"Sejak kapan hubunganmu dengan Agni Aryatama?" David melontarkan pertanyaan yang membuat Pasai berjengit diam-diam."Kami nggak ada hubungan apa-apa, Pak," elak pemuda desa itu dengan ekspresi keras.David menarik nafas panjang melihat pemuda itu terus menghindari tatapannya.David, Ihsan dan Pasai sedang berada di restoran hotel Green Orion milik keluarga Agni untuk makan siang setelah kejadian mengejutkan ketiganya di ruang staf hotel itu. Tentu saja David yang nyaris harus menyeret dua orang desa nelayan itu agar mau ikut makan di tempat yang tergolong mewah itu."Pasai, saya bertanya serius. Tolong dijawab, apa arti gadis itu untuk kamu?" tanya David membuat Pasai mengernyit bingung."Bukan urusan Pak David. Saya tidak wajib mengungkapkan hal pribadi pada orang yang baru saya kenal," jawab pemuda itu dengan tegas.David mengembuskan nafas kasar. Entah kenapa dia tidak kaget dengan sikap defensif dan keras kepala keponakan kandungnya itu, karena mendiang ayah Pasai juga keras kepa
Angin berdesir pelan. Sejuk sekilas membuai hangat senja hari di Pelabuhan. Rapatan kapal-kapal kayu para nelayan mengisi hening di sela deburan ombak yang mengikis pinggiran.Bau laut, ombak dan keringnya udara pesisir terasa menyengat setiap indera awam yang mampir di tempat itu. Rasanya nyaman tapi juga menjengahkan.Di antara samudra, langit senja dan deburan ombak sosok itu berdiri diam di atas pasir putih yang kini tampak memucat disapa gelap.Angin membelai rambutnya yang tampak terurai berterbangan. Tatapan matanya lurus menantang lautan. Tangannya terlipat angkuh di dadanya yang berlekuk. Tubuhnya tampak tinggi, sekilas tampak tipis tapi juga tampak berukir indah dibeberapa bagian.Sinar matahari sore membentuk sebentuk wajah bak lukisan antik tanpa cela. Hidung mancung, bibir tebal merekah manis, dan dua iris gelap yang samar terlihat dengan naungan alis tebal alami menambah cantik rupa itu."Agni...."Sapaan lembut bernada ragu membuat sosok yang berdiam diri itu bergerak p
Agni berdiri di samping perahu nelayan yang kata penjaga villanya dimiliki oleh salah satu nelayan senior terbaik di kampung itu. Perahu itu terbuat dari kayu bercat biru tua dan masih berbentuk perahu nelayan tradisional. Ini akan jadi pengalaman pertamanya menaiki perahu kecil seperti itu.Sejak datang liburan ke daerah ini, dia langsung tertarik saat melihat barisan kapal nelayan yang tertambat di pesisir tak jauh dari villanya. Padahal biasanya, dia selalu menggunakan fasilitas kapal wisata yang sudah lebih modern meski tidak mewah. Tapi, kapal-kapal kecil itu begitu menarik minatnya di liburan kali ini.Diperhatikannya satu-persatu para nelayan yang sedang sibuk mempersiapkan perjalanan mereka. Dua dari mereka mungkin berusia pertengahan tiga puluhan, bertubuh sama-sama kurus meski yang satu tampak lebih berisi dan mempunyai jenggot.Pria yang ketiga, tampak sebagai pemimpinnya jelas lebih tua bernama Haji Baron tadi.Dan yang terakhir yang diperhatikan oleh gadis itu, pria yang
Langit kelam kebiruan menaungi laut dan debur ombak.Angin terasa lebih dingin dari biasa. Bertiup cukup kencang menghempas gelombang yang datang semakin pasang.Di sana, di antara kelip bintang yang tak banyak dan remang cahaya bulan yang muncul sebagian, lagi-lagi gadis itu berdiam diri.Benaknya kosong. Tak pernah ada hal berarti yang mampir di kepalanya. Hanya laut, ombak dan langit yang tampak indah di pelupuk matanya. Tapi tak lebih.Karena tak pernah ada yang menggugah hatinya yang kerap terasa hampa dan kosong.Tak lama, kakinya berjalan. Jauh. Memutari pesisir lalu menapak di antara deretan rumah sederhana. Berkeliling dengan langkah pelan dengan kecantikan samar yang terterpa cahaya bulan.Gadis itu mengamati satu persatu rumah tradisional di sekelilingnya. Binar penasaran terpercik perlahan di kedua matanya yang cantik.Senyum kecil tersungging puas saat matanya tertumbuk pada sebuah rumah panggung bergaya paling kuno di sana.Rumah itu tampak berdinding bilik hias dengan a
Laut dan fajar. Kawan setia Pasai sudah sejak lama, jauh sejak dia ditakdirkan jadi tumpuan hidup ketiga keluarganya.Jalan yang berat tapi tak habis dia syukuri setiap waktu. Karena baginya kebahagiaan ibu dan adik-adiknyalah tujuan utama dari segala rasa lelahnya.Pagi ini seperti biasa, pemuda desa nelayan itu tengah membenahi kapal yang hendak membawa mereka ke laut.Badan dan tangannya sibuk bekerja, tapi fikirannya tidak.Fokusnya terusik sejak semalam oleh objek yang tidak seharusnya mampir ke sudut manapun di hidupnya.Pasai tahu, rasa tertariknya pada gadis kota itu manusiawi. Hanya status dan nasib mereka yang membuat rasa tertarik itu menjadi suatu hal yang sangat salah dan nyaris terlarang.Di dunia ini salah satu lautan yang terlalu sulit untuk disebrangi adalah lautan materi. Karena sudah banyak kapal karam bahkan sebelum menatap ujung daratan yang ditujunya."Serius banget Mas pagi ini mukanya."Suara lembut bernada ringan membuat Pasai tersentak tak kepalang."Ya Tuhan
Harusnya Agni pulang hari ini. Kembali ke kotanya yang ramai, dan kembali ke kehidupannya yang kadang menyenangkan, kadang juga menyesakkan.Tapi disinilah dia berada. Masih di desa nelayan kampung halaman mendiang Ibunya yang sepi dan sederhana.Ya, akarnya Agni berasal dari desa ini, dan kini rasanya dia enggan meninggalkan tempat ini juga."Kapan pulang?"Agni menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil pada seorang pria tampan bermata sipit yang menatapnya lembut."Kamu duluan aja ya. Aku rasanya masih mau disini," jawab gadis itu mencoba ramah.Gama tersenyum kecil merasakan hatinya senang. Agninya yang selalu tampak ketus, entah kenapa tampak lebih ramah beberapa hari ini.Mau tidak mau, harapan perlahan bangkit kambali di hatinya yang sudah lama nyaris menyerah.Gama ingin mencoba lagi meraih hati wanita yang sudah bertahun-tahun dicintainya. Jadi dengan nekad, tangannya mengusap rambut gadis itu penuh kelembutan."Kayaknya tempat ini memang bagus ya buat kamu," ucap Gama tiba-tiba.
Agni memandang nyalang ke arah laki-laki yang terlihat sedang menggulung tambang besar di atas kapal nelayannya di pagi buta."Kenapa kamu menghindar? Kita seperti kembali ke awal?" Agni nyaris berteriak frustasi karena sikap diam orang yang kini seolah tak kenal dengannya."Pulanglah, kembali ke tempatmu." Pasai tidak harus bicara apapun lagi, dia tahu Agni akan paham maksudnya.Agni melangkah maju. Tanpa gentar, kakinya perlahan menaiki kapal nelayan yang masih tertambat di ujung salah satu dari beberapa dermaga kecil yang ada di pesisir pantai.Dia menghampiri Pasai yang sengaja membelakanginya kali ini."Bukannya sikap kamu terlalu kasar pada orang yang mau kenal kamu lebih dekat?" Agni tak bisa menghentikan nada muram di kalimat yang diucapakannya.Pasai adalah laki-laki pertama yang menarik minatnya sebagai wanita. Bukankah dia berhak menunjukkan minat pada siapapun yang diinginkannya?"Bisa tidak kamu jadikan aku teman? Seperti Ratri," pinta Agni pelan.Suara deburan ombak di p
"Kok aku nangis?" Agni menatap putus asa ke arah bayangannya di cermin.Mata sembab, hidung memerah disertai suara serak menjadi tanda jika dia memang tidak baik-baik saja."Pasai." gumamnya dengan mata melamun sendu.'Baru satu hari, tapi hati aku sudah sesakit ini. Dosaku apa sampai harus jatuh cinta sama dia, Ya Tuhan,' dalam hati Agni mengeluhkan perasaannya yang tak berbalas.Tidak, Pasai jelas menyukainya juga. Hanya takdir yang jelas tidak menyukai mereka berdua.Tok! Tok!"Agnisha Aryatama!" Suara seruan lantang yang familiar di telinganya membuat Agni seolah membeku tak percaya."Ayah?" gumam gadis itu kebingungan.Dengan ragu-ragu dia bangkit dan berjalan untuk membuka pintu kamar villa yang disewanya."Ayah?" Agni berhadapan dengan Ayahnya yang tampak mengernyit kesal ke arah putri semata wayangnya itu."Kenapa sewa villa kecil begini sih kamu? Villa keluarga sendiri juga ada." Danureja Aryatama berkacak pinggang dengan ekpresi kesal.Agni meringis salah tingkah mendengar p