Share

Bab. 4 Rencana

Penulis: Ambar_rawa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-11 12:53:31

Setelah kepergian Ajeng ke rumah orang tuanya, Ardi mendapat omelan dari ibunya. Ia berada di dalam kamar, merenungkan setiap kata-kata Ratih, ibunya.

"Sebenarnya kamu menyembunyikan apa sih, Ar? Jangan melakukan kebodohan yang bisa menghancurkan rumah tanggamu, atau kamu akan kehilangan apa yang kamu miliki saat ini. Sudahi main-mainmu di luar sana, Ar. Ibu nggak mau kalau sampai rumah tanggamu berantakan. Kasihan Kaisar, dia masih terlalu kecil dan sangat membutuhkan orang tuanya."

Ardi memikirkan semua yang dikatakan ibunya. Dia tidak mencintai Dian seperti mencintai Ajeng. Dia hanya main-main saja.

"Apa aku harus memutuskan hubunganku dengan Dian, ya? Sebelum semuanya terlambat. Ya, aku harus menemui Dian sekarang."

Ardi meyakinkan dirinya untuk segera mengakhiri hubungannya dengan Dian.

Dia bangkit dari tidurnya, memakai jaket, mengambil kunci motor, dan keluar dari kamar. Bu Narsih, yang sedang menonton TV, melihatnya dan bertanya,

"Mau ke mana, Ar?"

"Keluar bentar, Bu. Mau ketemu teman."

"Diajak Ajeng ke rumah mertuamu, kamu nggak mau, malah keluar. Sehat kamu, Ar?" Bu Narsih kesal karena Ardi membiarkan Ajeng ke rumah orang tuanya sendirian.

"Ardi ada urusan, Bu. Urgent." Bergegas, Ardi keluar tanpa menghiraukan ibunya.

Dian masih merasakan kepalanya sangat pusing. Sejak pagi tadi ketika dia terbangun karena merasa mual dan memuntahkan semua isi perutnya, keadaannya masih belum membaik.

Dia sedang membuat teh hangat ketika mendengar suara motor Ardi di depan tempat kosnya.

Ardi memarkirkan motornya di depan tempat tinggal wanita yang hampir dua bulan ini menjadi kekasihnya.

Dia langsung masuk ke kamar Dian. Ardi melihat Dian sedikit pucat dan mendekatinya.

"Kamu kenapa, Sayang? Kok pucat gitu?"

"Dari tadi pagi pusing, Sayang." Tubuhnya terasa sangat lemas. Ardi langsung menuntunnya duduk di atas tempat tidur.

Ardi bangkit, berniat membuat minuman hangat, tapi dia melihat secangkir teh yang masih panas. Ardi mengambilnya dan menyerahkan teh itu kepada Dian.

"Minum teh hangat dulu, Di, biar perutnya enak. Kamu sakit apa, Di? Sudah periksa belum?" Ardi mencecar dengan banyak pertanyaan.

"Masuk angin, deh, kayaknya, Sayang. Soalnya semalam habis kamu antar aku mandi pakai air dingin. Habisnya, males banget mau masak air."

Dian memberengut manja. Setelah minum teh hangat, dia menaruhnya di meja nakas dan mengambil minyak gosok, lalu menyerahkannya kepada Ardi.

Dian menggeser duduknya membelakangi Ardi. "Mas, tolong balur punggungku pakai minyak ini, dong."

Ardi menerima minyak itu, berniat untuk membalurkannya, tapi ketika melihat tengkuk Dian, Ardi mengurungkan niatnya.

Dia memindai penampilan perempuan di depannya yang mengenakan daster di atas lutut, dengan tali kecil di pundaknya.

Rambutnya dicepol asal, memperlihatkan tengkuk, pundak, dan sedikit punggungnya. Iman setipis tisu Ardi langsung bangkit.

Ardi mulai menciumi tengkuk dan pundak yang terekspos. Dian, yang merasakan napas hangat Ardi, memejamkan matanya.

"Kamu seksi banget sih, yang, jadi pengen..." gumam Ardi di sela-sela kegiatannya.

Dian hanya diam dan menikmati setiap perbuatan Ardi. Mereka sama-sama terbakar gairah.

Ardi, yang awalnya berniat memutuskan hubungan, malah kehilangan akal sehatnya. Dia melupakan tujuan awal dan terjebak dalam nafsu.

Dian bangkit dan duduk di pangkuan Ardi. Keduanya sudah saling membelit lidah, entah dari mana Dian mendapat kekuatan, padahal sejak tadi ia merasa sangat lemas.

Tangan Ardi tidak tinggal diam, ia mengangkat daster Dian dan melemparkannya ke sembarang arah.

Ditidurkannya Dian di atas kasur, dan Ardi langsung mengungkungnya. Ardi mulai mencium bibir Dian, turun ke leher, menyesapnya di beberapa tempat hingga meninggalkan bekas kemerahan.

Lalu berpindah turun sampai ke dua gunung kembar yang masih tertutup. Tangan Ardi menyusup ke belakang punggung untuk melepas pengaitnya, dan dalam sekejap, terpampanglah dua gundukan besar milik Dian.

Ardi menyesap, menjilat ujung yang berwarna kecokelatan itu seperti bayi.

"Uugghh," terdengar lenguhan Dian yang menambah panas suasana di dalam kamar kos yang sempit itu.

Setelah puas menikmati dua bongkahan milik Dian, Ardi menurunkan ciumannya hingga ke lipatan paha yang masih tertutup secuil kain.

Dengan tergesa-gesa, Ardi menurunkan kain itu, dan terlihatlah lembah yang ditumbuhi tanaman hitam yang sudah dipangkas rapi oleh pemiliknya.

Ardi, yang sudah terbakar api gairah, tidak sabar menenggelamkan wajahnya di pusat inti yang sudah basah itu.

Dian melengkungkan pinggulnya, menahan rasa yang hampir meledak karena merasakan lidah hangat yang mengoyak bagian intinya.

"Uuuggghhh."

Desahan panjang menandakan pelepasan kenikmatan yang Dian rasakan. Dia masih mengatur napasnya ketika Ardi mulai melepas semua pakaian yang menempel di tubuhnya.

Ardi kemudian mengarahkan senjatanya ke inti Dian dalam sekali hentakan. "Aahhh," jerit keduanya ketika tubuh mereka menyatu.

"Awwwhh... damn it... gghhhh..." Geraman panjang Ardi ketika pelepasan itu dia dapatkan.

Mereka melakukannya hingga dua ronde, sungguh pasangan yang gila.

"Sayang, tumben banget kamu hari Minggu begini ke sini, biasanya kan kamu menghabiskan waktu dengan Ajeng dan anakmu?" tanya Dian di dalam dekapan Ardi, di bawah selimut yang sama, dengan tubuh yang masih sama-sama polos.

"Ajeng pulang ke rumah orang tuanya. Kita tadi ribut karena jatah bulanan kurang. Dia juga menanyakan soal gaji aku. Pusing aku, jadi aku main ke sini," jawab Ardi.

"Di, duit yang 500 itu balikin dong. Aku beneran nggak punya uang buat pegangan. Kalau aku motong duit jatah Ajeng, dia nanti curiga kalau aku punya wanita lain," jelas Ardi.

"Enak saja. Nggak, ah. Biarin saja dia tahu sekalian, biar kamu bisa cepat ceraikan Ajeng, dan kita bisa menikah secepatnya. Memang kamu nggak mau nikahin aku? Kamu cuma mau enak-enak aja gitu?" balas Dian.

"Bukan gitu, Sayang. Kalau aku ceraikan Ajeng tanpa alasan yang jelas atau kita ketahuan selingkuh dan dia nggak terima, kita bisa dituntut. Atau kalau nggak, ya bayar denda. Memangnya kita punya duit buat bayar denda? Sekarang kan perselingkuhan ada pasalnya jika pasangan nggak terima. Kamu mau kita dipenjara?"

'Bener juga kata Mas Ardi. Bisa gawat kalau Ajeng sampai nuntut dipenjara atau nuntut duit. Bukannya untung, malah buntung. Tapi kalau aku beneran hamil gimana? Nggak... Nggak... Mas Ardi harus tetap nikahin aku bagaimanapun caranya. Mending aku ngalah dulu, nanti kalau kecurigaan aku bener, baru aku desak Ardi buat nikahin aku,' pikir Dian.

Akhirnya, Dian mengalah. Ia mengambil dompet dan mengeluarkan uang 300 ribu.

"Segini mau nggak? Aku cuma bisa balikin segini," ucapnya.

"Hhhmmm..." Ardi menghembuskan napas pasrah.

"Ya udah deh, nanti dihemat-hemat sampai keluar duit bonus. Semoga aja dapet bonus lumayan."

Ardi bergegas bangun, memakai pakaiannya kembali, dan berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka. Dian hanya menatapnya saja.

"Makasih ya, Sayang. Aku pulang dulu. Kamu istirahat saja, jangan ke mana-mana, biar cepat sembuh dan besok bisa kerja. Kita ketemu besok, ya. Kamu besok masuk pagi kan?" Ardi berpamitan setelah keluar dari kamar mandi.

"Iya... Mau ke mana, sih? Capek banget badanku. Udah tahu pacarnya sakit, eh malah tetap diserang. Minta duit lagi..." keluh Dian sambil mengerucutkan bibirnya.

Karena gemas, Ardi mencium bibir itu dan terkekeh. Kemudian, Ardi keluar dan pulang.

Sore hari, terdengar suara motor Ajeng memasuki halaman rumahnya. Dengan semua rencana yang sudah ia susun bersama Yuli di kepalanya, Ajeng berniat untuk segera menjalankannya.

Ardi yang tiba lebih dulu tertidur di kamarnya. Sayup-sayup dia mendengar suara Kaisar yang sedang berceloteh riang.

Ajeng masuk ke kamar saat Ardi sudah berdiri hendak keluar. Ia menyerahkan kembali uang bulanan yang dikembalikan Ajeng tadi pagi.

"Ini diterima dulu, Jeng. Mas janji bulan depan jatah uang belanjanya seperti bulan-bulan yang lalu."

Ajeng menerima kembali uang itu tanpa bicara apapun. Ia menghitung uang itu, ternyata Ardi tidak jadi memangkas 500 ribu.

Ajeng menyimpannya di dalam dompet, sambil memikirkan banyak rencana.

Karena sudah mandi dari rumah ibunya, Ajeng keluar dari kamar menuju dapur untuk membuat makan malam, membiarkan Kaisar dan Ardi bermain di ruang depan.

_________________________

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Kedua Kami   Bab. 64

    Kehamilan Ajeng mengalami fase sulit hanya sampai diusia empat bulan, dia hampir memuntahkan semua makanan yang masuk ke dalam perutnya.Usia dimana harusnya dia makan dengan baik dan bergizi harus tergantikan dengan cairan infus yang tertancap dipergelangan tangannya.Ya, Ajeng menjadi pasien hilir mudik dirumah sakit. Bagaimana tidak hilir mudik? kalau selama empat bulan di hanya tidur dirumah selama tiga Minggu saja.Dan setelah empat bulan yang menguras energi itu, akhirnya Ajeng bisa menelan semua makanan. Sehingga semua nutrisi untuknya dan anak dalam kandungannya terpenuhi.Hanya saja, pr untuknya adalah menaikkan berat badannya dan bayinya. Karena hasil USG terakhir mengatakan jika berat badan bayi dalam kandungannya kurang.Tugas Allard yang harus cerewet meminta istrinya untuk terus mengunyah. Dan hampir bisa dipastikan mulut Ajeng tidak berhenti bergerak, karena sang suami yang sebentar sebentar menyuapinya dengan banyak makanan."Sudah Mas, aku capek.." Ucap Ajeng yang ent

  • Cinta Kedua Kami   Bab. 63

    Akhir pekan sudah tiba, saat ini Allard dan Ajeng sedang bersiap untuk mengunjungi Mansion mereka, hadiah dari sang nenek. Mereka akan berkumpul disana nantinya, dan kesempatan itu akan dipergunakan Allard untuk memberikan berita bahagia itu untuk keluarganya. Hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai disana. Allard segera menyiapkan pesta kejutan untuk keluarganya, mumpung semua keluarganya belum sampai. Dibantu beberapa Maid dan Kaisar, Allard menyiapkan pesta barbeque di halaman Mansion yang cukup luas. Satu jam kemudian Daddy, Mommy, Grany dan adiknya sudah tiba di Mansion. "Wah Al, kamu menyiapkan barbeque? spesial sekali?." Tanya Daddy William. "Yes Dad, kita akan berkumpul disini malam nanti." Ucap Allard. "Ayo Daddy bantu kalau begitu." Ucap Daddy William. " Opa, bantu Kai saja, Kai capek dari tadi nggak berhenti berhenti." Ucap Kaisar. " Memangnya Kai ngapain harus dibantu Opa?." "Ini, potong potongi kertas." "Kertas? untuk apa?." " Membuat tulis

  • Cinta Kedua Kami   Bab 62

    Perbedaan waktu antara Indonesia dan Jerman membuat Ajeng harus bisa melihat sekiranya dia bisa menghubungi keluarganya.Ajeng segera mengambil ponselnya saat dirasa orang tuanya sedang memiliki waktu luang.Tut..Tut..Tut..["Hallo, Asalamualaikum."] Ucap Bu Maya, mamanya Ajeng diujung telpon sana." Wa'alaikumsalam, Mama." Ucap Ajeng.["Ajeng sayang, ada apa nak, kalian baik baik saja kan?."] Bu Maya."Alhamdulillah kami semua baik Mah, Mama dan Ayah apa kabar?." Tanya Ajeng.["Mama dan Ayah baik sayang, kalian kapan ke Indonesia?"] Bu Maya." Mas Al, sibuk Mah, banyak hal yang harus beliau lakukan, jadi mungkin agak lama kami bisa ke Indonesia. Oh ya Mah, Ajeng mau ngasih kabar, saat ini Ajeng sedang hamil, minta doanya Mama dan Ayah, semoga Ajeng dan dedek utun diberi kesehatan, dan nanti bisa lahir dengan selamat dan sehat ya Mah." Ucap Ajeng.[" Massa Allah, Alhamdulillah, selamat sayang, tentu Mama dan Ayah doakan yang terbaik untuk anak dan calon cucu Mama. Dijaga ya sayang kan

  • Cinta Kedua Kami   Bab.61

    Allard dan Ajeng sudah meninggalkan rumah sakit, mereka jadinya tidak menuju apotek, tapi malah ke mobil, mereka meminta Theo untuk mengambil obat. Ajeng dan Allard menunggu di mobil dengan membawa makanan ringan dan minuman selama menunggu Theo. Setelah sampai dirumah, mereka disambut teriakan Kaisar yang tidak sabaran menunggu sejak tadi. "Mama, Papa!! bagaimana keadaan Mama? Mama sudah tidak sakit lagi kan?." Tanya Kaisar. " Hati hati Kai.. Jangan minta gendong Mama, sini biar Papa saja yang gendong, sekarang Kaisar harus bantuin Papa untuk menjaga Mama, karena didalam perut Mama ada adeknya Kaisar, bagaimana mau kan?." Tanya Allard pada Kaisar. "Benarkah Pah? ada adek Kai di perut Mama?." " Iya." " Yee.. Kai akan jagain Mama Pah, tenang saja." Ucap Kaisar. Para Maid yang mendengar pun segera mendekat dan memberi selamat untuk pasangan berbahagia itu. " Selamat Tuan, Herrin, semoga sehat ibu dan bayinya." Ucap Mereka serempak. " Terimakasih, untuk kalian semua, s

  • Cinta Kedua Kami   Bab.60 Hamil

    " Benarkah? kamu tidak bercanda kan Ray?." Tanya Allard." Ngapain bercanda Al, tapi sebaiknya segera kamu periksakan ke Dokter kandungan untuk lebih jelasnya, kamu tau kan kalau aku hanya Dokter umum?." Ucap Raymond.Allard menoleh pada Theo yang masih ada diruangan itu."Theo, segera siapkan mobil, kita kerumah sakit sekarang!." Ucap Allard pada Theo."Baik Tuan."Theo segera pergi ke garasi untuk melaksanakan perintah sang Tuan."Bu Mirna, tolong jaga Kaisar, saya akan bawa Ajeng kerumah sakit." Ucap Allard pada salah satu Maid kepercayaannya."Baik Tuan." Ucap Bu Mirna.Dua puluh menit kemudian, mobil yang ditumpangi Allard sudah sampai di UGD rumah sakit.Allard memang sengaja membeli rumah yang dekat dengan pusat perbelanjaan, sekolah dan rumah sakit, itu dia lakukan untuk memfasilitasi keluarganya.Sekitar setengah jam setelah Ajeng diperiksa oleh seorang Dokter, keluar lah Dokter wanita yang tadi memeriksa Ajeng.Allard yang melihat itu, segera berjalan mendekat."Bagaimana kea

  • Cinta Kedua Kami   Bab. 59 Apa yang harus Aku lakukan?

    Siang itu, Rania segera dimakamkan. Kepergian Rania diantar oleh orang tua dan tetangga tetangga rumah Ardi. Setelah tujuh hari kepergian Rania, Ardi bersiap untuk pergi ke pabrik tempatnya bekerja dulu, dia berniat untuk melamar kerja disana lagi. "Mas, mau kemana kok sudah rapi?." Tanya Dian. " Ke pabrik, mau melamar kerja disana lagi." Ucap Ardi. "Kok ke pabrik lagi sih Mas, kan aku sudah bilang, lebih baik bantu aku membuat ide ide konten, dari ngonten kita bisa melunasi rumah, dan aku sedang menabung untuk bisa membeli mobil lho." Ucap Dian. Memang Dian sedang menabung untuk bisa membeli mobil, hasil ngonten memang se menjanjikan itu. "Mau ngonten apa lagi? sedangkan Rania sudah pergi?." Ucap Ardi. "Makanya bantu aku mikir Mas, aku juga lagi nyari nyari ide!." Ucap Dian. "Aku nggak pernah ngerti soal hal hal kayak gitu Di, yang aku tau hanya kerja. Jadi lebih baik aku nyari kerja saja." Ucap Ardi. Ardi pergi meninggalkan rumah, kemarin dia sudah menyiapkan berkas berkas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status