Share

Kenangan

Namaku Ashima Arina Putri. Nama yang diberikan Bapak sebagai doa agar anaknya menjadi putri yang berkharisma dan cerdas.

Sejak umur lima tahun, aku sudah kehilangan ibu tapi bukan figur ibu, sebab Bapak memerankannya lebih baik dari ibu mana pun yang kukenal. Bapak yang tak pernah sedikit pun memperlihatkan kesulitannya pada kami. Yang kerap terbangun tengah malam karena Ratih yang mengompol dan aku yang merintih merindukan Ibu. Bapak adalah sosok ironman sesungguhnya di kehidupan nyata bagiku dan Ratih, yang berjuang demi kedua putrinya setelah ketiadaan belahan jiwa yang dipersunting.

Ibu telah meninggalkan kami setelah melahirkan Ratih--gadis egois yang merenggut Bapak dari sisiku--adikku satu-satunya. Hidupku tak bergelimang harta, tapi tak berkekurangan juga. Bapak adalah lelaki bertanggungjawab yang sangat ulet dalam menafkahi kedua putrinya.

Setiap kali Bapak melihat aku atau Ratih menginginkan sesuatu, Bapak akan berusaha mempersembahkan barang tersebut untuk kami tanpa harus diminta.

Aku hanya seorang gadis dengan tubuh yang mungil berkulit putih pucat. Tidak cantik, tapi cukup menarik, semenarik hidupku yang tak pernah berhenti dari hal-hal yang menyita emosi.

Ketika berumur lima belas tahun, aku benar-benar ditinggal sendiri di dunia ini. Riuh dan hiruk pikuk kota Yogyakarta tak pernah benar-benar ramai untuk mengusik sepiku.

Hari itu, seluruh duniaku runtuh. Seperti biasa, Bapak akan menjemputku ke SMPN 4 Yogyakarta, setelah sebelumnya menjemput Ratih di sekolah dasarnya. Namun, hari itu Ratih bersikeras membeli jajanan di seberang sekolahku. Papeda kesukaannya. 

"Sebentar, Nak. Kita tunggu kakakmu dulu, biar begitu keluar kelas gak kecarian kita," kata Bapak sambil melihat ke pintu pagar sekolahku yang tak jauh darinya, di mana aku berjalan tergesa padanya.

"Itu kakak," kata Ratih riang seperti melihat permata yang hilang. Senyum dan matanya sangat berbinar.

Namun, siapa yang sangka, tetiba dia berbalik, melepas tangan bapak dan berlari menyeberang jalan menuju ke tukang jual Papeda berdiri.

Tuuuttt ... tuutt ... 

Suara klakson terdengar riuh sebelum akhirnya kusadari, dua orang yang kucintai telah bersimbah darah dan terpental di jalanan. Suara berdebam keras tadi adalah tubuh Bapak yang dihantam mobil Rush hitam yang melaju kencang saat menyelamatkan Ratih. Naasnya, Ratih pun tak bisa diselamatkan. Dorongan Bapak yang hendak membuat Ratihbterhindar dari mobil Rush tersebut disambut oleh motor Vario hitam di sebelahnya. Ratihku yang lucu dan bersinar kehilangan cahayanya. 

Siang panas itu, tetiba redup dan hujan mengguyur kota Yogyakarta. Menghapus jejak darah yang mengenang di sana. Suara teriakan orang-orang di sekitar tak lagi terdengar. Aku kehilangan kesadaran tepat sebelum seseorang menguncang tubuhku yang kaku.

"Shima .... " Teriakan terakhir Bapak yang sempat terekam dalam ingatanku bersama wajah sendunya yang seakan menyesali harus meninggalkanku seorang diri.

Saat itu, aku sangat membenci Ratih dan Bapak. Membenci keduanya membiarkanku harus berjuang sendiri melewati derasnya air mata yang melemahkan ragaku. Aku benci harus menguburkan mereka. Memakam keduanya dalam pusara di dekat jasad Ibu terkubur sebelumnya. Mereka jahat. Harusnya Bapak membawaku serta, bukan hanya Ratih.

Aku benci Ratih. Dia merebut ibu dariku, kemudian Bapak. Aku membencinya sekaligus merindukan tawanya. Bahkan, setelah lima tahun berlalu, aku masih sangat merindukan adikku yang riang. Setiap Jumat pagi setelah kejadian tersebut, aku selalu menyempatkan diri berziarah ke kuburan ke dua orang tua dan adikku bersemanyam. Mengobati kesepian dan kesedihanku dengan bercerita pada pusara mereka. 

Aku merindukan mereka. Namun kenyataannya, sekarang aku sedang berada di kereta api Agro Wilis menuju Bandung bersama dua orang asing yang kupilih. Air mataku menitik pilu. Tak akan ada lagi Jumat bercerita bersama mereka. Aku memilih jalan asing yang membuatku makin terasing. Selamat tinggal Bapak, Ibu dan adik permataku, Ratih.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status