Ivanko berjanji akan memberikan Rio perlindungan—setidaknya sampai dia selesai berbicara dengan Alvin. Namun, janji itu terasa seperti sebuah perangkap yang bisa menelan Rio kapan saja. Setelah percakapan singkat namun penuh tekanan itu, Rio langsung meninggalkan tempat itu tanpa banyak bicara. Dia tahu satu hal: waktu tidak berpihak padanya.
Rio mengajak Reynold untuk mencari tempat yang lebih tenang, di mana mereka bisa berbicara tanpa takut disadap atau diintai. Udara di luar masih lembap selepas hujan, dan aroma lumpur bercampur aspal menguar di sekitar mereka. Ketegangan tampak jelas di wajah Reynold.
"Kau gila, Rio!" seru Reynold sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke udara, frustrasi. "Kita ini hanya orang biasa! Tidak seperti mereka!" Suaranya sedikit meninggi, meski ia tetap berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain di sekitar.
Rio diam, matanya menyapu sekeliling dengan waspada. "Lalu apa rencanamu?" balasnya datar, melangkah
Langit Karnosa menghitam. Bukan karena malam, tapi karena asap, debu, dan ketakutan.Kendaraan mewah berlogo tengkorak perak dengan garis merah tua—simbol Dewan Kematian—berhenti perlahan di tengah medan perang. Semua suara senyap. Seolah dunia memegang napasnya.Rio menghentikan langkah. Tangannya masih memegang senjata, tapi dadanya mengeras—karena dia tahu, mereka bukan sekadar pengadil. Mereka adalah vonis.Dari balik pintu mobil, muncul Amon Leclair, berdiri seperti raja tua yang baru saja turun dari singgasana neraka. Di belakangnya, satu per satu anggota Dewan Kematian turun seperti bayangan tak diundang dari masa lalu semua orang.“Sial, mereka datang ke sini...” bisik Sera tep
Semua anak buah fraksi langsung membentuk pagar hidup, senjata mereka teracung tajam ke arah lift yang angkanya terus bergerak naik.DING!Pintu terbuka—kosong.Sesaat kemudian, sebilah pisau melayang dan menancap tepat di kepala salah satu penjaga yang berdiri paling depan. Ia tumbang seketika.Refleks, semua langsung menghujani lift kosong itu dengan peluru. Dentuman senjata memenuhi ruangan, asap mesiu mengepul, membutakan pandangan."BERHENTI!" teriak Rio, suaranya membelah kekacauan.Ia memberi isyarat agar barisan menyebar ke kanan dan kiri. “Tak ada akses lain ke sini selain lift,” gumamnya tajam. Rio menunjuk salah
Rio kembali ke Lorentz Base dengan tatapan kosong. Langkahnya kaku, seperti tubuh yang bergerak tanpa jiwa. Di dalam dirinya—dua sosok sedang saling mencabik.Satu ingin membakar seluruh dunia mafia dan berdiri sebagai dewa.Satunya lagi... masih ingin memimpin dengan arah. Dengan tujuan.“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Kayla, suaranya pelan tapi penuh kekhawatiran.Ia memperhatikan perubahan dalam diri pria yang dicintainya. Dingin. Jauh. Seperti bayangan dari lelaki yang dulu ia kenal.Rio tak menjawab. Hanya mengatupkan bibir rapat-rapat, menahan badai yang terus mengamuk di dalam pikirannya.Rekaman itu.
Rio hanya bisa menunggu—waktu itu semakin dekat. Waktu ketika ia akan menatap wajah pria yang selama ini hanya hidup dalam bisikan nama: ayah kandungnya. Ia menggenggam erat flash disk pemberian Alinda, lalu menyelipkannya di tempat paling tersembunyi yang ia punya.Bukan karena takut—tapi karena belum siap menghadapi kebenaran.Malam itu, langit Karnosa memerah seperti luka lama yang terbuka kembali. Viktor, Kayla, dan beberapa orang kepercayaan Rio melangkah diam-diam menuju lokasi rahasia: Dewan Tertinggi Mafia—pusat keputusan paling berbahaya di kota itu.Bangunan tua bergaya neo-klasik berdiri megah di tengah distrik tersembunyi, terlindung pagar baja dan ribuan kamera tersembunyi. Di dalamnya, para
Malam di Lorentz Base diselimuti kabut tipis. Bau mesiu masih menggantung di udara, bercampur aroma besi dingin dari sisa perang antar faksi mafia yang belum sepenuhnya reda. Dari balkon lantai atas, Rio berdiri seorang diri, memandangi flash disk pemberian Alinda yang menggenggam keras di tangannya.Langkah lembut terdengar dari belakang."Apa kau sudah siap untuk esok hari, sayang?" suara Kayla memecah sunyi. Ia berdiri di ambang pintu, lalu berjalan pelan menghampiri.Rio tak menoleh. Pandangannya tetap lurus ke depan. "Pikiranku semakin kacau, Kay." Ia mengangkat flash disk itu ke arah cahaya bulan. "Mungkin bukan hanya kehilangan Damien yang menghantamku... tapi juga telah kehilangan jati diriku sendiri."Kayla berdiri d
Lorentz base tak lagi sibuk malam ini.Hanya satu lampu menyala di ruang briefing. Rio duduk sendirian, bersandar pada kursi tua yang dulu sering dipakai Damien—punggungnya tenggelam dalam bayang-bayang, dan di hadapannya, meja kayu penuh berkas, foto satelit, dan satu benda yang belum pernah ia sentuh sejak kemarin: rekaman suara terakhir Damien yang sengaja di berikan oleh Viktor.Jari-jarinya gemetar saat menekan tombol play. Suara Damien terdengar pelan, serak, dan... lebih manusiawi dari yang pernah Rio bayangkan.“Jika kau mendengar ini, berarti aku gagal menjaga punggungmu. Tapi Rio... kau bukan aku. Jangan jadi aku. Jadilah sesuatu yang lebih.”Rio tak menjawab. Ia hanya menund
Damien menarik napas berat, sedikit batuk darah, lalu menatap lurus ke mata Randu.“Rio... memilih jalannya sendiri.” ucap Damien mendesis, sejenak diam, lalu tersenyum sinis “Tapi aku hanya membuka gerbangnya.”Randu meninju meja. Map itu terjatuh, lembaran-lembaran bertebaran: blueprint pelabuhan, skema transfer logistik, foto tua Steven, dan dokumen pembiayaan ilegal.“Steven menggelontorkan uangnya ke proyekmu... dan kalian menggunakan nama Mirene sebagai topeng. Anak-anak jadi kurir, kontainer jadi peti mati. Berapa banyak darah yang kau simpan di balik proyek ‘pemulihan ekonomi’ itu, hah?” teriak Randu, otot-otot di lehernya menegang.Damien tertawa kecil, batuk darah lagi. “Lebih sedikit daripada darah yang ka
"Halo Randu, rupanya Rio sudah mulai bergerak di Karnosa," ucap pria itu sebelum menutup teleponnya.Randu langsung memanggil seluruh anak buahnya ke Club Seven Eight, markas operasional utama. Wajahnya muram, nadanya tajam."Bangun komunikasi dengan semua aliansi. Siapkan rencana balasan."Ia melempar gelas ke dinding. "Aku ingin semua pengkhianat disingkirkan. Rio sudah terlalu jauh."Di tempat lain, Rio dan Leon tengah mempersiapkan serangan ketiga. Mereka berada di sebuah bangunan tua tak jauh dari Lorentz Base."Rio!" panggil Alinda dari ambang pintu. Jalannya tertatih, satu tangannya menekan perut.Leon mengangkat ali
Keesookan hari setelah kematian Dominic, suasana kota berubah.Geng-geng kecil mulai tegang. Informasi bocor ke tangan Zaria, "Dominic mati di tangannya sendiri—tangannya Rio."Cole menyodorkan map rahasia ke atas meja logam Lorentz Base. “Ini target berikutnya. Emilio Armand.”Rio menyipitkan mata. “Bos keuangan? Yang urus jalur pencucian uang dari Karnosa untuk di setorkan ke Grimaldi dan Renzo?”Leon mengangguk. “Dan yang paling licik. Tak bisa diserang terang-terangan. Kita butuh infiltrasi. Kau harus masuk sebagai penyedia jasa keamanan pribadi.”Zaria menambahkan cepat, “Kami sudah ubah identitasmu. Malam ini, kau jadi Rafael DeRoux — mantan tentara bayaran dari utara.