Share

No Free Lunch

Langit kelabu membayangi Eleanor ketika tiba di rumahnya. Sementara gaun putihnya terlihat kontras dengan warna pepohonan bonsai di sekitar halaman. Turun dari Pourche-nya, Eleanor berdiri hampah di depan rumah tua itu. Meskipun dia telah menikah, tapi apa yang menunggu di hadapannya seakan tidak ada yang berubah. Dia tetap pulang seorang diri ke rumah tuanya dengan gaun pernikahan seakan-akan dia baru saja melarikan diri di tengah pemberkatan. Tapi semua itu tidak benar. Justru pengantin pria yang akan melarikan diri jika saja Eleanor tidak mengikat lehernya dengan rantai perjanjian seperti seekor anjing.

Upacara pernikahannya buruk, begitu pula yang terjadi setelahnya. Tapi anehnya dia satu-satunya yang tidak terkejut dengan kejadian hari itu. Jenny sepertinya sudah bersusah payah mengirim hadia itu untuknya. Entah bagaimana dia bisa membentuk aliansi dengan Allena. Tapi yang pasti Allena juga sudah kehilangan kewarasannya karena berteriak di depan semua orang. Untuk saat ini yang diperlukan Eleanor hanya mandi air hangat untuk menghilangkan rasa lelah di tubuh dan pikirannya. Tidak ada yang berjalan dengan baik di kehidupan ini. Namun Eleanor tidak akan pernah menyerah pada jalan yang tidak mulus tersebut. Dia akan mempertahankan apapun yang telah menjadi pilihannya.

Sambil mengangkat ujung gaunnya, Eleanor melangkah ke dalam rumah. Mbak Sari tampak menyambutnya dengan senyuman yang menampilkan garis kerutan sekitar mataanya. Sebagai pengurus rumah, dia tidak ikut menghadiri acara pemberkatan. Eleanor telah meninggalkan pesan agar Mbak Sari menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke apartemen Jonathan setelah acara pemberkatan. Namun melihat Eleanor yang pulang seorang diri, senyuman di bibir Mbak Sari pun memudar. Eleanor tidak mengatakan apapun ketika berpapasan dengannya. Garis wajah Eleanor menunjukkan bahwa dia sangat lelah. Alih-alih mengucapkan selamat atas pernikahannya, Mbak Sari memilih untuk menawarkan diri menyiapkan air hangat dan herbal untuk Eleanor.

“Terima kasih, Mbak.” Hanya itu yang diucapkan Eleanor sebelum menutup pintu kamarnya. Pak Sapardi yang datang bersama buket bunga serta sebuah stiletto di tangannya pun tampak menggeleng pelan ketika Mbak Sari mengisyaratkan penjelasan padanya.

Di dalam kamar Eleanor langsung menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur dengan gaun pernikahan yang masih melekat di tubuhnya. Kelopak matanya memejam dengan salah satu punggung tangannya menutupi. Napasnya gusar sehingga dadanya tampak naik turun dengan cepat. Kedua kakinya yang menggantung di sisi tempat tidur kembali memijak lantai saat Eleanor membuka matanya dengan tiba-tiba. Dia beranjak bangun. Sambil menghelaikan napas dengan keras, kelopak matanya menatap tajam pantulan wajahnya di permukaan cermin.

Sorot mata yang hitam dan pekat itu seakan ingin melubangi cermin. Dari luar Mbak Sari mengetuk pintu kamar. Namun karena Eleanor tak kunjung membuka pintu, dia hanya meninggalkan pesan bahwa air hangatnya sudah siap. Eleanor butuh berapa saat menata dirinya kembali. Dadanya terbakar amarah dalam dirinya. Dia selalu meredamnya dengan baik, dengan membekukan hatinya. Namun memandang pantulan dirinya dalam balutan gaun putih dan riasan pengantin membuat hatinya justru meleleh. Ada air mata yang membayangi dari sudut matanya. Air mata dari lelehan es yang membeku. Dia pernah berjanji tidak pernah membiarkan air mata itu muncul lagi sejak dia menyadari siapa dirinya. Tetapi untuk kali ini saja dia membiarkan setetes cairan bening itu lolos dari kelopak matanya.

Dia bisa melewati semua ini, pikir Eleanor. Menikahi Jonathan bukanlah cara yang tepat untuk mendapatkan cinta laki-laki itu. Eleanor meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak membutuhkan lebih dari pernikahan ini. Jauh-jauh hari dia telah menetapkan batasan untuk dirinya sendiri. Yang harus dilakukannya hanya terus berdiri dengan dagu terangkat.

Setitik air mata itu mongering dengan cepat. Eleanor tidak perlu membasuhnya. Dengan dagunya yang kembali tegak, Eleanor berdiri. Bayangan wajahnya di permukaan cermin menghilang. Tirai putih dari jendela kamarnya bergerak-gerak. Eleanor melangkah sambil melepas resleting di bagian samping gaunnya. Tangannya sedikit kesulitan tapi dia mampu menjangkau. Resleting itu nyaris rusak ketika Eleanor menyetakkannya dengan keras. Gaun putihnya segera meluncur dari tubuhnya hingga tergeletak begitu saja di atas lantai.

Keluar dari sana Eleanor segera mengambil jubah mandi lalu membuka pintu yang menghubungkan dengan kamar mandinya. Bathup sudah terisi dengan air hangat yang beraroma, beberapa lilin aromaterapi pun tampak menyala di sekitarnya. Eleanor tak melepaskan jubah mandinya ketika dia mencelupkan kakinya ke dalam bathup. Begitu air hangat itu menyentuh permukaan kulitnya, Eleanor menenggelamkan dirinya.

***

Rere menelpon ketika Eleanor selesai berendam. Rambutnya yang masih basah dibungkusnya dengan handuk, sementara dia masih menggunakan jubah mandi. Sambil duduk di depan cermin, Eleanor meletakan ponselnya dan lantas mengaktifkan tombol speaker. Dia msih tampak lesu meski telah berendam air hangat cukup lama. Riasan di wajahnya telah hilang, menyisakan kulit pucat dengan kelopak mata yang kecil. Wajah itu terlihat rapuh nyaris seperti bukan Eleanor yang ditampilkannya sehari-hari. Make up mengubah kepribadiannya lebih berani dan tangguh. Tanpa itu dia hanya wanita biasa.

“Bu Eleanor… aku ingin mengabarkan kalau semua sudah ditangani dengan baik.” Ujar Rere terdengar mantap. “Aku berhasil membawa Allena pergi sebelum orang-orang Pak Hok bertindak lebih jauh padanya.”

“Kemana kamu membawanya pergi?” Eleanor berusaha mempertahankan suara dinginnya agar Rere tidak menyadari suasana hatinya.

“Sesuai perintahmu aku membawanya pergi ke luar kota, tepatnya di sebuah panti rehabilitasi terpencil. Itu lebih murah hati dari pada kantor polisi jika mengingat keadaannya.”

Eleanor tidak begitu mendengarkan Rere. Tatapan matanya kosong. “Apakah dia tidak memberontak?”

“Awalnya. Tapi aku berhasil menanganinya. Jadi mereka tidak perlu memegang tangan dan kakinya lagi.” terdengar helaian nafas Rere, “Aku merasa buruk setelah melakukannya. Tapi disisi lain aku ingin menjambak rambutnya setiap melihat wajahnya.”

Eleanor tidak berkomentar. Sehingga Rere berpikir dia tidak tertarik mendengar laporan Rere lebih jauh. Lagipula Rere yakin bukan tentang Allena yang ingin didengar Eleanor. melainkan tentang Jonthan yang menghilang begitu saja setelah acara pemberkatan. Dan tidak diragukan lagi kalau laki-laki itu mencari Allena.

Segalanya smakin terasa aneh bagi Rere. Dia haru membiasakan diri dengan kehidupan aneh orang-orang kaya. Sedikit sekali dari mereka yang benar-benar mempunyai kehidupan harmonis. Dan klaupun seperti itu pasti ada rahasia yang disembunyikannya. Rere pikir kehidupannya sebagai kaum menengah ke bawah sangat sulit dan mencekik. Namun ternyata kesulitannya tidak seberapa. Porsi kesulitannya tergantung uang yang dimilikinya. Orang-orang kaya lama alias old money seperti Eleanor memang terlihat tidak memiliki kesulitan hidup yang berarti. Bahkan dia seolah lahir dari sendok emas. Namun mereka hanya memiliki kelebihan dalam hal uang yang mereka gunakan untuk membereskan sisa-sisa kekacauan.

“Pak Jonathan tidak tahu kalau aku yang membawa mantan kekasihnya yang gila itu pergi. Dan aku sudah mengatakan tidak tahu saat dia bertanya padaku. Aku kecewa sekali karena dia masih peduli dengan perempuan itu. Maaf ya bu Eleanor, tapi rasa kagumku sudah hilang pada suami anda. Aku tidak akan membiarkan dia tau dimana Allena.”

Rere pikir perkataan akan menghibur Eleanor. Tapi dia lupa bahwa Eleanor tidak punya selera humor dan yang pasti tidak butuh dihibur atau dikasihani.

“Kalau dia bertanya lagi, katakan saja yang sebenarnya kalau aku yang menyuruhmu memasukan Allena ke tempat itu.” sahut Eleanor.

Nada dingin yang tersirat dalam ucapannya membuat Rere merinding. Tidak mungkin Eleanor tidak memikirkan konsekuensinya. Tapi jika dia bertingkah seperti anak kecil yang menginginkan perhatian maka wajar saja jika dia ingin melihat reaksi Jonathan ketika mengatahui istrinya telah mengirim mantan kekasih laki-laki itu ke pusat rehabilitasi.

“A… apa? Aku harus memberitahu Pak Jonathan?” Rere diliputi kebingungan.

“Yah, katakan padanya dimana Allena berada agar dia tidak perlu mencarinya.” Tegas Eleanor. Rere tidak akan pernah tahu bagaimana Eleanor harus membenamkan kuku jarinya ke telapak tangannya saat dia mengatakan itu.

“Baik, akan aku katakan.” Timpal Rere sambil menggigit bibir.

Setelah sambungan itu berakhir, Eleanor kembali ke depan cermin. Garis-garis wajahnya kembali mengencang. Dia mengambil peralatan make up tanpa mengalihkan pandangannya dari cermin. Kemudian mengaplikasikannya. Hanya make up ringan dengan eyes liner dan red velvet lipstick. Setelah merasa puas dengan riasannya, dia berdiri segera melangka menuju walk-in-closet pribadi milikny untuk mengambil pakaian. Ruangan itu tidak ada ketika kakek dan neneknya masih menempati rumah itu. Eleanor baru menambahkan ruang tempat menyimpan pakaian dan aksesoris itu setelah Rere menyarankannya. Meski begitu tidak banyak barang branded yang simpannya, hanya yang eksklusif yang tersimpan disana.

Eleanor memilih blouse sifon potongan dada tinggi dengan celana kain yang lebih gelap. Dia mengikat rambut pendeknya, memakai anting mutiara dan mengenakan jam tangannya. Setelah selesai dia kembali ke cermin untuk memastikan penampilannya. Tidak lupa dia mengenakan stiletto merah-nya untuk menambah posturnya agar terlihat tegap. Sementara handbag yang dipilihnya adalah satu-satunya handbag dari kulit buaya yang dihadiakan Anastasia untuknya. Sempurna, dia berseru dalam hatinya. Kembali pada penampilan sang penyihir.

Sebelum mengemasi ponselnya ke dalam handbag, Eleanor memeriksanya sekali lagi. Masih tak ada kabar dari Jonathan. Sudut matanya kembali memanas tapi dia berusaha mengalihkannya. Akhirnya dia memutuskan untuk mengetik sebuah pesan.

Aku akan memindahkan barang-barangku ke apartemenmu.

Beritahu dimana alamatnya.

Pesan itu terkirim. Namun Eleanor merasa belum puas. Dia mengepalkan salah satu telapak tangannya ketika menekan kontak nomor pamannya. Panggilan suara itu tersambung setelah beberapa kali berdering. Eleanor meletakkan ponsel itu di telingannya dengan ragu.

“Halo paman…” suaranya sedikit bergetar.

Dia menunggu Liem Hok menyahutinya. “Paman belum kembali ke Singapura kan? Aku hanya ingin mengatakan aku setuju dengan tawaran paman. Bisakah paman menyiapkannya dalam waktu sepekan? Yah… terima kasih.”

Tidak butuh waktu lama untuk membuat kesepakatan dengan iblis. Eleanor tahu bahwa konsekuensinya menerima tawaran pamannya adalah melanggar kesepakatannya dengan Jonathan. Namun dia harus membuat Jonathan tak bisa kembali pada Allena dengan cara memperkenalkannya pada dunia bahwa Jonathan adalah suaminya. Lagipula Jonathan sendiri tanpa sengaja melanggar komitmennya.

Setelah memberitahu Pak Sapardi tentang keberangkatannya, Eleanor berpamitan dengan Mbak Sari. Suasana hatinya sudah lebih baik dibandingnya saat dia pulang. Bagaimanapun dia masih akan sering pulang ke rumah itu karena sebagian besar barang-barangnya tidak bisa dia bawa ke apartemen Jonathan. Eleanor sendiri sudah memperkirakan ukuran apartemen itu tidak akan lebih luas dari penthouse yang dimilikinya. Karena itu dia akan mencoba menyederhanakan penampilannya. Mbak Sari akan pensiun bulan depan. Eleanor mengijinkan karena dia sendiri merasa sudah waktunya melepas pengasuhnya itu. Sementara untuk perawatan rumah tua itu dia akan menyerahkannya pada Pak Sapardi dan istrinya. Eleanor bisa mempercayai mereka.

“Semoga non Eleanor betah ya di tempat tinggal yang baru! Mbak Sari berharap non Eleanor mendapat kebahagiaan melalui pernikahan.” Ucapan tulus itu hanya dibalas Eleanor dengan senyum tipis. Sadar bahwa itu hanya harapan yang nyaris tidak akan terwujud.

“Mbak Sari akan selalu mendoakan non Eleanor dan pasangan.”

“Terima kasih, Mbak.” Balas Eleanor sambil memeluk pengurus rumah paruh baya itu. Mbak sari pun mengantarnya sampai depan pintu.

“Nanti kalau saya butuh resep masakan apa saya boleh menghubungi Mbak Sari?” Tanya Eleanor sebelum melangkah keluar. Kelopak mata Mbak Sari tampak membulat seolah terkejut dengan pertanyaan Eleanor.

“Non Eleanor mau masak sendiri untuk suami? Tidak berencana mencari asisten rumah tangga?” tanyanya.

Eleanor menggeleng untuk mengkonfirmasi jawabannya.

“Saya ingin memasak sendiri seperti A-mah dulu.” Jelasnya.

Mbak Sari pun tersenyum memperlihatkan deretan giginya. “Tentu. Non Eleanor bisa menghubungi Mbak Sari kapan saja.”

“Terima kasih. Kalau begitu saya berangkat.” Pamitnya sembari melangkah pergi.

Pak Sapardi sudah memasukan beberapa kopor Eleanor ke dalam bagasi. Lalu bersiap membukakan pintu untuk Eleanor ketika sebuah mobil memasuki halaman rumah. Mobil SUV yang tak lain adalah milik Jonathan. Eleanor menghentikan langkahnya tak jauh dari beranda. Pandangan terpaku pada sosok yang turun dari mobil tersebut. Tampak wajah Jonathan yang sayu. Dia masih mengenakan tuxendo yang dikenakannya saat pemberkatan. Hanya saja dasi kupu-kupunya sudah hilang dengan kancing kemeja paling atas terbuka. Rambutnya tidak serapi sebelumnya dan yang paling menonjol sorot mata Jonathan yang tampak seperti orang linglung.

Eleanor mencoba untuk tidak mempedulikan kehadirannya dengan kembali melangkah. Namun Jonathan menahan lengannya saat Eleanor hendak masuk ke dalam mobilnya.

“Maaf…” suara Jonathan tidak begitu jelas. Seperti tertahan.

“Aku sedang bersiap-siap ke apartemenmu. Kamu bisa menunjukkan dimana lokasinya.” Sahut Eleanor mengabaikan permintaan maaf Jonathan.

“Ikut mobilku, kita pergi bersama.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status