Share

Part 10

Bab. 10

Suara di Mobil Mas Divo

Malam kian larut, aku dan Bayu belum tertidur. Hari ini anakku sangat rewel, ia terus-terusan menangis. Kalaupun ia terlelap sesaat, kemudian ia terbangun lagi. Aku sudah kehabisan akal jadinya.

Kupeluk ia yang masih merengek dalam gendongan. Tadi bahkan sempat kukompres dengan air hangat. Badannya memang sedikit panas. Berulangkali kupeluk ia sambil menggoyang-goyangkan tubuhku dan berjalan hilir  mudik dari depan hingga ke belakang. Namun usaha ini terasa sia-sia.

Tak biasa-biasanya Bayu seperti ini. Mungkin perubahan cuaca yang membuat ia begini. Suhu di kota kelahiran papanya dan  suhu di sini sangat jauh berbeda. Barangkali saja hal itu yang menjadi penyebab ia panas. Atau karena perjalanan panjang kemaren serta cuaca dingin  ditambah terpaan AC mobil yang membuat Bayu begini. Atau malah karena kubawa barusan? Ah, sudahlah! Apapun penyebabnya, yang penting sekarang yang dibutuhkan Bayu adalah obatnya.

“Cup, Dek. Sebentar lagi Papa pasti pulang. Kita berobat, ya?” ucapku seperti membujuk diri sendiri. Kulirik jam bulat di dinding yang telah menunjukkan pukul dua belas malam. Aku memang tak pernah tahu kapan Mas Divo pulang kerja selama ini, tapi bila sampai jam segini masih ada orang yang bekerja di kantor? Kurasa sangat mustahil.

‘Kalau tidak di kantornya? Lalu, dimana Mas Divo sekarang? Apa karena kejadian pagi tadi membuat ia malas pulang? Ah!

Kuraih gawai dengan susah payah, karena dua tangan ini masih mendekap tubuh Bayu yang menangis. Meskipun sedikit kesusahan, akhirnya gawai bisa juga kudapatkan. Sekilas mata ini menangkap pesan masuk dari mas Divo. Buru-buru kubuka pesan itu. Tumben, aku melewatkan pesan masuk. Biasanya aku selalu tahu notif apa saja yang baru. Kapan Mas Divo mengirimnya?

“Tidur aja dulu, mungkin Aku pulang tengah malam, entah jam berapa. Ada lembur.”

‘Lembur?’ Entahlah, mungkin memang aku yang tak mengerti sistem kerja di kantor Mas Divo. Tapi bagaimana dengan Bayu? Kepada siapa aku akan minta tolong? Sementara aku belum mengenal seorang pun disini. Lagi pula, kehidupan disini tak sama dengan di kampung  halaman Mas Divo atau pun di kampungku. Masing-masing orang memikirkan diri sendiri.

‘Ya, Allah, Mas, aku mau minta tolong sama siapa? Go Car lagikah? Aku takut, ini sudah sangat larut.’ Buru-buru kugesek kembali gawai kesayanganku dan menekan tombol vidio call pada icon WA Mas Divo. Aku ingin ia melihat keadaanku dan Bayu saat ini. Siapa tahu ada pertimbangan darinya. Lama kunanti tak ada jawaban. Malah sambunganku ditolak.

‘Loh, kog di tolak, sih!’ bisikku dalam hati. Segera kuketik sebuah pesan dengan cepat. Aku tak tahu entah berapa banyak typo yang kutulis dari kecepatan kilat itu. Yang kutahu, kami benar-benar sangat membutuhkan kehadiran Mas Divo saat ini.

Maaf Viona, dua jam lagi aku Sampai” Satu pesan masuk dari Mas Divo. Aku kecewa, terpaksa kembali kutelepon ia, agar aku lebih leluasa berbicara dengannya. Ia mengangkat panggilanku.

“Mas, Mas dimana?”

“Masih di luar kota, tadi ada keperluan dari kantor. Ini udah jalan pulang!”

‘Aku cemas sama Bayu, Mas. Tubuhnya panas, nambah terus. Kalau dua jam lagi, aku takut makin tinggi, Mas”

“Kamu cari akal aja, dulu! Kompres, keg, atau kasi ASI. Aku lagi nyetir. Ini juga udah ngeb---“

 “Auwww ..., Mas. Awas ...!” Suara pekikan seorang wanita membuatku ternganga. Jantungku serasa berhenti berdetak. Dadaku sesak. Sesaat aku terpana. Jelas, teriakan yang kudengar itu suara wanita. Suaranya yang cukup kencang masuk ke gawaiku. Sementara, posisi suamiku sekarang di luar kota di jam selarut ini.  Masih kudengar ucapan Mas Divo selanjutnya, “Astaghfirullah, hampir saja.”

Aku terdiam. lemas. tanpa terasa handphone terlepas dari genggaman. Mataku serasa mengembun.

“Astaghfirullah Al Adzim, Ya Allah, Aku tak boleh berprasangka buruk begini.” Tidak! Aku tak boleh berpikir yang nggak-nggak. Mas Divo tak akan mengkhianatiku. Barangkali itu hanya rekan kerjanya.

Kuhapus sudut mataku dengan punggung tangan, kemudian kuraih kembali gawai yang tadi terlepas. Tangisan Bayu kembali merayap menggedor kesadaranku.

Ya, Allah. Aku lupa kalau dari tadi anakku masih menangis. Kucoba kembali membujuknya, dan  memberikan ia ASI sambil tetap dalam gendongan. Kugoyangkan tubuh untuk mengayunnya, hingga perlahan ia tertidur juga. Walau aku benar-benar capek menyangga tubuhnya.

Aku tersentak saat handle pintu berbunyi. Suara derit daun pntu dibuka membuat mataku terbuka. Mas Divo muncul dari balik pintu. Lampu kamar yang kuganti dengan lampu tidur, membuat Mas Divo mungkin tidak mengetahui kalau aku masih terjaga. Ia bergerak pelan. Ia menatap kami sekilas kemudian langsung melangkah ke lemari pakaian yang ada di samping kananku dan mengganti pakaiannya. Lalu, tanpa mendekatiku, ia langsung merebahkan tubuhnya di sebelah Bayu, menghadap ke dinding.

Lama aku terdiam menatapi punggungnya. Ingin rasanya aku bangkit dan mengajaknya bicara, tapi aku takut melihat kondisinya yang teramat lelah. Sesungguhnya aku tak sanggup lagi bila terus begini. Aku ingin semua cepat berlalu. Aku ingin menanyakan tentang semua percakapan Mama yang membuatnya berpikir aku selingkuh. Aku juga ingin menanyakan wanita yang berteriak di mobilnya tadi. Ya, Aku lelah untuk diam dan menanti! Aku lelah!

***

Pagi ini suasana hening. Mas Divo fokus menyantap sarapan yang kusajikan, tanpa menghiraukan aku yang sedari tadi mematung mengamatinya. Padahal dari semalam aku ingin sekali mengajaknya bicara, mengungkap beberapa tabir yang ia sembunyikan. Aku tak ingin semua makin melarut. Aku ingin mengembalikan kebahagiaan rumah tanggaku seperti dulu. Sungguh! Aku tak ingin menggantikannya dengan siapa pun, juga tak ingin tergantikan oleh siapa pun.

’Mas …,’ ucapku pelan.

“Ya? Ohya! Aku nanti mungkin pulangnya telat! Urusanku kemaren belum selesai!” tukas Mas Divo memotong pembicaraanku. Ia meneguk air mineral yang terletak di gelas bening yang sedari tadi sudah kusiapkan di hadapannya. Aku terdiam. Bukan karena cekalannya kata-katanya, melainkan kalimat yang baru saja kudengar. Artinya malam ini aku akan kembali seperti kemaren, sepi hingga aku terlelap. Ya, Allah, kenapa ia tak lagi sepeka dulu, bukankah ia tahu sebenarnya aku penakut? Apakah ia benar-benar sudah tak menghiraukan aku lagi?

“Mas, kenapa selalu lembur? Apakah nggak bisa diselesaikan siang hari saja? Aku nggak kuat lama-lama sendiri,” ucapku menghiba. Aku tertunduk. Belakangan kurasa Mas Divo sedikit temperamental, sehingga membuatku cukup takut dengan reaksinya.

“Kalau semua sudah selesai aku pasti pulang!” sahutnya kemudian.

“Lalu, kapan masanya Mas bisa pulang lebih cepat? Aku ingin kita bisa menikmati kebersamaan lagi, jalan-jalan, bercerita dan bercanda kayak dulu. Sudah beberapa hari disini, aku cuma terkurung disini sendirian,” lanjutku murung.

 “Kalau suntuk pergi jalan ke luar sana. Kalau repot kamu bisa pesan grab.” Lagi-lagi aku terhenyak. Tak ada jawaban yang membuat hatiku ini bahagia.

Mas Divo meletakkan sendoknya, mengelap bibirnya dengan  tisu, kemudian berdiri, dan mengambil tasnya.

“Aku pergi dulu. Tadi uang belanjamu kuletakkan di meja kamar," ujarnya kemudian, sambil melangkah meninggalkanku yang masih terpaku. Namun baru saja ia melangkah setelah meraih tasnya, aku menyela dengan satu pertanyaaan yang tiba-tiba berani kuungkapkan.

“Siapa wanita yang bersamamu semalam, Mas?” tanyaku sambil menatap padanya.

Mas Divo terdiam. Langkahnya terhenti. Ia perlahan menoleh padaku. Wajahnya pias. Namun, cepat-cepat ia menetralkannya kembali di hadapanku..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status