Share

Pilihan Yang Kusesali

Aku masih bersembunyi di sini. Melihat mereka dari kejauhan dengan perasaan yang tak bisa kumengerti. Haruskah aku muncul di depan mereka? Namun, nuraniku belum bisa mengendalikan pikiranku. Keduanya seakan bersikukuh dengan pendirian masing-masing dan membuatku kesulitan bernapas.

 

 

Sudah tiga puluh menit berlalu sejak kakiku menapak di stasiun Tugu, dan langkahku masih terasa berat untuk menyongsong pengantin muda itu. Waktu berdetak dengan ramah, tapi tak juga menenangkan gemuruh yang timbul dari dadaku.

 

 

Kulihat wajah Dita meringis sedih. Dia sandarkan kepalanya di bahu Mas Arman, mencoba mencari kekuatan di sana. Sedangkan, Mata Mas Arman semakin cepat memerhatikan sekitarnya, berharap keajaiban terjadi dan menemukanku di sudut yang mungkin dia lewatkan sebelum jadwal keberangkatan ke Bandung tiba.

 

 

Tuhan, aku ingin sekali berlari mendekati mereka dan menghapus kegelisahan di mata cantik Dita. Akan sangat mudah bagiku untuk melakukannya jika saja hatiku bisa berdamai agar tidak tergoyahkan dengan kehadiran Mas Arman. Seketika jantungku berdebar dengan hebatnya, membayangkan Mas Arman akan berada di sisiku setiap hari.

 

 

Tidak, ini tak boleh terjadi.  Aku tidak boleh membayangkan lelaki wanita lain. Aku meringis perih menyadari kekalutan hatiku.

 

 

"Mba Shima?" Suara itu terdengar sangat ceria dan parasnya yang sempat kusut masai seperti mendapatkan secercah cahaya mentari pagi yang elok.

 

 

Aku gelagapan. Persembunyianku telah ditemukan Dita. Aku yang sempat termenung memperhatikan Mas Arman bahkan tidak menyadari Dita telah pergi dari sana menuju kamar kecil yang berada tepat di belakangku. Secuil hatiku kisut. Sadarkah Dita bahwa aku menatap syahdu pada pujaannya? Aku terdiam dan membeku.

 

 

"Mba, sebentar ya! Aku tidak bisa lagi menahannya," kata Dita sambil berlari ke toilet. "Jangan pergi. Tunggu aku!" perintahnya dengan tergesa meninggalkanku.

 

 

Aku bingung harus melakukan apa. Mas Arman yang sempat mendengarkan istrinya berteriak, menatap lurus ke arahku. Matanya berbinar dan senyumnya yang meruntuhkan pertahananku. Dia mengangguk dan berjalan mendekatiku, sedang aku terpana dalam udara menggelitik rasa.

 

 

Semakin dekat langkahnya, debaran yang kurasa pun semakin kecang layaknya genderang perang yang ditabuh.

 

 

"Alhamdulillah ... terima kasih, Mba, sudah mau datang kemari. Waktu kita hanya sepuluh menit lagi, dan sudah seharusnya kita masuk ke gerbong." Dilirik sisi kanan dan kiriku seolah mencari sesuatu yang hilang.

 

 

"Saya tidak membawa apa pun, Mas." Aku menjawab keheranan Mas Arman. Hampir saja mulutku keceplosan untuk mengatakan sejak awal aku sudah tak berniat berangkat bersama mereka. Namun, kuurungkan ketika melihat telaga bahagia menggantung di rona pelangi yang bergelayut manja di cakrawala setelah pias hujan menepi. Sudah kuputuskan. Aku akan ke Bandung bersamanya. Akan kuabaikan segalanya, demi bisa menatap wajah teduh itu.

 

Dita keluar dari kamar kecil dengan tergopoh. Memegang erat tanganku, seakan takut aku akan melarikan diri dan berubah pikiran.

 

 

"Gak apa, Mba. Kamu bisa memakai baju-bajuku, kok." Ternyata Dita mendengar pembicaraan suaminya denganku tadi.

 

 

"Ukuran tubuh kita tak jauh berbeda. Bukankah begitu, Mas?" Selorohnya mencari pembenaran pada wajah  Mas Arman yang acuh. Tentu saja Mas Arman hanya mengangguk. Ntahlah, mungkinkah Mas Arman ikut memperhatikan tubuhku selama ini? Atau hanya asal jawab agar istri tercintanya tidak bertanya lagi.

 

 

Walaupun demikian, hatiku berselancar jauh ke alam maya, tersentak akan kemungkinan Mas Arman memperhatikan lekuk tubuhku yang hanya ditutupi dengan gamis sederhana dengan potongan sederhana pula. Takada yang istimewa kecuali rasa yang tumbuh perlahan pada Mas Arman.

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status