"Kau tidak tahu apa yang sedang aku hadapi, Kay," ucap Rio tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada layar ponsel.
Langkah pelan Andini mendekat dari samping. "Nanti malam aku akan pulang bersama Reynold... ke rumah orangtuaku," katanya lirih.
Ia berdiri cukup dekat untuk menyentuh, tapi cukup jauh untuk tak menyentuh hatinya lagi.
Rio menarik napas dalam, kemudian memutar tubuh dan menatap Andini.
"Aku tidak akan menahanmu. Tapi percayalah, aku sedang berusaha memperbaiki semuanya."
Setelah mengucapkan itu, ia berjalan pergi—meninggalkan Andini berdiri sendiri di ruangan yang tiba-tiba terasa dingin dan asing.
Air mata me
"Kau tidak tahu apa yang sedang aku hadapi, Kay," ucap Rio tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada layar ponsel.Langkah pelan Andini mendekat dari samping. "Nanti malam aku akan pulang bersama Reynold... ke rumah orangtuaku," katanya lirih.Ia berdiri cukup dekat untuk menyentuh, tapi cukup jauh untuk tak menyentuh hatinya lagi.Rio menarik napas dalam, kemudian memutar tubuh dan menatap Andini."Aku tidak akan menahanmu. Tapi percayalah, aku sedang berusaha memperbaiki semuanya."Setelah mengucapkan itu, ia berjalan pergi—meninggalkan Andini berdiri sendiri di ruangan yang tiba-tiba terasa dingin dan asing.Air mata me
Fraksi pendukung Rio keluar dari balik lorong gelap, senapan laras panjang terangkat tinggi. Tanpa peringatan, mereka mulai memberondong kendaraan Malvolio dengan tembakan bertubi-tubi. Barisan mereka membentuk pagar hidup, menahan arus peluru dari balik bayangan.Malvolio mulai terdesak. Fraksi kecil yang dipimpin langsung oleh Senno menggempur habis-habisan, tak memberi celah. Lalu, dari sisi kanan, muncul Sorena—wajahnya penuh amarah, dan di tangannya, sebuah granat siap dilempar."MINGGIR!" teriaknya lantang.Sorena melempar granat ke arah kendaraan Malvolio. Ledakan keras mengoyak malam, menghancurkan pintu baja mobil sekaligus memecah formasi lawan. Anak buah Malvolio melompat keluar dalam kepanikan, hanya untuk disambut peluru panas dari fraksi pendukung Rio. Tubuh-tubuh
Malam itu, aula utama GGH dipenuhi oleh suara langkah dan bisik-bisik. Semua fraksi telah berkumpul. Para petinggi berdiri di belakang calon pemimpin wilayah—sebagai pengawal maupun saksi kekuasaan baru yang akan dibentuk.Rio berdiri di depan, tatapannya menyapu ruangan. "Mulai malam ini, Distrik Sorela dan Wilayah Utara akan dipimpin oleh Isabel dan Sorena." Ia berhenti sejenak. "Vincent dan Alinda akan mengambil alih Wilayah Barat. Sementara dua wilayah sisanya, diserahkan kepada Kayla dan Zaria bersama kelompok mereka."Suasana sunyi. Tak satu pun suara yang keluar dari para fraksi. Rio kembali bicara. "Fraksi pendukung akan dipimpin oleh Senno untuk mengawal pergerakan Zaria. Sisanya... akan dipilih langsung oleh para petinggi wilayah masing-masing. Jelas?"
"Rupanya kau lupa, Rio..." ucap Giulio, suaranya dingin namun penuh ejekan. "Kau bisa berdiri di sini malam ini—di tengah para panglima—karena aku. Tanpa bantuanku, kau hanya akan jadi bangkai di daftar buruan mereka." Ia menoleh ke belakang, ke arah para pemimpin fraksi yang kini menatap dengan wajah tak terbaca.Rio hanya menatapnya datar. Lalu menepuk pundak Giulio, seolah menenangkan... atau mungkin meremehkan. Ia mengangkat gelas ke udara."Kalau begitu, biar aku umumkan sesuatu malam ini."Semua mata menatap Rio. Giulio tersenyum lebar—ia pikir inilah momen kemenangannya."Mulai malam ini, Giulio kita nobatkan sebagai..." Rio mengulur suaranya, menatapnya tajam,"...pemimpin fraksi penolakan."
Di balik layar besarTerlihat Anna dan Robby duduk terikat di atas kursi logam. Wajah mereka babak belur, dan sebuah pistol diletakkan tepat di samping kepala masing-masing—seolah kematian hanya menunggu perintah.Rio menatap layar itu dalam diam. Tatapannya tajam, lalu beralih kepada Lucifer. Bibirnya menyeringai miring."Apa kau tidak tahu cara berterima kasih... Papa?" Nada suaranya sinis, menusuk."Mereka memang bukan pilihan… tapi kalau saja mereka berkata jujur sejak awal, mungkin aku tak akan berada di sini... berdiri di samping iblis seperti dirimu."Lucifer tertawa. Gelak tawa khas predator yang merasa semua masih dalam kendalinya. Ia mengangkat ponsel, menekan sebu
"Alvin… akhirnya kau muncul dari kuburan yang kau gali sendiri," ucap Lucifer dengan tawa rendah, nada suaranya sinis dan mencibir. "Jadi, akan kita antarkan mereka ke altar pernikahan... atau langsung ke peti mati?" Tatapannya mengarah tajam pada Kayla."Tentu saja aku berharap ke altar, Tuan Investor," jawab Alvin, membungkuk sopan tapi berbahaya. "Aku hanya perlu menguji putriku... agar layak mendampingi putramu."Lucifer tertawa kecil, suara yang membuat udara seolah ikut menegang. "Bagus. Tampaknya ini akan jadi reuni keluarga... dan juga pertunangan berdarah."Amon menoleh, wajahnya tegang. Ia memberi aba-aba halus pada anggota Dewan Kematian lainnya. "Kita pergi. Ini bukan lagi medan kita." Mereka mundur, bukan karena kalah visi, tapi kalah jumlah.
Langit Karnosa menghitam. Bukan karena malam, tapi karena asap, debu, dan ketakutan.Kendaraan mewah berlogo tengkorak perak dengan garis merah tua—simbol Dewan Kematian—berhenti perlahan di tengah medan perang. Semua suara senyap. Seolah dunia memegang napasnya.Rio menghentikan langkah. Tangannya masih memegang senjata, tapi dadanya mengeras—karena dia tahu, mereka bukan sekadar pengadil. Mereka adalah vonis.Dari balik pintu mobil, muncul Amon Leclair, berdiri seperti raja tua yang baru saja turun dari singgasana neraka. Di belakangnya, satu per satu anggota Dewan Kematian turun seperti bayangan tak diundang dari masa lalu semua orang.“Sial, mereka datang ke sini...” bisik Sera tep
Semua anak buah fraksi langsung membentuk pagar hidup, senjata mereka teracung tajam ke arah lift yang angkanya terus bergerak naik.DING!Pintu terbuka—kosong.Sesaat kemudian, sebilah pisau melayang dan menancap tepat di kepala salah satu penjaga yang berdiri paling depan. Ia tumbang seketika.Refleks, semua langsung menghujani lift kosong itu dengan peluru. Dentuman senjata memenuhi ruangan, asap mesiu mengepul, membutakan pandangan."BERHENTI!" teriak Rio, suaranya membelah kekacauan.Ia memberi isyarat agar barisan menyebar ke kanan dan kiri. “Tak ada akses lain ke sini selain lift,” gumamnya tajam. Rio menunjuk salah
Rio kembali ke Lorentz Base dengan tatapan kosong. Langkahnya kaku, seperti tubuh yang bergerak tanpa jiwa. Di dalam dirinya—dua sosok sedang saling mencabik.Satu ingin membakar seluruh dunia mafia dan berdiri sebagai dewa.Satunya lagi... masih ingin memimpin dengan arah. Dengan tujuan.“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Kayla, suaranya pelan tapi penuh kekhawatiran.Ia memperhatikan perubahan dalam diri pria yang dicintainya. Dingin. Jauh. Seperti bayangan dari lelaki yang dulu ia kenal.Rio tak menjawab. Hanya mengatupkan bibir rapat-rapat, menahan badai yang terus mengamuk di dalam pikirannya.Rekaman itu.