki tampan yang berprofesi sebagai aktor namun punya dendam kesumat kepada keluarga Windy. Dan apa sebenarnya hubungan Windy dengan Alvin ? Apakah mereka satu darah ? Yuuk ikuti kisah seru mereka ! Selamat membaca !
View More“Orang gila !! Orang gilaa !!”
“Hahhaa, Ayo lempar dia ! lempaar pakai batu ! Hahhaha..."“Tidaaaak....! Tidaaak...! Ibuku tidak gila. Pergi kalian semua... Pergiiiiii....!!!”“Win...! Windy...! Bangun Nak..! Kamu bermimpi lagi.” Farida menggoyang-goyang tubuh Windy yang terus saja mengginggau dalam tidurnya. Keringat dingin membasahi dahi gadis yang baru saja menamatkan SMU itu. Windy bermimpi melihat ibunya Hanum dilempari batu oleh anak-anak nakal karena ibunya itu gila dan mengejar siapa saja orang yang melintas didepannya.“Mak, Windy mimpi lagi.” seru Windy begitu terbangun dari mimpi yang sering mengusik tidurnya. Windy spontan memeluk tubuh Farida yang ia panggil Mak. Farida adalah kakak kandung Hanum ibunda Windy. Sudah tujuh belas tahun lamanya Farida merawat Hanum yang tengah mengalami gangguan jiwa. Selain merawat adik semata wayangnya itu, Farida juga membesarkan Windy sejak gadis itu berumur dua tahun.“Tidurlah kembali Win, besok kamu dan Juned akan berangkat ke Jakarta.” kata Farida sambil membetulkan selimut Windy yang tersingkap dibagian kakinya.“Tidak Mak, Windy mau lihat Ibu dulu. Windy akan pergi jauh dan mungkin lama tidak akan bertemu Ibu.” sahut Windy sambil menurunkan kakinya dan mencari-cari sandal jepit dengan kakinya yang masih tergantung.Farida hanya menghela nafas panjang. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjuk pukul 01.30 tengah malam.“Ayolah !” ajak Farida sambil menarik lembut tangan keponakannya itu. Ia dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Windy. Walaupun Windy hanyalah keponakannya, namun Farida tidak pernah membedakan kasih sayangnya kepada Windy dan Juned yang merupakan anak kandungnya. Windy dan Juned kebetulan berusia sama. Mereka seperti sepasang anak kembar.Farida membimbing Windy berjalan keluar dari kamar itu dan terus menuju kedapur. Didapur ada sebuah pintu menuju kebelakang yang menghubungkan dengan kamar kecil yang menghadap kesamping. Kamar itu tak ubahnya seperti penjara karena dinding depannya terbuat dari teralis besi. Didalam kamar itu tersedia kamar mandi dan sebuah dipan kecil yang selalu acak-acakan, karena Hanum akan selalu mengobrak-abrik kamarnya walau Farida dan Windy selalu merapikannya setiap hari.Sebatang tubuh kurus tergolek diatas dipan. Rambutnya awut-awutan walau sudah dipotong pendek. Lampu remang-remang didalam kamar itu menambah suasana semakin menyedihkan juga nampak sedikit menyeramkan.“Sampai kapan Ibu akan begini Mak ?" ucap Windy lirih menahan tangis menatap Hanum yang berbaring dan terdengar bersenandung kecil. Tangan Windy bergayut pada besi teralis yang mengurung ibunya didalam kamar khusus itu.Farida mengangkat bahu dan menggelengkan kepala dengan raut wajah putus asa. Matanya lalu menatap seakan menerawang kesuatu masa dengan penuh amarah dan dendam.“Januar, yah Januarlah yang menyebabkan adikku seperti ini. Dia meninggalkan Hanum tanpa berita dan alasan. Laki-laki brengsek itu lebih memilih menikahi perempuan yang bekerja sebagai pelayan dikantornya.” tandas Farida dengan suara tertekan menahan marahnya. Matanya berkilat seakan laki-laki yang dibencinya itu ada dihadapannya.Farida sangat menyayangi adik semata wayangnya itu. Ia sungguh tidak rela Hanum diperlakukan demikian buruk oleh suaminya sendiri.“Uuuh, Fatmaaa ! Keparat kau Fatmaa ! Kembalikan suamiku perempuan brengsek...! Mengapa kau kurung suamiku haaah..?” Tiba-tiba Hanum terbangun dan meradang dengan beringas. Ia melemparkan bantal dan apa barang apa saja yang ada didekatnya.“Ibuu !” teriak Windy tertahan. Tangannya makin kuat mencengkram teralis besi dan nanar menatap ibunya dengan mata berlinang.“Praaaaang...!!”“Oooh..!!!” Tubuh Windy sontak terlempar karena kaget begitu sebuah piring loyang menghantam teralis besi tempat ia menyandarkan wajahnya.“Windy...!!” Farida segera menangkap tubuh Windy agar gadis itu tidak terjatuh. Tubuh mereka terhuyung berdua dan saling berpelukan.“Pergi kau Fatmaa...!! Pergiii...!! Pelacur murahaan... Pergiiiii....!!” sekonyong-konyong Hanum bangkit dari tempat tidurnya dan berteriak memarahi Farida dan Windy yang ia kira adalah Fatma perempuan yang telah merebut suaminya. Ia bergegas mendekati teralis dengan bengis dan menggoyang-goyang pagar pembatas itu sekuat tenaganya hingga meciptakan suara yang sangat berisik. Matanya tajam dan merah menatap Farida dan Windy yang mulai agak menjauh dari teralis besi itu.“Ayo Win, kita masuk..!” ajak Farida sambil sedikit menyeret tubuh Windy kepintu dapur lalu menutup pintu itu kembali.“Ibuuu... ! Huhuhuu...!” Windy terduduk disebuah kursi makan dan menangis tersedu-sedu. Hati anak mana yang tidak akan tersayat melihat keadaan ibu kandungnya seperti itu. Sejak kecil ia belum pernah merasakan belaian tangan ibunya. Hanya Faridalah yang menggantikan kasih sayang seorang ibu kepadanya. Apalagi perhatian seorang ayah. Sejak umur dua tahun Windy tidak pernah bertemu ayahnya. Sedangkan Farida juga hidup menjanda semenjak suaminya meninggal dunia delapan belas tahun lalu. Farida memutuskan untuk tidak menikah lagi dan hanya menyibukkan diri mengurus adiknya Hanum beserta Windy keponakannya dan Juned anak semata wayangnya.Setelah mengunci pintu dapur, Farida menarik sebuah kursi dihadapan Windy. Ia lalu menuangkan segelas air putih kedalam gelas tinggi dari sebuah cerek plastik. Gelas itu ia sodorkan kepada Windy yang terlihat pucat wajahnya.“Minumlah dan tenangkan dirimu Win. Kamu punya tugas yang sangat berat di Jakarta nanti.” ucap Farida sambil menghela nafas panjang.“Selain menyelesaikan kuliahmu dengan baik, kamu juga harus mencari ayahmu. Karena hanya ayahmu yang bisa menyembuhkan ibumu.” sambung Farida menatap wajah keponakannya.Windy meraih gelas yang disodorkan mak nya Farida dan air sejuk segera membasahi kerongkongannya. Entah karena haus atau karena beratnya beban hati yang tengah ia tanggung membuat Windy menyosor air putih itu sampai habis. Lalu ia meletakkan gelas kosong dihadapannya.“Iya Mak, Windy akan selalu ingat nasehat Mak.” jawab gadis itu penuh percaya diri.“Windy harus bisa menemukan Ayah dan membawanya pulang. Karena hanya Ayahlah yang bisa membuat Ibu sembuh.” sambung Windy.“Dan kamu harus hati-hati melakukan misimu Win, Mak dengar si Fatma itu cukup kejam dan licik.” Kata Farida memandang sedikit khawatir kepada Windy.“Iya Mak, Windy akan selalu hati-hati.” sahut Windy.“Tenang saja Mak, Juned akan menjaga dan membantu Windy.” Tiba-tiba Juned sudah berdiri dibelakang Farida dengan berselimut kain sarung. Udara terasa cukup dingin karena seharian hujan tiada henti.“Sudah kamu persiapkan semua barang-barangmu Juned ? Jangan sampai ada yang ketinggalan.” kata Farida memalingkan wajahnya kepada Juned yang tengah membuka tudung saji. Juned mencomot satu buah goreng pisang yang sudah dingin lalu melahapnya.“Sudah Maaak...! Mak jangan khawatir.” jawab Juned sambil mengunyah goreng pisang dimulutnya. Bunyi kucipak-kucipuk terdengar dari mulut Juned.“Kamu itu ya Jun, makan aja pikirannya.” Mak Farida mulai mengomeli anak lelakinya itu.“Lha nanti kalau Juned mogok makan Mak juga yang susah.” jawab Juned lalu kembali membuka tudung saji dan mencomot sebuah goreng pisang lagi lalu memasukkan kedalam mulutnya sembari kembali melangkah kekamarnya.Farida hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat ulah anak lelakinya itu.****“Hak..hak..hak..!”Pak Tua itu kembali tertawa sumbang. Suaranya bercampur serak dan Windy merasa kalau lelaki itu hidup dalam tekanan psikis berat yang cukup lama.Pak Tua kembali berdiri dan kakinya yang gemetar ia seret melangkah menuju sebuah lemari buku yang berdiri di antara ruang tamu dan ruang keluarga. Banyak tersusun buku-buku di sana namun Pak Tua mengambil sebuah saja di dalam laci yang sepertinya adalah album foto.Ia memegang album itu dan menatap benda itu sejenak laluuu..Breeet...Album besar itu ia lemparkan ke arah Windy dan hampir saja mengenai kepala gadis itu.Oouh..Windy menghindar sehingga kepalanya luput dari serangan benda yang datang tiba-tiba tersebut.Bruuuk...Album itu jatuh ke atas lantai dan beberapa lembarannya nampak terbuka.“Lihatlah! Dan kamu akan menemukan jawaban di sana!” perintah Pak Tua dengan tegas menunjuk album yang teronggok di lantai.Windy menatap se
Windy di bawa ke sebuah rumah besar yang mirip dengan sebuah istana mewah.“Di mana ini?” tanya Windy sambil mengedarkan pandangan matanya sekeliling ketika Sandy telah mempersilahkannya turun dan ia menjejakkan kakinya di halaman bangunan yang ternyata sebuah Villa.“Di kediamanku!” jawab Sandy cukup angkuh.“Oh, aktor setaraf Sandy tentu saja mampu membeli rumah nan megah seperti ini.” ucap Windy di dalam hati.Entah mimpi apa ia semalam kok bisa-bisanya ia menjejakkan kaki di rumah aktor tampan itu dan berduaan pula dengannya.“ Di mana Alvin?” tanya Windy tidak sabar.Sandy tidak menjawab namun ia terus berjalan memasuki rumah megahnya tanpa sedikit pun memberikan pelayanan kepada Windy yang merupakan tamu di rumahnya itu.“Dasar manusia aneh!” sungut Windy namun akhirnya ia mengikuti langkah lelaki itu. Windy sedikit mengibaskan ujung kerudungnya yang jatuh ke depan.Sandy
Fatma masuk ke dalam kamar dan mengganti stelan kantornya dengan baju rumahan. Ia mengenakan sebuah daster berwarna lila bercorak kembang sepatu berwarna putih. Fatma kini duduk di meja makan namun bukan makan malam yang ia inginkan. Ia duduk sambil mengutak-atik ponselnya.“Apakah Nyonya mau makan malam?” Tatik datang menanyakan keinginan majikannya.Fatma tidak menjawab, ia hanya mengibaskan tangannya dan itu cukup membuat Tatik terbirit-birit pergi. Tatik hafal sekali sifat majikannya itu. Fatma akan gampang mengamuk apa bila ada orang yang mengganggu ketika dirinya sedang memikirkan sebuah perkara besar.“Mereka sudah datang untuk menuntut balas!” ucap Fatma sedingin es lewat ponselnya entah kepada siapa. Lalu ia nampak mengangguk-angguk.Selova yang kepo terus mengintip dari dapur. Ucapan Fatma barusan mendarat sempurna di pendengaran gadis yang sering di ejek sandal selop oleh Alvin tersebut.“Hah? Menuntut balas?&rd
Adzan Isya bergema dari mesjid yang tidak begitu jauh dari rumah kost Windy. Gadis itu terlonjak kaget dari atas pembaringannya ketika ia menoleh ke jam di dinding kamarnya yang menunjukkan waktu hampir jam 8 malam.“Astaghfirullah.. sudah Isya rupanya. Kok aku bisa ketiduran sepulas ini, sehingga tidak mendengar adzan Magrib?” keluh Windy sembari bergegas menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Lalu ia segera menunaikan sholat Isya yang di jamak dengan sholat Magrib.Selesai melaksanakan rangkaian ibadah malam itu, Windy merapikan kembali mukena dan sejadahnya. Lalu ia mengambil ponselnya yang terletak di atas meja belajarnya.“Aduh, banyak banget panggilan dari Alvin. Dari tadi ponsel aku silence kan sehingga aku tidak mendengar nada panggilan.” ucap Windy jadi tak enak hati. Ia langsung menghubungi nomor kontak Alvin.Ponsel Alvin berbunyi di atas meja makan. Fatma segera mengambil benda pipih itu dan tersenyum sinis ketika melihat siapa
Sampai di rumah hari sudah mulai malam. Alvin bergegas turun dari mobil Selova dan setengah berlari masuk ke dalam. Ia ingin segera menemui Januar.“Apaan ini Bik..??” teriak Alvin langsung gusar ketika ia kebetulan melihat Bik Tatik pembantu rumah tangga, tengah menyusun makanan di atas nampan yang biasa di gunakan untuk memberi makan Januar.Bik Tatik yang tengah berkosentrasi dengan pekerjaannya langsung mengelinjang kaget. Piring yang berisi makanan bekas hampir saja jatuh dari tangannya yang langsung menggigil.“Makanan buat siapa ini?” tanya Alvin dengan suara keras dan mata melotot memandang Bik Tatik yang semakin gemetar. Ia hafal sifat Tuan Mudanya itu kalau sedang marah. Dan satu-satunya alasan yang membuat Alvin marah hanyalah kalau makanan yang di berikan kepada Januar tidak sesuai dengan standar kemanusiaan.“Jawaaaab....!!” bentak Alvin menggema seantreo rumah.“Buuu...buuaat.. Paak.. tuu..tuaa, Deen..!
“Apa kamu mau mempermalukan Mama Alvin?” Fatma langsung bertanya begitu Alvin menghenyakkan bokongnya di atas sebuah kursi tepat di depan meja kerjanya.“Mempermalukan Mama? Maksudnya apa sih Ma?” tanya Alvin tak mengerti.“Jangan pura-pura bodoh kamu Alvin! Ataaau...? Atau memang kamu sudah menjadi bodoh sejak jatuh cinta pada perempuan kampung itu?” jawab Fatma dengan bertanya sengit. Matanya tajam menatap Alvin.“Mama, Mama orang pintar seharusnya tidak wajar berbicara seperti itu. Orang yang terpelajar seharusnya lebih menghargai orang lain.” sanggah Alvin dan membuat wajah Fatma langsung merah padam. Ia jelas tidak suka dengan kalimat yang di lontarkan Alvin barusan.“Oh, hebat kamu sekarang ya, gara-gara membela anak orang gila itu kamu berani menentang Mama!” bentak Fatma marah. Matanya melotot seakan biji matanya mau keluar dari rongganya.“Orang gila? Orang gila siapa Ma?” tanya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments