Beberapa pria bertopeng mulai berdatangan dari segala arah, langkah mereka terukur, namun mengancam. Di tangan mereka, senjata laras panjang mencuat, siap memuntahkan peluru tanpa ampun.
“Sepertinya kita akan mati di sini,” desis Reynold, matanya menyapu liar ke segala penjuru, mencari celah, tetapi yang ia temukan hanyalah jalan buntu dan lingkaran maut. Wajahnya mulai pucat, napasnya memburu.
Sementara itu, Rio tetap tenang, meski matanya sibuk mengamati setiap sudut jalan, mencari kemungkinan terkecil untuk kabur dari kepungan.
Anak buah Axel makin mendekat. Beberapa dari mereka menghantam kaca depan dengan popor senjata, sementara yang lain memanjat kap mobil, mengarahkan moncong senjata ke arah mereka dengan tatapan dingin dari balik topeng.
Ivanko berjanji akan memberikan Rio perlindungan—setidaknya sampai dia selesai berbicara dengan Alvin. Namun, janji itu terasa seperti sebuah perangkap yang bisa menelan Rio kapan saja. Setelah percakapan singkat namun penuh tekanan itu, Rio langsung meninggalkan tempat itu tanpa banyak bicara. Dia tahu satu hal: waktu tidak berpihak padanya.Rio mengajak Reynold untuk mencari tempat yang lebih tenang, di mana mereka bisa berbicara tanpa takut disadap atau diintai. Udara di luar masih lembap selepas hujan, dan aroma lumpur bercampur aspal menguar di sekitar mereka. Ketegangan tampak jelas di wajah Reynold."Kau gila, Rio!" seru Reynold sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke udara, frustrasi. "Kita ini hanya orang biasa! Tidak seperti mereka!" Suaranya sedikit meninggi, meski ia tetap berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain di sekitar.Rio diam, matanya menyapu sekeliling dengan waspada. "Lalu apa rencanamu?" balasnya datar, melangkah
Rio membeku. Informasi dari Alvin baru saja menghantamnya seperti pukulan baja yang menusuk tulang belakangnya. Jari-jemarinya bergetar, menekan nomor Kayla dengan kecepatan putus asa. Satu dering. Dua. Lalu—"Nomor yang Anda tuju tidak aktif," suara operator itu terdengar dingin, menusuk telinganya seperti jarum es."Rio... Kabari aku kalau kau menemukannya." Suara Alvin terputus sebelum Rio sempat menjawab. Layar ponselnya mati, meninggalkan keheningan yang mencekam di ruangan besar itu.Suara langkah kaki. Sebuah klik yang tajam. Ivanko bangkit perlahan dari singgasananya, bayangannya menjulang seperti predator malam yang siap menerkam. Ruangan terasa semakin sempit, udaranya sesak oleh aroma cerutu Havana yang menyengat."Jadi, kau sudah dengar semuanya?" gumam Ivanko, nada suaranya datar namun sarat dengan ancaman. Dia meraih kotak kristal di meja, mengambil satu batang cerutu dengan gerakan elegan, lalu menawarkannya kepada Rio deng
Alinda langsung memutar kemudinya ke kanan dengan gerakan tajam, hingga sisi mobil bergesekan keras dengan pembatas jalan. Suara logam beradu menghasilkan percikan api yang menyala di malam gelap. Untungnya, Alinda berhasil mengendalikan kendaraan dengan cepat—meskipun body mobil sekarang penuh lecet, mereka masih selamat dari tabrakan maut.Dari balik spion, Rio melihat truk besar itu mulai oleng. Buntutnya melintang liar di tengah jalan, menimbulkan kepulan asap hitam yang membumbung tinggi ke langit malam. Truk itu tampak seperti monster tak terkendali yang siap menghancurkan apa pun di jalurnya.Rio, tanpa pikir panjang, mencoba meraih setir untuk mengambil alih kontrol mobil. Namun, Alinda menginjak pedal gas lebih dalam, membuat mobil melaju lebih kencang. "Ini bukan film action seperti yang kau lihat di televisi, Rio!" bentaknya, suaranya tajam namun penuh ketegangan. "Jangan bersikap
"Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Rio, suaranya terdengar berat sementara matanya menatap Alinda dengan intensitas yang hampir menyakitkan. Pikirannya berkecamuk, mencari jawaban di tengah kekacauan yang semakin melingkupinya. Dia tidak tahu harus mulai dari mana—segalanya terasa seperti teka-teki tanpa ujung."Aku rasa jawabanmu ada di sini," kata Alinda pelan, tetapi nada suaranya membawa kepastian yang tak terbantahkan. Tangannya terangkat, menunjuk ke arah Penjara Blacksite Thorne—tempat mengerikan yang menjadi rumah bagi Damien, pria yang menjadi musuh besar Rio, dan kini satu-satunya harapan untuk menghancurkan Randu.Rio hanya bisa terdiam. Napasnya tertahan saat bayangan tentang apa yang mungkin menanti di dalam penjara itu melintas di benaknya. Hatinya belum cukup kuat untuk menghadapi pria yang pernah menjadi penguasa dunia bawah tanah Kota Velmora.
"Whoa... ada apa ini, Rio?" pekik Reynold saat membuka pintu ruangan, melihat dua pria bertubuh besar terkapar tak sadarkan diri."Ayo pergi sekarang!" kata Rio tegas, langsung mengajak semua orang keluar.Sebelum Reynold bisa bertanya lebih lanjut, alarm gedung berbunyi nyaring. Lampu darurat menyala, dan langkah-langkah berat terdengar mendekat dari luar."Apa yang terjadi, Rio?" tanya Reynold panik, saat melihat gerombolan bersenjata muncul di balik pintu."Rio!!" teriak Axel sambil melepaskan tembakan ke udara. Peluru merobek atap, membuat serpihan jatuh menimpa orang-orang di dalam ruangan."Axel!" pekik Andini, menatap Rio dengan mata penuh ketakutan.Alinda mengintip dari celah pintu, menghitung musuh yang menghadang. Dia meraih tas kecil di lantai, mengeluarkan senjata yang ada di dalam tasnya, kemudian merapat ke tembok, siap menyerang."Kalian berlindung di sana," katanya, menunjuk meja kerja Rio.Saat mereka bergerak
Alinda terkesiap saat melihat foto di tangan Rio, seolah udara di sekitarnya mendadak membeku. Ada seseorang yang merekam momen itu tanpa suara—seperti bayangan gelap yang menyelinap di antara cahaya sunyi.Rio menatapnya dengan sorot mata curiga, api kemarahan mulai menjalar di dadanya bak bara yang ditiup angin. Tanpa ragu, dia melangkah maju, meraih leher Alinda dengan kedua tangannya, lalu mendorong tubuh itu ke tembok. Suara benturan keras memecah kesunyian, seperti guntur yang menyambar di tengah malam tanpa bintang."Katakan siapa kau sebenarnya!" desis Rio, suaranya rendah namun tajam, seperti belati yang menusuk jantung Alinda."Dengarkan aku dulu, Rio," balas Alinda, suaranya tersendat namun tetap berusaha tenang. Tangannya meremas pergelangan Rio, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman yang semakin erat."KA-TA-KAN SE-"Belum sempat Rio menyelesaikan ka
"Kaukah yang bernama Viktor Dreykov?" teriak Rio saat melihat pria itu berjalan mendekat, langkahnya mantap seperti seekor predator yang tidak terburu-buru."Alasan apa yang membuatku harus menjawab pertanyaanmu, anak muda?" balas Viktor datar, suaranya rendah namun menusuk seperti bilah es. Sorot matanya tajam, menyapu wajah Rio seolah sedang menilai serangga yang tak berarti.Tiba-tiba, satu per satu bayangan gelap muncul dari balik pepohonan dan kendaraan tua yang tersebar di sekitar bukit. Anak buah Viktor muncul tanpa suara, senjata mereka teracung ke arah kelompok Rio. Tidak ada jalan keluar—mereka terkepung. Ancaman yang dilakukan Alinda sebelumnya hanya membuat suasana semakin keruh, seperti api yang membakar minyak tanpa kontrol."Tembak saja mereka," ucap Viktor dingin, lalu berbalik menuju van tua yang menjadi markas sementara. Langkah kakinya pelan tapi pasti, seolah-olah dia tidak peduli apakah orang-orang itu hidup atau mati.Namun, te
Rekaman itu berubah, memperlihatkan sosok Damien yang kini mengenakan seragam kuning khas tahanan Blacksite Thorne. Cahaya redup dari lampu neon di atasnya menyelimuti wajahnya yang penuh kerutan, seolah bayang-bayang masa lalu masih menghantui."Viktor..." suaranya rendah, hampir seperti bisikan angin malam yang menusuk tulang. "Jika putra Robby mengetahui semuanya, kau harus memulai peperangan lagi—seperti dulu, saat kita berdua menguasai Velmora. Dia akan datang... tapi ada satu hal yang harus dia ketahui soal..."Sebelum Damien bisa melanjutkan, suara bentakan kasar memotong ucapannya. "Damien... ada tamu untukmu!" Sipir penjara muncul dari balik pintu besi, suaranya keras dan menusuk seperti cambuk."Selamat malam, Tuan Damien," sapa Randu dengan nada serak namun dingin, seperti pisau yang perlahan menggores
Langkah Viktor bergema saat menghampiri Rio. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya gelap. "Kita bertemu Damien. Sekarang," katanya datar, tanpa embel-embel penjelasan.Di halaman depan, iring-iringan kendaraan sudah menunggu. Mesin-mesin menderu pelan, seperti binatang buas yang menahan diri untuk tidak menyerang duluan.Kayla muncul dari belakang, mengenakan jaket hitam dan menenteng tablet. Matanya terus bergerak, membaca situasi."Viktor, kau yakin malam ini tak akan jadi malam terakhir kita?" tanya Kayla suara rendah, menahan keresahan"Jika Damien bicara, kita bergerak. Jika dia diam… berarti kita sudah mati sebelum sempat mulai." jawab Viktor tak menoleh, naik ke kursinya)
Dua anak buah Viktor menyeret Andini dengan kasar menyusuri lorong sempit. Lampu gantung di langit-langit berayun pelan, memantulkan cahaya kuning kusam ke lantai beton yang lembap. Di ujung lorong, pintu baja terbuka perlahan dan interogasi pun dimulai.Andini dijatuhkan ke kursi logam, tangan terikat ke belakang. Nafasnya pendek. Matanya liar.Rio duduk menyamping, diam. Luka di pelipisnya masih merah, tapi sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya. Di sisi lain ruangan, Kayla mondar-mandir seperti singa betina yang dikurung.Viktor berdiri menghadap dinding monitor, memutar ulang rekaman ledakan gudang senjata. Suaranya pelan, tapi penuh tekanan. “Ini bukan kebetulan. Seseorang tahu lokasi kita. Tahu rencana kita.”
Malam itu mereka menuju Lorentz Base, tempat dimana Rio akan memulai kembali semuanya tapi dengan bisnis yang lebih mendebarkan.Tempat ini merupakan persembunyian Damien sebelum dia mendekam di penjara.Debu beterbangan setiap kali langkah mereka menginjak lantai beton yang retak. Bau logam tua dan oli sangit menyusup ke hidung Rio, membangkitkan ingatan lama yang tak diundang.Viktor berjalan di depan, membuka gerbang baja dengan suara berderit nyaring."Selamat datang kembali di sarang Damien," gumamnya dingin.Rio melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling — dinding dengan bekas peluru, tangga spiral berkarat, dan peta strategi berjamur yang masih tergantung di dinding, penuh coretan merah."Dulu Damien memulai semuanya dari tempat ini
Pagi itu, Andini terbangun perlahan. Dia masih bersandar dalam pelukan Rio, tubuh mereka terbalut kehangatan yang kontras dengan udara dingin yang merayap dari mulut gua.Kabut tipis melayang di udara, membentuk bayangan samar di luar sana. Suara tetesan air embun jatuh dari batu-batu di langit-langit, menciptakan irama pelan yang terasa hampir romantis — jika saja situasinya tak begitu berbahaya.Tiba-tiba, suara teriakan menggema di kejauhan."Alinda... sepertinya mereka di dalam mulut gua!" Suara Reynold—panik, mengancam—menggetarkan dinding batu.Andini membeku, lalu dengan cepat menggoyangkan tubuh Rio. "Rio... bangun. Rey dan Alinda... mereka mencari kita," bisiknya tergesa, nadanya d
Bayangan moncong senjata nampak dari balik pintu, Rio mengangkat satu jari ke depan mulutnya.Saat pria itu masuk, Rio langsung menarik senjatanya kemudian mengapit lehernya sambil membekap mulut hingga dia tak bernafas.Rio menyelinap keluar, masih ada dua orang bersenjata sedang mengelilingi kabin tua ini, dia sengaja meninggalkan Andini untuk menjadi umpan."Jangan berge-," belum selesai bicara, Rio langsung memutar kepalanya pemburu tersebut dari belakang.Suara tulang berderak kencang, lehernya patah.Tubuhnya langsung ambruk ke tanah."Rio di belakangmu," Andini memekik menunjuk pemburu lain yang siap menyerangnya.Dengan sigap Rio berguling lalu menarik pisau yang ada di kakinya, kemudian menusuk perutnya berkali-kali hingga tewas.Kedua matanya kembali mengawasi keadaan sekitar, setelah di rasa aman, Rio segera menarik Andini untuk segera keluar dari kabin ini.Kabut tipis
Asap tebal mengepul dari reruntuhan vila, menciptakan kabut kelabu yang mengaburkan pandangan. Rio bangkit dengan tubuh remuk, setiap gerakannya menusuk sakit, tapi dia menahan semua itu. Dia tidak punya pilihan.Matanya liar mencari satu sosok."Andini!" teriaknya, suara serak karena asap.Dia merangkak di antara puing-puing, menahan batuk, hingga akhirnya menemukan Andini tergeletak.Gadis itu masih bernafas, meski wajahnya penuh debu dan darah tipis mengalir di pelipis."Andini, kau dengar aku?" Rio memegang bahunya, mengguncangnya perlahan.Andini membuka mata, pandangannya buram,
Rio langsung melompat berdiri, insting bertahan hidupnya meraung liar."Mereka menemukan kita..." desis Alinda, matanya menyala.Sebelum Rio sempat bertanya siapa "mereka"—BOOM!Ledakan brutal mengguncang vila. Dinding retak, lantai bergetar, dunia Rio berputar keras."Andini!!" Rio meraung, tubuhnya limbung tapi tekadnya keras. Dia merangkak di tengah puing-puing, Alinda menarik bajunya kasar."Ada senjata di bawah kasur!" teriak Alinda sambil melindungi kepala dari reruntuhan yang berjatuhan seperti hujan neraka.
Fajar menguap perlahan di ujung cakrawala, menyusup lewat celah-celah jendela vila reyot itu. Decitan pintu kayu tua terdengar seperti jeritan hantu di pagi buta. Angin dingin dari celah-celah jendela menusuk kulit Rio, sementara aroma darah kering masih samar-samar tercium di udara.Rio duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong menatap lantai kayu yang penuh debu dan noda darah kering. Di sudut ruangan, Andini masih terlelap, meringkuk di balik jaket yang tadi malam ia selimuti. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Sesuatu tentang Andini. Tentang kenapa gadis itu begitu familiar di hatinya... tapi asing di pikirannya.Rio menggeram pelan, menepis kegelisahan itu. "Kenapa aku merasa seperti dikhianati meski belum tau apa-apa?" gumamnya dalam hati. Bukan saatnya mempertanyakan. Belum.Untuk saat ini, cukup melihat Andini bernapas dengan damai. Cukup... untuk membuat Rio menunda semua pertanyaan yang membakar tenggorokannya."Rio!" Andini terbangun men
Rio terbangun dengan napas yang terengah-engah. Sekujur tubuhnya berkeringat, dan pikirannya masih kacau. Saat penglihatannya mulai jelas, ia mendapati dirinya berada di ruangan yang sama seperti sebelumnya. Namun kali ini, ada dua sosok terikat di hadapannya—Reynold dan Andini.“Rio… mohon, dengarkan aku,” ucap Reynold dengan suara serak. Wajahnya lebam, darah masih tampak mengering di sudut bibir. “Kau salah paham mengenai semua ini. Aku tidak pernah menyentuh Andini… tidak sekalipun.”Rio menatap kosong. Pandangannya berpindah ke meja di depan, tempat sebuah senapan laras panjang tergeletak—senjata yang sengaja disiapkan, seolah menunggu keputusan akhir.Andini menahan isak. Meski tubuhnya gemetar, sorot matanya tetap tegas. “Rio… semua ini jebakan. Fitnah yang disusun agar k