Share

Bab 5

Author: Maria Anita
Aku tiba di kantor pukul 8 pagi. Bu Maya menyambutku dengan hangat dan mengenalkanku pada semua orang. Mereka semua sangat ramah. Bos sedang nggak ada di tempat. Beliau sedang pergi dinas dan baru akan kembali di akhir minggu. Kantornya sangat indah, bergaya modern, didominasi warna putih dengan sentuhan baja tahan karat dan aksen hijau, terlihat profesional namun tetap terasa hangat. Desainnya elegan dan aku langsung menyukainya. Aku juga senang karena memilih memakai setelan hitam dengan blus sutra hijau tua dan sepatu hak tinggi hitam. Sepertinya aku memang harus berpakaian rapi dan elegan setiap hari, karena aku akan langsung kerja bersama presdir perusahaan.

Menjelang siang, aku dapat pesan dari Minda. Dia berhasil buat janji dengan direktur tempat penitipan anak dekat apartemen kami, yaitu saat jam makan siang. Aku pun menjelaskan situasinya pada Bu Maya dan bertanya apa aku bisa keluar sebentar saat itu. Aku juga janji akan kembali tepat waktu.

"Ternyata kamu punya anak? Umurnya berapa?" tanyanya sambil tersenyum.

"Dua tahun, Bu. Dia anak yang sangat pintar. Dia memang nggak direncanakan, tapi dialah alasan aku hidup sekarang!"

“Siapa namanya?”

"Panji."

"Panji, Nama yang kuat. Aku tahu kamu belum nikah, tapi gimana dengan ayah putramu? Apa kalian masih bersama?"

Hatiku langsung mencelos, ‘Gimana aku bisa jelaskan kalau aku bahkan nggak tahu siapa ayahnya?’ Tapi aku nggak suka bohong, jadi lebih baik kuhadapi saja. Aku memberitahunya bahwa ayah Panji adalah seseorang yang aku temui di sebuah pesta dan kami tak pernah bertemu lagi. Dia menatapku dengan serius, tapi tak ada sedikit pun rasa menghakimi di matanya.

Lalu, dia berkata, "Aku salut padamu, Citra. Nggak gampang jadi ibu tunggal, apalagi bicara jujur seperti ini, karena kamu sendiri tahu dirimu bisa saja dihakimi. Terima kasih atas kepercayaan dan kejujuranmu. Sekarang, pergi urus kebutuhan anakmu. Kita lanjutkan lagi nanti, nggak usah buru-buru."

Aku berterima kasih padanya dan segera pergi menemui Minda dan Panji. Rasa hormatku pada Bu Maya semakin besar. Dia wanita paruh baya, berumur sekitar 50 tahunan, berambut coklat dan bermata hitam. Dia wanita yang cantik dan elegan, tetapi yang paling penting, dia sangat ramah. Kami langsung akrab. Selama pagi itu, dia menjelaskan banyak hal tentang pekerjaanku, dan aku mencatat semuanya. Saat jam makan siang, aku keluar gedung. ⁠Minda sudah menunggu di depan gedung bersama Panji. Kami pun naik mobil, makan siang bersama, lalu lanjut ke tempat penitipan anak.

Minda dan aku langsung jatuh cinta pada tempatnya. Panji pun tampak sudah nyaman. Dia berlarian bersama teman-teman barunya. Dia memang anak yang mudah bergaul. Itu membuatku sangat bahagia! Anakku senang! Kami pun memutuskan untuk tidak melihat tempat penitipan anak lainnya. Tempat ini sudah sempurna, hanya tiga blok dari rumah. Kami langsung mendaftar dan menyelesaikan semua administrasi. Direktur menyarankan kalau Panji ditinggal sampai sore, supaya dia mulai terbiasa. Minda setuju untuk menjemputnya nanti.

Setelah itu, Minda mengantarku kembali ke kantor dan bilang dia akan pulang untuk bersiap menghadapi wawancara kerjanya sore nanti. Sementara aku kembali ke ruanganku, dan tiba lebih dulu sebelum Bu Maya. Aku duduk dan mulai memeriksa semua catatan yang sudah kubuat. Saat ini telepon di meja tiba-tiba berdering. Aku sempat bingung harus gimana, tapi karena ini mejaku sekarang, aku angkat dengan suara paling profesional.

"Grup Mahadi, Kantor CEO selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?"

Hening. Lalu terdengar helaan napas panjang. Suara pria terdengar di ujung sana, tegas, agak serak, dan jelas tak sabaran.

"Sambungkan aku ke Maya."

Aku sempat kaget, tapi tetap tenang dan menjawab, "Maaf, Pak. Bu Maya belum kembali dari makan siang. Ada yang bisa saya bantu, atau mau tinggalkan pesan?"

"Ini siapa?" tanyanya, terdengar semakin tidak sabar.

"Nama saya Citra, asisten baru untuk Pak Aditya."

"Tapi aku nggak kenal kamu," jawabnya dengan nada yang makin tinggi.

"Ini hari pertama saya, Pak. Apakah Anda mau tinggalkan pesan?"

"Bilang ke Maya, suruh dia telepon aku begitu kembali ke kantor."

"Baik, Pak. Dengan siapa saya bicara?"

"Sepertinya aku bosmu!" Dia berseru lalu menutup telepon.

Wah! Pria ini benar-benar kasar! Ini jelas tak tercantum dalam deskripsi pekerjaan. Tenggorokanku langsung tercekat. Apa aku sudah buat bosku marah di hari pertama? Tamatlah aku! Aku mulai berpikir mungkin aku takkan bertahan lama di sini. Tak lama kemudian, Bu Maya kembali. Aku langsung menyampaikan pesan itu dengan wajah khawatir. Dia menatapku sambil tersenyum, seolah mengerti kekhawatiranku, lalu bertanya, "Apa dia terdengar tenang?"

Aku menatapnya dan tak bisa menahan diri.

"Tenang? Dia seperti mau meledak! Aku rasa aku bisa lihat pembuluh lehernya menonjol!"

Dia tertawa terbahak-bahak dan kemudian berkata, "Kalian berdua pasti bakal cocok! Kamu pasti bisa jinakkan ‘sang singa’. Aku yakin itu."

Aku nggak gitu yakin tentang itu. Mungkin aku tak perlu repot-repot bongkar koperku. Orang ini sepertinya akan melahapku hidup-hidup!
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Wardha Aqilla
ceritanya seru
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 116

    Sudut Pandang Aditya."Sekar, gimana kabar Citra?" tanyaku sembari berhenti di depan meja sekretarisku."Parah! Hancur! Kacau balau! Tapi Bu Mila sudah bikinkan teh untuknya dan itu sedikit menenangkannya. Sekarang aku sudah sibuk kerja, tapi karena dia juga sibuk dan nggak ada suara tangisan lagi, aku belum sempat cek ke dalam," jawab Sekar."Aku perlu bicara dengannya. Dia perlu mengerti kenapa aku lakukan hal gila ini," kataku sambil berjalan menuju kantor Citra"Aditya, jangan bikin dia makin hancur. Aku belum yakin apa semua kekacauan ini pantas dibela." Sekar memperingatkan."Maaf, tapi aku harus bicara dengannya," kataku sambil membuka pintu ruangannya.Saat kulihat ke dalam, Citra tertunduk di meja dengan mata tertutup. Aku mendekat, panggil namanya pelan, tapi nggak ada reaksi. Aku coba lagi, tapi nggak jawaban. Tanpa berpikir panjang, aku angkat tubuhnya ke dalam pelukanku. Dia tampak pingsan. Dengan cepat kubuka pintu ruang Peter. Ia sedang duduk di kursinya dan menatapku de

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 115

    Sudut pandang Citra.Hari-hari berlalu begitu lambat, seolah waktu sengaja memperpanjang penderitaanku. Aku menenggelamkan diri dalam pekerjaan, dan setiap waktu luang yang kupunya kuhabiskan bersama putraku atau para temanku. Tapi tetap saja, malam-malamku diliputi kegelisahan. Tidurku tak pernah nyenyak. Kantung mata hitam di bawah mataku kini lebih menyerupai bayangan kelam yang tak mau pergi.Saat tiba di kantor pagi itu, aku langsung menyadari kehadiran sesuatu yang baru. Sebuah rangkaian tulip menghiasi meja kecil di sudut ruangan. Di sampingnya, sebuah kartu dengan tulisan tangan Aditya:[Aku rela mati untukmu, dan aku mulai kehilangan akal tanpamu. Aku akan lakukan apa pun agar kamu nggak menderita.]Aku menunduk, merasakan sesak di dada. Tapi sebelum sempat berpikir lebih jauh, pandanganku teralihkan oleh satu lagi rangkaian bunga di meja sebelah. Tapi kali ini berbeda. Buket itu tampak aneh... bunga-bunga muram yang biasa kulihat di pemakaman. Bunga ini terasa dingin, janggal

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 114

    Sudut Pandang Aditya.Aku masih nggak percaya pada semua yang telah kulakukan. Apa yang sebenarnya terjadi padaku di pesta perpisahan sialan itu? Kenapa aku begitu mabuk? Bahkan aku nggak bisa ingat apa pun yang terjadi malam itu. Dan sekarang, aku seperti dilempar langsung ke neraka, dipenjara bersama anjing neraka, tanpa tahu jalan keluar dari semua kekacauan ini.Sudah seminggu penuh aku coba cari solusi untuk bencana bernama Lastri yang kini ngaku hamil. Tapi mereka telah mendorongku ke batas terjauh kesabaranku, dan rasanya segalanya sangat parah."Aditya..." Kudengar Peter panggil aku."Di atas sini!" balasku cepat.Aku berada di atap apartemenku, memandang kota yang terhampar di bawah sana, berharap ada keajaiban dari Tuhan yang membuat semuanya lenyap. Aku hanya bisa berdiri di sana, tenggelam dalam pikiran-pikiran gelap tentang masalah yang menenggelamkanku hingga ke leher."Adit! Gimana kabarmu? Apa yang terjadi sampai kamu bilang ini darurat banget?" Peter merasa tertekan. S

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 113

    "Citra, aku ingin bicara denganmu.""Kau benar-benar nggak tahu malu, dasar jalang. Berani-beraninya kamu datang ke sini ganggu temanku," bentak Sekar tajam dan langsung berdiri membela."Citra, kalau ini nggak penting, aku nggak akan datang cari kamu. Tapi tolong... dengarkan aku sebentar saja," ucap Lastri dengan suara bergetar, seperti nahan tangis, berusaha keras tampak ramah meski jelas itu bukan sifat aslinya."Nggak mungkin. Pergi dari sini dan jangan ganggu Citra lagi," kata Sekar dengan nadanya makin tinggi, dan dari sorot matanya, aku tahu dia sudah mau nerkam Lastri."Sekar, biarkan saja. Aku akan dengarkan apa yang dia mau bilang. Aku nggak mau dia menguntit aku ke mana-mana. Lebih baik selesaikan sekarang dan singkirkan gangguan ini," kataku sambil nahan emosi.Tanpa nunggu aba-aba, Lastri menarik kursi di sampingku dan duduk, seolah ia punya hak di situ."Dengar, Citra, aku bicara ini sebagai seorang ibu kepada ibu lainnya," katanya sambil meletakkan tangan di dadanya. "K

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 112

    Akhir pekan itu terasa seperti kabut bagiku. Teman-temanku melakukan segalanya untuk menghiburku, bahkan berusaha meyakinkanku untuk nggak tinggalkan Aditya. Tapi aku nggak sanggup berdiri di antara dia dan anaknya. Aku tahu, perempuan itu akan ubah hidupku menjadi neraka. Aku nggak akan sanggup menanggungnya.Hari Senin pagi, saat aku tiba di kantor, aku langsung dicegat oleh Jodi di pintu masuk gedung."Ngapain kamu datang sini lagi, pelacur?" Dia berteriak sambil berdiri di depanku. Aku mencoba menghindarinya dan melangkah pergi, tapi dia hentikan langkahku dan mencengkeram lenganku. "Aku sedang tanya kamu, pelacur kecil!""Lepaskan aku!" Aku menarik lenganku dari cengkeramannya yang seperti cakar. "Aku kerja di sini!""Nggak, kamu nggak! Aku akan minta Aditya pecat kamu!" ujarnya dengan mata menyala penuh amarah."Silakan saja," kataku lalu berbalik pergi.Saat dia mencoba menghalangiku masuk ke perusahaan, petugas keamanan, Doni, segera melangkah masuk dan berdiri di antara kami.

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 111

    Sudut Pandang Aditya.Aku duduk terpaku di sofa ruang tamu, dadaku rasanya seperti diremas oleh tangan nggak kasat mata, napasku terasa sesak, dan mataku panas, penuh dengan air mata yang nggak kunjung berhenti. Rasa ini… hanya satu kali pernah aku rasakan, yaitu waktu kedua orang tuaku meninggal dunia. Rasa kehilangan yang nggak tergantikan, rasa sakit yang buat jiwamu nyaris mati. Dan kini, aku sekarat tanpanya."Adit, perempuan itu dan ayahnya sedang tunggu di lobi. Aku tahu kamu hancur, tapi mereka nggak akan pergi," ujar Peter membuyarkan lamunanku."Peter, dia putus denganku. Katanya nggak ada jalan lagi. Dia nggak ingin rebut aku dari anakku, dan dia bilang akan kembali kerja dengan Heru," jawabku dengan suara putus asa."Tenang, Adit. Setidaknya satu masalah sudah beres, dia nggak keluar dari perusahaan," katanya dengan nada menenangkan. Aku menatap Peter, nggak ngerti apa yang dia maksud. "Mulai Senin, dia akan ada di bawah pengawasanku, dan Robin akan kerja langsung denganmu.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status