Adra berlari menuju pintu RSUD Majalengka. Sekilas melirik arlojinya, hampir terlambat. Walau pun hanya untuk menemui seseorang, tapi kali ini dia sebisa mungkin harus terlihat displin. Tentu saja agar mendapatkan pekerjaan.
Saat memasuki pintu masuk, beberapa orang melihat Adra dengan tatapan bertanya. Namun dia hanya acuh, tak peduli apa pun yang akan dipikirkan orang lain. Lalu berjalan tenang sambil mengatur napas, seakan yang dia lakukan tadi bukanlah hal penting. Menjadi pusat perhatian sangatlah tak nyaman bagi Adra, apalagi jika mendapatkan tatapan-tatapan aneh.
Setelah bertanya pada resepsionis, Adra menuju ke sebuah ruangan. Di sana dia bertemu dengan Pak Yudi. Sangat ramah. Begitu mengetahui bahwa Adra mendapat informasi dari Ilya, Pak Yudi langsung mempersilahkannya untuk masuk dan duduk.
Ruangan itu terlihat memanjang dengan beberapa ranjang di sisi lain. Dari pintu masuk langsung bisa terlihat sebuah meja kerja. Tak mewah, hanya meja dan kursi seadanya. Di depan meja kini Adra terduduk menghadap Pak Yudi yang tampak mengamati sebuah buku jurnal.
“Usiamu berapa?” tanya Pak Yudi tanpa kehilangan fokus pada buku jurnalnya.
“Dua puluh empat, pak,” jawab Adra tegas.
Pak Yudi mengangguk pelan sambil mencari sesuatu di meja kerjanya. Lalu sebuah lembar fomulir disondorkan pada Adra.
“Isi data dirimu sesuai KTP, kamu tau kan pekerjaan Office Boy itu seperti apa?”
“Siap pak. Dari pengalaman saya, sepertinya belum pak, tapi bapak tenang saja, saya orangnya mudah belajar kok.”
“Jangan terlalu formal seperti itu, santai saja. Lagi pula tidak perlu datang sepagi ini juga, atau kamu mau langsung bekerja?”
Mendengar itu Adra sangat antusias dan menjawab dengan semangat.
“Tentu, saya siap kapan saja.”
Pak Yudi memalingkan wajahnya, menatap Adra lekat-lekat. Pria dengan rambut yang hampir rata dengan warna putih itu tersenyum tipis lalu melipat tangannya di dada.
“Aku suka semangatmu, bekerjalah dengan baik. Jika merasa tidak nyaman dengan pekerjaan ini, bilang saja. Tapi setidaknya bekerjalah selama seminggu agar mendapat gaji.”
Setelah menjelaskan, Pak Yudi mengabil sesuatu di loker mejanya. Sebuah seragam kerja dia sondorkan pada Adra.
“Gantilah pakaianmu, aku sendiri yang akan menjelaskan apa saja yang perlu kamu kerjakan.”
Adra mengangguk paham. Dalam hati dia sangat bersyukur, bukan hanya karena mendapat pekerjaan, tapi juga sikap Pak Yudi yang begitu baik.
***
Setelah mendapat arahan oleh Pak Yudi, kini Adra sudah mulai bekerja. Membersihkan lantai koridor-koridor rumah sakit dengan vakum. Adra tampak begitu serius dan teliti, bahkan wajahnya pun mulai berkeringat karena harus selalu memindahkan vakum yang berat. Memang terdapat roda jalan pada kaki vakumnya, namun tentu saja memerlukan tenaga lebih untuk mendorongnya. Setelah memastikan satu jalur telah bersih, dia pergi ke tempat lain dan begitu seterusnya. Cukup melelahkan, namun setidaknya Adra tak kelelahan karena mencari pekerjaan.
Sejauh ini lancar, hanya saja terkadang Adra sedikit terganggu dengan pengelihatannya yang berbeda itu. Dia sempat melihat beberapa pasien yang berlalu lalang memiliki tanda kematian. Bukankah kondisi mereka baik? Jika tidak pasti masih terbaring di atas ranjang rawat. Beberapa dari mereka terlihat dituntun oleh anggota keluarganya sambil membawa satu set infus beserta tiangnya. Ada yang ke toilet, ke taman dan entah ke mana lagi. Adra tak memperhaikannya lagi setelah melihat tanda-tanda itu.
Yang paling parah adalah di sekitar area ruang IGD. Beberapa pasien yang baru dibawa masuk memiliki tanda sangat jelas. Adra terkadang menghela napas dan menyingkir ke tempat lain. Sebelumnya Adra memang tak pernah berpikir akan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi. Bukan takut, Adra hanya merasa tak nyaman saja. Batinnya bertarung antara pikiran yang mencoba acuh. Sebenarnya Adra adalah orangnya peduli sekitar, dia suka memperhatikan hal-hal kecil yang ada di sekitarnya. Namun kini sikapnya itu hampir memudar. Bukan apa-apa, tapi dirinya seperti tersiksa sendiri. Matanya melihat itu, hatinya bersimpati dan logikanya menentang. Betabrakan, menjadi masalah internal pada diri Adra, menghasilkan stres yang berkelanjutan menjadi depresi.
Sekeras apa pun Adra mencoba, pasti dia akan merasa bersalah karena tak berdaya. Tapi hanya terkadang saja. Dan hari ini tampaknya Adra mulai merasa seperti itu. Jika sekali dua kali saja tak apa, tapi hari ini dalam satu tempat saja dia melihat banyak orang yang memiliki tanda kematian.
Lalu sebuah pertanyaan mulai terpikir oleh dirinya. Akankah ini baik atau buruk? Tentu saja buruk untuk dirinya. Dan mungkinkah akan seperti ini terus. Adra menghela napas, jam istirahatnya sudah hampir habis. Rokok yang dia hisap juga hampir habis.
“Ilya udah baik banget sama aku, masak aku kayak gini sih,” gumam Adra setelah menghebuskan asap rokoknya.
Ringan. Saat mengingat Ilya dia merasa lebih tenang dan seakan bisa melalu semua ini.
***
Hari pertama bekerja yang sangat menguras tenaga dan menekan batin. Adra pulang berjalan kaki, menyusuri trotoar yang mulai padat akan orang. Sebenarnya tak terlalu ramai, sebagian dari mereka juga tampak seperti Adra yang baru saja pulang kerja. Beberapa lagi ada yang sekedar lewat.
Langkah Adra terhenti, menatap langit sore yang tampak cerah. Orang-orang berlalu lalang melewati dirinya. Suara bising kendaraan di jalan raya. Teriakan para pedagan jajanan sore. Hening, Adra merasa sunyi dan sepi. Semua terlihat begitu cepat melewatinya bagai bayang-bayang tak jelas. Dia seakan sendirian, terdiam memaku, waktu seperti berhenti dan melewatinya.
Adra baru tersadar saat sebuah bus berhenti di halte yang ada di depannya. Dengan gerakan cepat dia memasukan sebungkus makanan ke dalam tas punggungnya. Lalu berlari melewati beberapa orang dan sampai di halte dengan napas memburu. Telat sedikit saja dia bisa tertinggal tadi. Walau nanti akan ada bus lagi, tapi tentu saja akan sangat membosankan. Adra hanya ingin cepat pulang dan menenangkan pikirannya.
Setelah turun dari halte Adra kembali berjalan, menyusuri trotoar Jalan Majalengka-Cikijing. Tiba-tiba pikirannya teringat pada sosok Ilya saat dia hampir melewati toko bunga di depan sana. Adra berhenti sesaat, memikirkan sesuatu. Lalu dengan mantap melanjutkan langkahnya, memasuki toko bunga itu.
“Selamat datang,” suara yang sudah tak asing lagi menyambut kedatangan Adra.
Wanita itu tersenyum lalu beranjak mendekat, ekspresinya seakan menunggu sebuah kalimat yang akan diucapkan oleh Adra.
“Hari ini aku udah kerja di sana,” ucap Adra datar.
Ilya mengamati penampilan Adra. Terlihat rapih dan lebih manusiawi, tak seperti kemarin. Sungguh, saat ini Ilya tengah berdecak kagum karena penampilan Adra yang menurutnya terlihat gagah. Walau Adra hanya mengenakan kemeja putih dan slim fit pants, tapi menurut Ilya itu sudah sangat keren. Seperti saat mereka pertama bertemu. Bukan selera Ilya rendah, justru sebaliknya. Bagi wanita itu, dia menilai penampilan bukan hanya pada satu sisi saja, tak mempermasalahkan wajah atau warna kulit. Bagi Ilya, seorang pria harus bisa berdiri tegap dan memposisikan diri dengan baik jika sedang menghadap seorang wanita. Dan Adra melakukannya, walau dengan suasana hati yang kacau.
Seperti Adra saat ini. Namun ada sesuatu yang mengganjal di hati Ilya. Pasalnya nada ucapan Adra barusan terkesan lain. Jika dia mendapatkan pekerjaan itu, harusnya akan terdengar senang bukan.
“Kenapa nada bicara kamu kayak gitu, harusnya senang dong. Kemarin aja kamu semangat banget, masak baru hari pertama aja udah kayak gini.”
Adra terdiam menatap Ilya dengan wajah datar. Dia bingung harus berkata apa, bukankah Pak Yudi sangat baik. Lalu apa alasannya? Mengatakan bahwa dia melihat banyak orang yang memiliki tanda kematian? Tidak, Adra sejauh ini sudah menyimpan rapat-rapat rahasia itu. Lagi pula Ilya juga pasti akan menganggap Adra gila jika benar-benar menceritakannya.
Adra menggaruk kepalanya sambil mengedarkan padangan ke sekitar.
“Aku capek,” ucap Adra, lalu mengambil sesuatu dari tas punggungnya.
Adra memberikan sebungkus makanan itu pada Ilya.
“Makasih udah bantu aku cari kerjaan.”
Ilya kebingungan dan alih-alih menatap sebungkus makanan itu.
“Ini apa?”
“Itu nasi lengko. Maaf cuma itu yang bisa aku kasih, aku pulang dulu.”
Baru saja Adra berbalik dan ingin melangkah, tapi tangan Ilya tiba-tiba saja menyentuh pundak Adra.
“Mau ke mana?”
“Pulang, aku capek.”
“Kamu nggak mau makan ini sama aku?”
Adra termenung sesaat. Kenapa dia harus menemani si Ilya itu makan?
“Makan sendirian itu rasanya nggak enak, yuk makan bareng.”
Tanpa menunggu jawaban, Ilya langsung meraih tangan Adra dan membawanya ke ruang dapur. Di tengah ruangan terlihat satu set meja kursi makan yang rapi.
“Loh kok bengong sih, duduk aja. Nggak usah malu,” ucap Ilya sambil menyiapkan dua piring di atas meja.
Mendengar itu Adra menatap Ilya, tanda kematian itu sudah bertambah besar. Lalu kenapa dia seperti ini? Pantaskah dirinya mendapatkan kebaikan Ilya? Rumit. Adra menghela napas, membuang semua pikiran tak jelas itu. Jika ada orang yang baik padanya, maka dia harus membalasnya dengan kebaikan.
Adra pun akhirnya duduk, Ilya sudah selesai menyiapkan sebungkus nasi lengko itu pada dua piring. Lalu mengambil tempat duduk di depan Adra.
“Selamat makan,” ucap Ilya dengan ceria.
Adra terdiam, menatap wanita di depannya yang saat ini terlihat begitu menikmati makanan yang dia beri. Hatinya terasa lega.
“Adra,” panggil Ilya.
Adra mendongak, sedikit terkejut.
“Jangan kebanyakan ngelamun, ayo dimakan.”
Ucapan itu bagai tamparan keras. Menusuk ke hatinya begitu dalam, namun justru hal itu yang membuat Adra seperti tersadar.
Selagi makan, tatapan Adra tak pernah lepas dari Ilya. Wanita itu terlihat sangat hidup, maksudnya seakan tak mempunyai masalah. Selalu tersenyum, ceria dan baik. Tentu sebagai laki-laki Adra tak bisa memungkiri jika Ilya mempunyai pesona tersendiri.
“Kenapa liatin aku terus?” tanya Ilya yang sadar akan tatapan Adra.
“Kamu cantik.”
Dua kata bernada datar itu membuat Ilya terdiam sesaat, lalu memastikan dengan isyarat tangan yang menunjuk pada wajahnya. Adra mengangguk lalu fokus dengan makanannya, mengabaikan Ilya yang sudah salah tingkah sendiri.
***
“Maaf cuma punya air putih,” ucap Ilya lalu tersenyum, mengamati Adra.“Makasih, ya,” balas Adra setelah menghabiskan minumannya. Dia mengeluarkan sebuah bungkus rokok, baru saja Adra ingin mengambilnya sebatang, namun terhenti. Sadar akan sesuatu.“Maaf, aku keluar dulu,” ucapnya kemudian. Ilya mengangguk pelan lalu mengikuti langkahnya dari belakang.Di depan toko Adra menyalakan rokoknya. Menikmati setiap hisapan dan hembusannya sembari menatap jalan raya yang semakin ramai. Di belakangnya ada Ilya yang tengah berdiri menyembunyikan kedua tangannya ke belakang. Mengamati sesosok laki-laki yang sempat membuat perasaannya kacau.Angin berhembus, rambut panjang Ilya terurai ke samping. Beberapa helai seakan ingin ikut terbang bersama angin. Ilya menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, dan secara kebetulan Adra berpaling. Menatap Ilya.Asap r
“Ilya...,” panggil Adra sambil menyentuh pundak wanita itu.Pelukan itu berakhir, membuat mereka saling menatap begitu dalam. Hasrat Adra muncul, tangannya menyentuh wajah Ilya dengan lembut. Lalu mulai mendekatkan wajahnya.Ilya terlihat gugup, memutar bola matanya kesana kemari. Dia khawatir jika nanti dirinya ikut hanyut. Ilya memalingkan wajahnya, isyarat jika dirinya belum siap atau tak mau menerima sebuah ciuman dari Adra.Adra terhenyak, sadar akan tindakannya itu. Maka dengan penyesalan dia mundur menjauh.“Maaf kalau aku lancang dan tak sopan,” ucapnya pelan sambil tertunduk menyesal.Ilya yang wajahnya masih merona tampak malu-malu, sebenarnya dia senang diperlakukan seperti itu. Ternyata Adra sangat baik, secara tak langsung dia menghargai Ilya sebagai wanita. Ilya sendiri paham akan keinginan Adra sebagai seorang laki-laki, tapi bagaimana pun d
12 Oktober 2016Pintu terbuka, Pak Yudi menyambut Adra dengan ramah.“Sepertinya keadaanmu sudah membaik hari ini?” tanya Pak Yudi mengamati raut wajah Adra.“Semangat pagi, pak,” balas Adra santai.Adra tersenyum lalu mengambil seragam kerja yang sudah dia rapikan semalam.“Sekali lagi terima kasih,” ucap Adra sambil mengembalikan seragam kerja itu. Pak Yudi menerimanya dengan senang hati.“Sama-sama.” Pak Yudi mengabil sebuah amplop putih dan menyodorkannya pada Adra, “terimalah, walau tidak banyak. Semoga selanjutnya kamu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan dirimu.”Adra merasa senang dan langsung menerima amplop itu. Dia juga sempat menunduk memberikan hormat.“Terima kasih, pak. Saya permisi dulu.”“Iya, silahk
“Wah rasanya kangen banget,” ucap Alia begitu memasuki rumah. Dia beranjak kesana kemarin dengan riang, sedangkan Adra langsung menghaburkan tubuhnya ke sofa.Entah mengapa rasanya sangat lelah, padahal hari masih cukup pagi. Adra merasa seperti ada sesuatu yang telah terjadi pada dirinya. Tapi apa? Dia sama sekali tak mengingat tentang mata merah Dokter Sa dan ciuman dari wanita itu. Terakhir yang dia ingat adalah pergi ke kafe bersama seorang dokter perempuan, lalu secara tak sengaja bertemu Alia. Kemudian dia tertidur? Tidak, Adra menolak logikanya. Pasti ada sesuatu, dia terus bertanya-tanya tanpa mendapatkan jawaban.Sampai akhirnya Alia muncul dengan membawa dua gelas es teh, membuat Adra bangkit dari posisi tidurnya.“Pengertian juga kamu,” ucap Adra langsung mengambil satu gelas es teh dari tangan Alia.Gadis itu cemberut, ingin memaki tapi tak tega. Pasalnya Adra terl
Pagi-pagi sekali Alia sudah bangun dan melakukan pekerjaan rumah. Setelah selesai, dia beranjak ke kamar Adra, mengamati keadaan kakaknya itu.“Kak, aku bersihin badan kamu ya, abis itu kita sarapan.”Adra hanya diam dengan tatapan kosong. Alia semakin kalut dan sedih melihat kakaknya seperti itu. Semalaman Alia berpikir, namun tetap saja tak bisa mengerti dengan apa yang terjadi pada Adra. Jika mengingat masa lalu, Adra memang pernah seperti itu setelah kedua orang tua mereka meninggal. Dan Alia juga yang merawatnya sampai sembuh. Tapi kali ini kasusnya sedikit berbeda. Adra benar-benar tak meresponnya, seakan jiwa kakaknya itu sedang tertidur.Memang benar. Saat ini jiwa Adra tengah masuk dalam memori masa lalunya sendiri. Dia terjebak di sana, tak akan bisa keluar jika tak ada yang datang menjemputnya. Ketakutan dan luka hati yang teramat dalam membuat Adra menyerah dan lebih memilih untuk hidup di kenanga
Ilya mengikuti langkah Alia menuju ke sebuah kamar. Di sana terlihat Adra yang tengah terbaring dengan tatapan kosong. Bahkan tak menghiraukan kedatangan Alia dan Ilya.“Adra...”Suara Ilya bergetar, menahan perasaannya yang mulai kacau. Dia mendekat dengan raut tak percaya. Ada apa dengan Adra? Ilya terus saja bertanya dalam hati.Di ambang pintu, Alia hanya menghela napas. Masih tetap tegar dengan pemandangan sedih di depannya.“Adra...,” panggil Ilya sekali lagi, tapi tetap saja tak ada respon.Lantas Ilya mencoba memposisikan tubuh Adra untuk duduk. Tapi dia justru memeluknya erat, dan tangisnya pun pecah. Terdengar pilu, begitu dalam sampai Alia ikut terbawa suasana.“Adra, kamu kenapa? Aku di sini? Ini aku Ilya. Tolong jangan seperti ini.”Kesadaran Adra yang terjebak pada kenangan masa lalu mulai
16 Oktober 2016Pukul 09:30. Setelah Adra selesai bersih-bersih rumah bersama Alia. Dia memutuskan untuk pergi ke toko Ilya. Entah mengapa dia merasa tak enak dan pikirannya terus tertuju pada Ilya. Apalagi jika ingat akan tanda kematian wanita itu, rasanya Adra tak ingin jauh-jauh darinya, agar bisa melindungi Ilya dari maut. Mungkin hal itu terdengar konyol, tapi bagaimana pun Adra tak ingin berpisah dengan Ilya.Apalagi setelah mendengar perkataan malaikat kematian yang beberapa hari lalu muncul. Sejauh apa pun Adra berpikir, dia tak bisa memungkirinya. Jika ucapan malaikat itu memang benar adanya. Api hitam di atas kepala Ilya sudah semakin besar. Adra tak punya banyak waktu lagi. Jika bisa, Adra akan mengorbankan nyawanya sendiri demi Ilya.Suasana langit pagi tiba-tiba menjadi sedikit murung. Adra bisa merasakan udara di sekitarnya mulai terasa lebih dingin. Dia mendongak, menatap nanar ke jalan raya yang sudah ram
Waktu telah kembali mundur.3 Oktober 2016“Ilyaaa!” teriak Adra terbangun dari tidurnya.Detak jantung Adra begitu cepat, napasnya pun tampak memburu. Keringat dingin memenuhi wajahnya. Dia sempat tertegun sesaat sebelum akhirnya tergesa-gesa mencari ponsel. Begitu melihat tanggal yang tertera di sana, Adra merasa aneh. Antara terkejut dan bingung. Kesadaraannya belum sepenuhnya kembali. Lalu dia merasakan denyutan hebat di kepala, memunculkan ingatan terakhirnya tentang kecelakaan Ilya dan malaikat kematian itu. Adra mengingat apa yang sudah dia sepakati dengan malaikat tersebut, sebuah pertukaran yang sulit dijelaskan dengan akal sehat. Tapi pada kenyataannya, Adra benar-benar mundur pada waktu yang sudah berlalu.Alih-alih Adra melihat ibu jari tangan kanannya. Ada sebuah goresan, ini nyata. Karena masih ragu maka dia menampar pipinya sendiri.“Aww,” d