Share

4. Wanita Berhati Mulia

TK Bunda Pertiwi.

Tidak terhitung lagi sudah berapa banyak tahun, semenjak lulus dari sini. Bangunannya saja sudah banyak berubah. Guru-gurunya pasti sudah banyak yang ganti. Syahlana turun dari mobilnya. Ia sudah membuka bagasi mobil. Lalu mengeluarkan buku-buku yang berjumlah sepuluh eksemplar yang dikemas dalam kardus. Ia menutup bagasi. Membawa buku-buku itu masuk ke area sekolahan. Syahlana berjalan menuju ruang kepala sekolah. bagian bawah gamisnya menuai angin, berkibar gemulai. Sesekali ujung pashmina jatuh ke dada, dan ia s***k kembali ke belakang.

"Assalaamu 'alaikum," ucap Syahlana, di depan pintu ruang kepala sekolah. Bangunannya memang banyak berubah, tetapi posisi kantor dan ruang kepala sekolahnya tidak pindah.

"W* 'alaikumsalaam," jawab seorang wanita berjilbab dan berseragam guru motif batik. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Perkenalkan, nama saya Syahlana Latief, saya ingin bertemu dengan kepala sekolah," jawab Syahlana.

"Kebetulan, Ibu Kepala Sekolah masih ada tamu. Jika tidak keberatan, silakan menunggu, mari silakan masuk."

Syahlana menurut. Ia mengikuti wanita itu masuk ke dalam ruangan dengan ada satu set sofa. Rupanya ruangan ini sudah diperluas. Jadi satu dengan ruang guru dan ruang tamu. Ruangan kepala sekolah berada di ujung ruangan, dikelilingi tembok dan berpintu.

Tidak lama kemudian, tamu di ruang kepala sekolah keluar. Seorang pria muda bersetelan jas. Ibu Kepala Sekolah dan pria itu tampak akrab. Mereka berbicara ramah dan saling tersenyum. Dari obrolannya yang bisa didengar oleh semua orang di dalam ruangan itu, sepertinya si tamu baru mendonasikan sesuatu. Ibu Kepala Sekolah berulang kali mengucapkan terima kasih. Jika diperhatikan dari bagusnya bangunan sekolah, tempat pendidikan ini tidak miskin-miskin amat sehingga membutuhkan sumbangan donasi. Masih termasuk sekolah elit.

Pria itu berpamitan, tanpa sedikit pun menoleh kanan-kiri, langsung keluar dari ruangan. Seperti ada kaca mata kuda di kepalanya.

Selanjutnya, giliran Syahlana yang menghaturkan tujuannya datang ke sekolah ini.

Rupanya, Ibu Kepala Sekolah itu dulunya adalah guru ajar, sebelum diangkat jadi kepala sekolah, sepuluh tahun lalu. Ia ingat pada Syahlana, sebagai alumni sekolah ini kala itu. "Kamu satu-satunya anak murid yang keturunan campuran. Wajah kamu juga beda, jadi lebih identik diingat."

"Begitu ya, Bu?" Syahlana tidak berhenti tersenyum. Ia mensyukuri wajahnya mudah diingat. Kemudian, ia menyerahkan buku Cooking For Kids kepada Ibu Kepala Sekolah.

Juga dengan senang hati, Ibu Kepala Sekolah menerimanya dan mengucapkan terima kasih. "Oh ya, tamu saya tadi, juga alumni sekolah ini," ujar Ibu Kepala Sekolah.

"Oh ya? Angkatan tahun berapa, Bu?" tanya Syahlana.

"Kalau tidak salah dengar, dia bilang tahun 2000," jawab Ibu Kepala Sekolah. "Berarti seangkatan dengan kamu, Nak Lana."

"Wah, iya. Tadi saya lihat mukanya, tapi gak ingat. Saya pikir mungkin tamu apa." Syahlana juga ingat, tadi wajah tamu Ibu Kepala Sekolah sama sekali tidak tersenyum dan benar-benar seperti pakai kaca mata kuda.

Selesai melakukan urusan donasi ini, Syahlana akhirnya pamit pulang. Dirinya masih harus ke restoran untuk mengurus pekerjaannya.

Setibanya di restoran, Syahlana tidak menyangka, Akasma akan datang. Sang mama sudah di sana sejak setengah jam lalu, tetapi tidak sendiri. Ia bersama seorang wanita, temannya.

"Lana, kamu ingat gak, sama Tante Rosana?" tanya Akasma.

Syahlana memperhatikan teman mamanya. "Seperti pernah bertemu, tetapi di mana, ya?"

"Tante Rosana ini dulu anaknya satu sekolah sama kamu waktu masih TK," jelas Akasma. "Kami baru bertemu kembali beberapa hari lalu. Gak sengaja di pasaraya waktu belanja."

"Satu TK dengan aku?" Syahlana memastikan tidak salah dengar.

"Bener, Lana. Kamu ingat Adrian?" Rosana tidak membuang-buang waktu membiarkan Syahlana mengingat-ingatnya sendiri.

"Adrian?" Syahlana mulai ingat.

Sesaat, sekelebat ingatan masa kecil bermunculan. Seorang anak lelaki berseragam TK, yang awalnya sangat nakal dan suka mengganggu Syahlana kecil. Nama anak itu. Ya. Adrian Sudiro.

"Lana jelek!" ganggu Adrian kecil.

"Biarin! Ian kalau nakal nanti gak Lana kasih permen! Weeekk!!" balas Syahlana kecil.

Suatu kali, Adrian menangis. Baju seragamnya kotor semua.

Syahlana melihat itu. "Kamu kenapa, Ian Nakal?"

Adrian tidak menjawab.

Lalu muncul beberapa anak di belakang Adrian. Rupanya, Adrian diganggu sampai jatuh ke parit sekolah dan menangis. Syahlana menemani Adrian ke UKS untuk diobati lukanya.

Ketika anak-anak itu hendak mengganggu Adrian lagi, Syahlana yang muncul dan menolongnya. "Kalau kalian berani ganggu Ian nakal dan nangisan ini, Lana bilang ke Bu Guru!"

Semenjak itu, Syahlana dan Adrian berteman baik. Kedua ibu mereka juga wali murid yang paling akrab kala itu.

Syahlana menatap Rosana. "Iya, Tante. Tadi Lana sempet lupa. Terima kasih sudah mengingatkan kembali."

Rosana tersenyum. Ia menatap Syahlana dari ujung kaki hingga ke ujung kepala, lalu mengulanginya berkali-kali. "Ya Tuhan, kamu tumbuh jadi wanita yang sangat cantik. Tante juga dengar dari mama kamu, bahwa kamu yang punya restoran terkenal ini. Sebenernya Tante sering loh pesen makanan di sini lewat GoFood."

"Oh ya? Kalo gitu, lain kali sering-sering dine in di sini, Tan. Lana akan melayani dengan baik."

"Pasti. Dan, kapan-kapan Tante juga mau mengundang kamu makan di rumah kami. Ian pasti seneng bertemu kamu lagi. Waktu kecil dulu, kalian itu sangat akrab. Gak bisa dipisahin. Tahu gak, beberapa hari pertama kami di Amerika dulu, Ian sempet jatuh sakit karena gak mau berpisah dari kamu. Beruntung segera mendapatkan penanganan yang baik dari psikiater anak di sana."

"Sebenernya, Lana belum pernah melupakan Adrian. Bagaimana kabarnya sekarang?" tanya Syahlana.

Rosana agak enggan menceritakan situasi di rumahnya. Mengingat menantu mandulnya juga hanya membuat sakit hati. "Mending, kapan-kapan kalau kalian bertemu, tanyakan langsung aja."

"Baik, Tante."

Siang itu, ketiga wanita itu asyik bercengkrama di dalam ruang VIP milik CDM. Beberapa kali, Syahlana menyajikan menu andalan restorannya. Perpaduan menu nusantara dan Perancis. Dan, semenjak saat itu, sambil mencari waktu yang pas, Rosana sering datang ke restoran Syahlana. Alasannya malas masak di rumah, jadi makan di sini.

Di restoran Syahlana, ada karyawan bagian persediaan bahan makanan, namanya Juki. Ia melaporkan kepada atasannya, bahwa persediaan bahan makanan sudah mulai habis. Syahlana menghubungi beberapa supplier yang dibutuhkan. Tetapi, salah satu bahan sayuran ternyata supplier juga kehabisan. Yaitu sayur kol. Maka, Syahlana pun berinisiatif untuk belanja sendiri di pasar tradisional.

Syahlana tidak pernah mempermasalahkan dari mana datangnya bahan makanan di restorannya. Asal bersih dan segar, tidak mengandung bahan berbahaya. Belanja di pasar tradisional pun bukan pilihan yang buruk. Asal dicuci bersih, dan pengolahan yang tepat, tetap akan menjadi makanan yang sehat dan aman untuk dikonsumsi.

Dalam beberapa menit, Syahlana sudah mendapatkan sepuluh kilo sayur kol dari beberapa kios berbeda. Agak berat membawanya. Kemudian, datang seorang porter menawarkan bantuan. Syahlana mengizinkannya. Lalu porter itu membawakan belanjaannya ke mobil. Syahlana memberikan beberapa lembar uang sepuluh ribuan sebagai upahnya.

"Terima kasih, Neng," ucap si porter.

"Sama-sama," kata Syahlana.

Baru saja pintu bagasi ditutup, terjadi keributan, tidak jauh dari tempat mobilnya diparkir. Rupanya baru ada seorang pencopet yang tertangkap, dan hampir jadi keroyokan massa. Syahlana mendatanginya.

"Berhenti!" teriak Syahlana. "Main hakim sendiri tidak akan menyelesaikan masalah! Kalo dia buntung dan cacat bisa bikin otak kriminalnya makin pinter. Mati pun, kalian gak akan dapat untung."

"Jangan dibelain, Mbak!" teriak warga lainnya. "Dia udah sering tuh, nyopet di pasar ini. Sudah bolak-balik ditangkap polisi, masuk dan keluar penjara udah langganan, tapi gak kapok juga."

Syahlana melihat kondisi si pencopet yang merupakan seorang pemuda berusia belasan tahun. Badannya kotor. Luka lecet di mana-mana. Ia memeluk sebuah dompet tebal. "Biar saya yang urus dia. Kalian bubar!"

"Wah, Mbak itu bego! Masa nyopet dibiarin?" sindir warga lainnya.

"Saya bukan bego, Mas!" sahut Syahlana. "Tapi punya hati nurani."

Setelah massa bubar, datang seorang wanita, dia pemilik dompet itu. Syahlana terkejut, karena ia adalah Aisha. Apalagi Aisha sendiri. "Lana?"

"Kita urus dulu dia," kata Syahlana.

Dengan berbaik hati, Syahlana meminta si pencopet itu duduk dengan baik. "Kenapa kamu mencopet? Hobi atau butuh?"

"S-saya butuh, Mbak," jawab si pencopet.

"Nama kamu siapa?" tanya Syahlana. Di sampingnya, Aisha memperhatikan caranya bicara kepada kriminal ini.

"N-nama s-saya Gala." Pemuda itu menundukkan kepala.

"Saya Syahlana. Dan pemilik dompet itu, dia. Namanya Aisha."

Gala menatap kedua wanita cantik di depannya. Lalu kembali menundukkan kepala.

"Sekarang, ceritakan, kenapa kamu harus mencopet?" pinta Syahlana.

"Ibu saya sakit keras. Adik saya masih kecil. Ayah saya sudah lama meninggal dunia. Tinggal saya yang masih kuat mencari nafkah buat mereka. Bukannya saya gak berusaha cari pekerjaan. Tetapi, gak ada yang mau mempekerjakan saya. Yang sering masuk keluar penjara bukan saya, Kak. Saya juga baru kali ini nyopet. Sumpah."

Syahlana menoleh pada Aisha. "Aku mau membantu dia. Menurut kamu gimana?"

"Aku juga bermaksud demikian, Lana," kata Aisha.

Sejurus kemudian, Gala mengajak kedua wanita itu ke rumahnya. Pemuda itu tinggal di sebuah pemukiman kumuh. Jauh dari sentuhan pembangunan kota semegah Jakarta ini. Di rumah itu, tinggal seorang wanita yang usianya kira-kira sudah kepala tiga, dan seorang anak perempuan berusia lima tahun. Kondisi rumah, lebih dari sekedar melarat.

"Bu, perkenalkan, ini Kak Syahlana dan Kak Aisha," kata Gala kepada ibunya yang berbaring di ranjang. Wanita itu hanya bisa tersenyum lemah.

Syahlana memegang tangan ibu bernama Wati itu. "Mbak, saya Lana. Mbak sakit apa?"

Sepertinya Wati kesusahan bicara. Gala menjelaskan. "Kata Kakak yang kuliah kedokteran, Ibu saya kemungkinan terkena stroke, sehingga tidak bisa bicara dan mengggerakkan anggota badannya."

"Sudah pernah dibawa ke dokter?" tanya Aisha.

Gala hanya menggeleng. Melihat kondisi hidup Gala, jangankan ke dokter, buat makan saja susah. Tiba-tiba, Gala menangis. Ia berlutut di samping ranjang. "Bu, hari ini Gala melakukan kesalahan besar. Karena kita sudah gak makan tiga hari, tadi Gala mencopet dompet Kak Aisha. Ampuni Gala, Bu. Gala menyesal...."

Setitik air mata mengalir dari kedua mata Wati. Membasahi pelipisnya.

"Bu, ampuni Gala...."

Aisha langsung membantu Gala berdiri. "Gala, tenangin diri kamu. Aku dan Lana tahu, kamu bukan pencopet seperti yang lain. Kalau kamu terbiasa mencopet, gak akan ketahuan secepat tadi, kan?"

Lalu, Syahlana mengambil ponsel dari tasnya. "Halo, Susan?" Rupanya ia menelepon seorang temannya yang berprofesi sebagai dokter.

Tidak lama kemudian, ambulans datang. Membawa Wati ke rumah sakit. Sementara Syahlana mengurus Wati, Aisha bertugas mengurus Gala dan adiknya, Nala. Kebetulan, keluarga Aisha katanya punya yayasan, yang sementara bisa menampung kedua anak itu untuk tinggal sementara ini. Selesai mengurus mereka, Aisha menyusul Syahlana ke rumah sakit.

Betapa tidak disangka, ternyata, Dokter Susan teman Syahlana itu adalah dokter yang dulu menangani Aisha saat operasi pengangkatan rahim. Dari Dokter Susan, Wati dirujuk ke poli penyakit dalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status