Share

Chapter 3

Samar-samar terdengar suara kicauan burung. Semakin lama semakin jelas Adra mendengarnya. Dingin, dia menggigil kedinginan. Mimpi yang tak jelas terus berulang-ulang di alam bawah sadarnya.

“Kita akan sering bertemu, hahaha...”

Sesaat ketika Adra mulai tersadar, suara berat yang menakutkan memenuhi pendengarannya. Antara sadar dan tidak.

“Kita akan sering bertemu... ”

“Sering bertemu...”

“Bertemu...”

“Ber–te–mu...”

Seketika mata Adra terbuka lebar. Napasnya memburu bersamaan dengan detak jantung yang sangat terasa, seakan dia baru saja berlari dari sesuatu. Keringat dingin memenuhi wajahnya yang pucat. Sejenak tak bergeming, menatap nanar sekitar beranda rumah. Sinar matahari sudah agak tinggi di ufuk timur. Dan dia baru sadar jika semalaman telah tertidur di ambang pintu. Bukan, lebih tepatnya tak sadarkan diri. Adra menghela napas, dirinya mulai tenang. Lalu bangkit, berjalan ke dalam rumah dengan sempoyongan. Sekujur tubuhnya terasa linu, serta kepala yang masih berdenyut hebat. 

Ini tak baik, kondisinya di luar kendali. Padahal hari ini dia masih ada jadwal wawancara pekerjaan. Sungguh disayangkan, tapi mau bagaimana lagi, untuk berjalan saja rasanya berat. Jika Adra memaksakan diri pasti nanti tak akan baik, lagi pula dia hidup sendirian. Siapa yang mengurusnya jika dia jatuh sakit. Teman? Jangan tanyakan. Tentangga? Sekali lagi jangan tanyakan pada Adra yang anti sosial. Alia, adiknya? Apalagi dia. Keberadaannya saja Adra tak tahu di mana.

“Sial!” pekik Adra sambil memukul pintu kulkas.

Lalu meminum air mineral dingin dengan beratakan sampai membuat bajunya basah. Segar, terasa ke seluruh tubuhnya. Adra menghirup napas dalam-dalam lalu menghaburkan tubuhnya di atas sofa.

“Kenapa jadi seperti ini,” gumam Adra pelan sambil menutup matanya dengan punggung tangan.

Sepi, sangat terasa. Kesunyian yang menakutkan, harapan yang hilang. Keinginan tak menentu, dan kenyataan yang teramat kejam. Pikiran Adra melayang ke mana-mana sebelum akhirnya dia kembali terlelap.

Di dalam mimpinya dia bertemu dengan sosok gadis yang berlari-lari riang di sebuah taman bermain. Berteriak keasyikan ketika mencoba satu per satu permainan yang ada. Adra semakin dalam masuk ke mimpi indah itu, kenangan bersama keluarganya yang utuh. Sangat indah, tapi juga menyakitkan, sampai air mata pun mulai mengalir.

Lelaki yang semalam menatap malaikat kematian penuh amarah, kini tengah tumbang. Tak apa, hanya sesaat. Nanti ada waktunya dia untuk kembali bangkit. Hanya saja saat ini Adra merindukan orang-orang yang sangat dia sayangi.

***

Pagi-pagi sekali Ilya sudah terbangun. Dengan semangat dia menyiapkan diri, lalu memulai kegiatan paginya. Toko buka jam delapan, jadi terkadang jika tak kesiangan maka masih ada waktu senggang. Ilya akan berjalan-jalan di sekitar tokonya sambil bertegur sapa dengan pemilik ruko lainnya. Wanita itu memang selalu ramah pada siapa pun, bagaikan bunga yang membawakan keceriaan dan kesejukan.

Sebenarnya beberapa minggu yang lalu dia sedikit ragu untuk memulai hal ini. Membuka toko bunga dan hidup mandiri, jauh dari kedua orang tuanya. Ilya bukanlah warga asli Majalengka. Asalnya dari Kota Batam, kota terbesar di Provinsi Kepulauan Riau. Sangat jauh, kenapa? Tentu Ilya punya alasan tersendiri dan entah mengapa dia memilih Kota Majalengka sebagi persinggahannya. Jangan tanya tentang keluarga besarnya, Ilya adalah anak nomer tiga dari empat bersaudara. Anak dari pasangan pembisnis handal, tentu sebelum ini hidupnya selalu mewah. Tapi mengapa Ilya pergi meninggalkan semua itu? Jangan tanya lagi, keputusan hati terkadang sulit dijelaskan. Apalagi hati milik wanita, tentu akan sangat rumit dan mungkin terkesan sedih. Satu hal yang pasti Ilya rasakan sampai saat ini, dia tak menyesali sedikitpun keputusan yang telah dia ambil. Buktinya Ilya dengan sungguh-sungguh membuka toko bunga itu dan totalitas dalam mendekor setiap sisinya.

Ilya berhenti di depan tokonya, terlihat tulisan tutup di karton yang tergantung pada pintu kaca. Ia melirik jam tangan mungilnya, lalu tersenyum. Tak terasa sudah jam delapan, maka dengan semangat Ilya bergegas masuk. Membalikan karton itu, kemudian mengecek keadaan ruangan tokonya.

“Sip, hari ini semoga banyak pelanggan yang datang.”

***

“Terima kasih telah datang berkujung,” ucap Ilya setelah salah satu pelangganya keluar dari toko.

Pukul sebelas lebih. Harusnya terik matahari sudah menuju puncaknya, namun tidak seperti itu. Saat ini langit di atas sana terlihat muram bersama udara yang mulai terasa dingin.

Kling...

Lonceng kecil di pintu berbunyi. Seorang pelanggan masuk, membuat Ilya tersenyum hangat.

“Selamat datang,” ucap Ilya ceria.

Sebelum mendapatkan respon, sebenarnya Ilya sudah menerka-nerka jika akan diabaikan. Pemuda bernama Adra itu memang seperti itu. Tapi dari pengamatan Ilya, hari ini dia terlihat lebih menyedihkan. Wajah pucat, tatapan malas dan rambut yang berantakan. Ilya menghela napas lalu mendekat dengan senyuman manis.

“Kamu, Adra yang kemarin?” tanya Ilya basa basi.

Adra mengedarkan padangannya, seakan mencari sesuatu. Namun tujuan akhirnya tetap pada wajah Ilya, lalu ke atas kepala. Tanda itu sedikit membesar, tapi masih ada waktu yang cukup. Ilya yang menyadari tatapan Adra mulai merasa curiga dan mengusap-usap kepalanya. Tak ada apa-apa, Ilya bingung, lalu kenapa dia terus saja menatap seperti itu.

“Kamu punya bunga lily?” tanya Adra datar.

“He-em,” jawab Ilya sambil mengangguk ceria. Lalu dengan perasaan senang dia memetikan sepucuk bunga lily yang kebetulan baru saja mekar.

“Khusus buat kamu aku kasih gratis lagi,” kata Ilya sambil menyodorkan sepucuk bunga lily.

Adra menerimanya tanpa ragu dan tiba-tiba menyelipkan bunga itu ke telinga Ilya. Terjadi begitu saja, wanita itu tak pernah menduga jika jantungnya bisa berdetak tak menentu hanya karena seorang pemuda bersikap manis seperti ini.

“Jangan sia-sia kan waktumu, lakukan yang ingin kamu lakukan. Miliki perasaan bahagia sampai kamu puas, jika ada yang kamu cintai. Nikmatilah waktumu bersamanya, buat kenangan indah,” ucap Adra pelan, terdengar lembut dan penuh penghayatan di setiap katanya.

Tertegun Ilya mendengarnya. Ada sebuah percikan kecil di hati yang sudah lama tak tersentuh. Perasaan itu terasa hangat, menjalar ke wajahnya. Dan entah kenapa tanpa sadar Ilya tersipu malu, memalingkan wajahnya.

“Kenapa kamu berkata seperti itu?” tanya Ilya masih manahan perasaan malunya.

Kenapa bisa seorang wanita 27 tahun terguncang perasaannya karena ucapan seorang pemuda. Bukan berarti Ilya tak bisa bersikap dewasa, hanya saja ini berbeda. Dia benar-benar merasakan sesuatu di hatinya. Kenapa bisa? Ilya sendiri tak mengerti.

“Em, maaf kalau aku–” ucapan Adra terhenti karena wajah Ilya yang tiba-tiba berpaling menatapnya.

Cantik, manis, lembut dan hangat. Perasaan Adra seakan menyelam di mata Ilya yang berkaca-kaca.

“Makasih,” ucap Ilya sedikit terbata, “kamu mau kopi? Duduklah, akan kubuatkan, lagi pula sudah memasuki jam istirahat.”

Sebenarnya Adra hanya ingin menyampaikan ucapannya tadi lalu pergi, namun perasaannya terasa berat. Seakan merasa bersalah dan sebagai gantinya, Adra menuruti perkataan Ilya. Tak ada salahnya jika hanya melamun sesaat sambil meminum kopi seperti kemarin sore.

“Ini kopinya,” ucap Ilya sesaat kemudian sambil meletakan secangkir kopi di atas meja, “kamu nggak kerja?”

“Belum dapat pekerjaan, aku penggangguran,” jelas Adra datar.

Ilya terdiam sesaat sambil memperhatikan penampilan Adra. Sempat terpikir olehnya jika laki-laki di hadapannya ini sedang mengalami kesulitan dan ternyata benar.

“Kalau mau aku punya kenalan kemarin, dia baru cari tenaga kebersihan. Di rumah sakit dekat sini kok, itu sih kalau kamu mau.”

Adra mendongak antusias. Untuk saat ini apa pun pekerjaan akan dia terima agar tetap bisa mendapatkan pemasukan.

“Beneran?” aksen ucapan Adra mulai berubah dan itu membuat Ilya senang.

Ilya tersenyum, lalu menyadarkan punggungnya ke sofa. Sedikit bersikap tak percaya untuk melihat serius atau tidaknya tanggapan Adra itu.

“Kalau kamu beneran mau dan serius, pergilah ke RSUD Majalengka, dekat sini kan. Ya, kebetulan aja kemarin ada pelanggan dari orang sana, lalu ngobrol bentar sama aku.”

Adra terlihat semakin antusias ketika mendengar penjelasan Ilya.

“Aku harus nemuin siapa buat dapat pekerjaan itu?” tanya Adra buru-buru.

“Sebentar,” ucap Ilya seraya bangkit lalu bergegas menuju meja kasir, kemudian kembali dengan sebuah kartu nama yang disondorkan ke Adra.

“Temui dia, bilang saja yang ngasih tahu Ilya pemilik toko bunga Destiny. Tapi aku nggak jamin loh kamu bakal dapat atau enggaknya pekerjaan itu.”

Kartu nama itu diterima oleh Adra dengan senang. Ternyata masih ada yang peduli dengan dirinya. Jujur saja, Adra merasa Ilya terlalu baik pada orang asing yang baru dia kenal. Seakan tak curiga atau risih melihat penampilan Adra yang saat ini cukup berantakan. Namun memang seperti itulah Ilya, siapa pun akan dia bantu.

“Makasih ya, nggak tau mau ngomong apalagi. Kamu udah baik banget sama a–ku,” ucapan Adra terdengar begitu dalam, bahkan kata terakhirnya terjeda sesaat.

“Sama-sama, semoga dapat pekerjaannya,” balas Ilya seraya tersenyum.

Kenapa orang baik selalu berpulang lebih awal? Pertanyaan itu kembali memenuhi pikiran Adra. Menusuk lebih dalam ke hatinya yang keras. Ini sungguh tak adil. Seharusnya Ilya layak hidup lebih lama lagi. Lalu kenapa? Adra bertarung dengan perasaan dan pikirannya sendiri. Tak ada jawaban.

Apakah seperti ini yang dinamakan takdir, selalu kejam dan tak adil.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status