Share

Bab 9

Author: Yovana
Pada awal tahun, Vanesa sudah membeli sebuah unit di Kompleks Acacia yang ada di sebelah studionya.

Rumah itu berukuran 140 meter persegi dengan tiga kamar tidur. Dia dan ibunya masing-masing akan mendapatkan satu kamar, sementara satu kamar kecil lagi akan Vanesa ubah menjadi sebagai ruang kerja.

Rumah itu sudah jadi, tetapi Vanesa meminta perusahaan dekorasi untuk mendesain ulang interiornya. Tiga bulan yang lalu, mereka sudah menyelesaikan semuanya. Jadi, Vanesa bisa langsung pindah.

Vanesa meletakkan koper di rumah barunya, lalu pergi ke studio.

Dia bekerja merestorasi barang sampai dini hari. Baru ketika Vanesa menyentuh batas kemampuannya, dia menyeret tubuh lelahnya kembali ke ruang istirahat.

Setelah mandi, Vanesa berbaring di tempat tidur, lalu menutup mata untuk tidur nyenyak.

Hanya saja, malam itu dia tidak tidur terlalu nyenyak. Vanesa bermimpi tentang banyak hal. Namun, dia tidak mengingat apa-apa setelah terbangun.

Sambil mengusap kepalanya yang berdenyut, Vanesa masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Saat melangkah keluar, ponselnya yang berada di atas meja samping tempat tidur bergetar.

Ternyata Steven yang menelepon.

Vanesa tidak mengangkatnya.

Vanesa bisa menebak bahwa telepon ini pasti karena Regan.

Karena tekad Vanesa untuk bercerai sudah bulat, dia akan memutuskan segala hubungan.

Bagaimanapun juga, Regan adalah anak kandung Hanna. Vanesa merasa Regan akan perlahan mengalihkan ketergantungannya pada Hanna setelah menghabiskan waktu bersama ibu kandungnya itu.

Setelah mengganti baju, Vanesa memasukkan ponselnya ke dalam tas, lalu pergi menuju rumah sakit.

Di departemen kandungan rumah sakit, di ruang periksa pribadi Stella.

"Menurut tanggal haid terakhir dan hasil USG, kamu hamil lima minggu lebih empat hari."

Stella menyerahkan laporan hasil pemeriksaan pada Vanesa.

Vanesa menerimanya, melihat gambaran hitam putih pada laporan hasil pemeriksaan. Hatinya tidak bisa tidak menegang.

"Selain itu, anakmu ini …." Stella menunjuk kantung kehamilan kecil di atas, lalu melanjutkan, "Sepertinya kembar."

Begitu mendengar ini, Vanesa langsung terkejut.

Dia mengangkat kepala untuk menatap Stella, lalu bertanya, "Apa kamu yakin?"

"Sekarang usia kandunganmu baru lima minggu lebih, hanya terlihat ada dua kantung kehamilan."

Stella menjelaskan, "Kalau sudah sampai usia kandungan tujuh minggu, kamu bisa memeriksa detang jantung di kedua kantung kehamilan ini. Baru pada saat itu kita bisa memastikan apakah kamu hamil anak kembar atau bukan. Kantung kehamilan ganda seperti milikmu ini umumnya adalah kembar fraternal. Mungkin mereka bisa menjadi sepasang kembar berbeda jenis kelamin!"

Vanesa mencengkeram hasil pemeriksaan, mengerucutkan bibir pucatnya beberapa kali, tetapi tetap tidak bisa mengatakan apa-apa.

Stella tahu bahwa hati Vanesa mulai luluh.

Bagaimanapun juga, ini adalah darah dagingnya sendiri. Terlebih lagi, mereka mungkin kembar. Siapa pun pasti akan merasa enggan melepaskannya.

Ditambah lagi, ini adalah anak Vanesa dan Steven.

Stella sangat memahami perasaan Vanesa terhadap Steven.

Stella bahkan merasa di dunia ini mungkin tidak akan ada lagi orang yang seperti Vanesa. Selama lima tahun penuh, dengan alasan membalas budi, Vanesa sudah mencintai seorang pria tanpa mengeluh, meski pria itu bisa mengajukan perceraian kapan saja.

Dalam pernikahan ini, Vanesa mencinta dengan begitu rendah hati.

Sedangkan Steven …. Mungkin dari awal sampai akhir, dia tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai suami.

"Aku akan memikirkannya lagi."

Setelah beberapa saat, Vanesa mengangkat pandangannya untuk menatap Stella, lalu berujar, "Aku akan memberitahumu kalau aku sudah memutuskan."

Mata cantik Vanesa tampak sedikit merah serta mengandung air mata. Di dalam matanya, tampak kebingungan yang jelas.

Stella yang melihat ini merasa hatinya sakit. Dia berkata, "Kamu harus membuat keputusan dalam waktu 12 minggu."

"Baiklah." Vanesa memasukkan laporan hasil pemeriksaan ke dalam tas, lalu menambahkan, "Jangan beri tahu siapa pun tentang kehamilanku."

"Aku tahu."

Stella masih harus pergi bekerja, jadi Vanesa tidak ingin mengganggunya.

Setelah meninggalkan departemen kandungan, Vanesa turun dengan menggunakan lift.

Sesampainya di lantai satu, Vanesa berjalan keluar dari lift. Begitu mengangkat pandangan, dia langsung melihat Steven yang sedang menggendong Regan, tampak baru masuk dari pintu besar rumah sakit.

Ada koyo penurun panas yang tertempel di dahi Regan.

Vanesa terkejut.

Ketika Regan melihat Vanesa, wajah kecilnya yang pucat langsung penuh senyuman. "Itu Ibu!"

Langkah Steven berhenti, lalu dia melihat ke arah Vanesa.

"Ibu!"

Regan berteriak pada Vanesa.

Steven berjalan mendekati Vanesa sambil menggendong Regan.

Vanesa benar-benar menyayangi Regan. Dia menyentuh wajah Regan, merasakan suhu tubuhnya yang cukup tinggi.

Vanesa bertanya, "Kenapa dia bisa tiba-tiba demam?"

Steven menjawab dengan acuh tak acuh, "Semalam dia makan es krim."

Ketika mendengar ini, Regan memainkan jari-jarinya dengan perasaan bersalah.

Sebenarnya, itu karena Hanna membelikannya es krim untuk pertama kalinya. Regan merasa enggan untuk menyia-nyiakan, jadi dia menghabiskan satu kotak penuh.

Namun, Regan tidak berani mengatakan yang sebenarnya. Jika sampai Vanesa tahu Regan sudah memakan satu kotak penuh es krim, pasti Vanesa akan menyalahkan Hanna!

Regan merasa bahwa Hanna begitu lembut, serta begitu menyayanginya. Bagaimana mungkin dia akan membiarkan Vanesa menyalahkan Hanna?

Regan merasa takut Vanesa akan terus bertanya, jadi dia langsung mengulurkan tangan, "Ibu, bisakah kamu menggendongku?"

Vanesa tanpa sadar ingin mengangkat tangannya. Namun, mengingat dirinya sekarang sedang hamil, gerakannya terhenti.

Dia mengusap kepala Regan sambil berkata, "Ibu sedang nggak enak badan. Biarkan Ayah yang menggendongmu."

Begitu mendengar ini, Regan langsung cemberut, merasa tidak senang.

Ini adalah pertama kalinya Vanesa menolak untuk menggendongnya.

Meskipun Vanesa sedang sakit, Regan ingat bahwa dulu Vanesa tetap bersedia menggendongnya saat sedang sakit.

Mungkinkah Vanesa marah?

Regan mengamati Vanesa dengan hati-hati.

Saat melihat wajah Vanesa yang memang tidak terlalu sehat, Regan langsung merasa gugup.

"Ibu, apakah Ibu marah padaku?" Regan menatap Vanesa dengan tatapan menyedihkan, lalu berujar, "Aku salah. Aku nggak seharusnya makan es krim diam-diam tanpa sepengetahuan Ibu. Aku berjanji nggak akan makan es krim lagi."

Vanesa memang tidak pernah memberikan es krim pada Regan, karena Regan menderita penyakit asma bawaan. Selain itu, fungsi pencernaan Regan tidak begitu baik sejak dia kecil. Dokter pengobatan tradisional mengatakan bahwa Regan harus menghindari makanan manis dan dingin.

Vanesa hendak menjelaskan pada Regan, tetapi Steven sudah lebih dulu berkata, "Ibu nggak akan marah padamu."

Nada bicara Steven terdengar sangat yakin, sama sekali tidak merasa Vanesa akan membantah.

Bulu mata Vanesa bergetar, sementara dia diam-diam mengatupkan bibirnya.

Regan menatap Vanesa, lalu bertanya, "Ibu, apa kamu benar-benar nggak marah?"

Vanesa tersenyum simpul pada Regan. "Tentu saja Ibu nggak marah."

"Kalau begitu, bisakah Ibu menemaniku hari ini?" Regan berbicara dengan nada yang makin sedih serta mata yang memerah, "Aku merasa nggak enak badan, aku ingin makan bubur buatan Ibu."

Vanesa ragu sebentar, lalu mengangguk. "Baiklah."

Setelah Regan diperiksa oleh dokter, ternyata tenggorokannya meradang. Dokter memberikan resep obat, menyarankan agar Regan makan makanan yang ringan, banyak minum air, serta istirahat yang cukup di rumah.

Setelah kembali ke Mansion Resta, Steven menggendong Regan naik untuk beristirahat.

Sementara itu, Vanesa pergi ke dapur untuk memasak bubur.

Setengah jam kemudian, Vanesa membawa bubur yang sudah matang naik.

Pintu kamar anak setengah terbuka, membuat suara Regan bisa terdengar.

"Ibu, kamu jangan khawatir. Dokter mengatakan kalau aku akan langsung sembuh setelah minum obat .... Ini bukan salah Ibu. Kalau bukan Ibu yang membelikan es krim, aku nggak akan tahu kalau es krim ternyata enak sekali .... Ada juga biskuit, keripik, serta permen lolipop yang begitu lezat! Aku belum pernah memakan camilan sebanyak ini sebelumnya!"

Gerakan Vanesa yang hendak mendorong pintu berhenti sejenak.

Regan masih melanjutkan kata-katanya.

"Ibu Vanesa nggak akan marah. Dia hanya akan merasa kasihan padaku saat mengetahui aku sedang sakit. Sekarang dia sedang memasakkan bubur untukku di bawah! Ibu, Ibu sedang nggak sehat, jadi beberapa hari ini aku nggak akan pergi ke tempat Ibu. Aku takut Ibu akan tertular .... Ibu nggak perlu mengkhawatirkanku. Ibu Vanesa akan merawatku dengan baik!"

Vanesa berdiri di luar pintu, sementara tangannya yang memegang nampan tampak sedikit mengencang.

Hanna ternyata memberikan Regan begitu banyak makanan tidak sehat!

Yang lebih tidak Vanesa duga, hubungan Regan dan Hanna sudah sedekat ini dalam beberapa hari saja ....

Vanesa tahu dia tidak berhak merasa keberatan. Namun, saat melihat anak yang dibesarkannya dengan sepenuh hati berulang kali memanggil Hanna 'Ibu', hati Vanesa tidak bisa tidak merasa perih.

Darah memang lebih kental dari air. Tak peduli seberapa tulusnya Vanesa memperlakukan Regan, itu tetap tidak bisa mengalahkan ikatan darah.

Dari awal hingga akhir, Vanesa hanya orang luar.

Ketika Regan selesai berbicara dengan Hanna, dia baru mengingat Vanesa.

Dia berteriak dari dalam kamar, tetapi Vanesa tidak menjawab.

Akhirnya, Regan turun sendiri ke dapur untuk mencarinya.

Namun, tidak ada siapa pun di dapur.

Ketika Regan melangkah keluar dari dapur, dia melihat ada sepiring bubur di atas meja makan.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 603

    Ketika Vanesa kembali ke kamar rawat, Bella telah tertidur lagi.Argo melihatnya kembali dan segera berdiri. "Bu Vanesa."Vanesa menjawab dengan tenang, "Terima kasih, Argo.""Bu Vanesa nggak usah sungkan. Bella sangat imut. Merupakan suatu kehormatan bagiku dia bersedia memercayai dan dekat denganku," kata Argo sambil sedikit menundukkan kepalanya.Vanesa berkata, "Iya, meskipun Bella periang, kamu adalah pria asing pertama yang dia percayai dan bisa dekat dengannya padahal baru beberapa kali bertemu."Seberkas cahaya gembira pun terpancar dalam pandangan Argo yang terlihat di tepi topinya.Argo pikir telah menyembunyikannya dengan sangat baik, tetapi dia tidak tahu bahwa Vanesa telah melihat reaksinya dengan jelas.…Bella dirawat di rumah sakit selama lima hari dan Vanesa selalu menemaninya.Argo juga setia menemani mereka.Pada hari keenam, Bella pulih dan dipulangkan dari rumah sakit.Vanesa mengantar Bella kembali ke Bumantara. Dia memercayakan putrinya kepada Bibi Zaina dan Bibi

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 602

    "Paman Argo nggak berani, ya ...."Argo tersenyum. "Iya, Paman nggak sepemberani Bella.""Paman Argo sudah besar, tapi kalah dari anak kecil. Malu ah!"Argo langsung mengiakan tanpa keberatan, "Iya, Paman memang bikin malu. Bella tetap yang terbaik.""Iya! Ayahku juga bilang kalau aku adalah putri kecil terbaik!"Argo mengerutkan bibirnya.Setelah beberapa saat, dia berkata, "Kamu manis sekali, ayahmu pasti sangat menyayangimu.""Tentu saja!" kata Bella dengan bangga. "Ayahku sangat tinggi dan tampan! Jauh lebih tampan daripada ayahnya Karin. Tapi, ayahku terlalu sibuk. Dia nggak punya waktu untuk mengantarku ke TK. Anak-anak di TK bahkan nggak punya kesempatan untuk tahu kalau ayahku sangat tampan!"Masalah ini bisa dibilang adalah sebuah ganjalan dalam hati Bella.Ketika Bella teringat bahwa dia sudah lama tidak menghubungi ayahnya, dia pun merasa sedikit sedih."Paman Argo, aku sangat merindukan ayahku!"Sebersit rasa sakit muncul dalam pandangan Argo.Jakunnya sedikit bergerak dan

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 601

    Ketika Bella sadar, Vanesa sedang menjawab telepon.Vanesa berdiri di dekat jendela dengan punggung menghadap tempat tidur.Anak perempuan itu menatap ibunya dengan tenang. Dia tahu ibunya sibuk, tetapi dia sangat haus dan ingin minum air."Ibu ...."Vanesa menoleh ketika mendengar suara itu. Pintu kamar rawat didorong terbuka dan sesosok hitam bergegas masuk, lalu berjalan ke sisi tempat tidur putrinya."Bella mau apa?"Langkah Vanesa pun terhenti.Argo berpakaian hitam, dengan topi hitam dan topeng hitam yang hanya menutupi matanya. Secara logika, anak-anak seharusnya takut ketika melihatnya.Namun, entah mengapa Bella begitu percaya dengan Argo."Paman Argo, aku ingin minum air ...."Argo melembutkan nada bicaranya. "Oke, jangan bergerak. Biar kutuangkan air.""Terima kasih, Paman Argo ...." Suara Bella terdengar lembut. Tubuhnya tampak begitu kecil terbaring di ranjang rumah sakit sehingga orang-orang merasa tertekan hanya dengan melihatnya.Argo balas mengelus wajah Bella. Saat di

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 600

    "Gimanapun juga, aku yang merawat Bella dari awal. Aku paling paham kondisi tubuhnya. Aku tahu kamu takut merepotkanku, tapi anak sakit itu yang utama. Kamu nggak seharusnya punya pertimbangan lain," ujar Jerry.Vanesa terdiam sejenak mendengar itu.Jake berjalan ke jendela, lalu menempelkan tangan ke dahi Bella. "Sepertinya sudah agak turun panasnya," kata Jake."Ya, Bu Tia baru saja datang untuk memeriksa lagi. Katanya kondisinya cukup baik," ucap Vanesa.Jake mengangguk dan berkata, "Syukurlah."Jerry bertanya, "Pneumonia, ya?""Ya, pneumonia bronkitis," jawab Jake.Jerry berkata, "Biar aku periksa nadinya, nanti bisa kusiapkan sedikit obat herbal untuk ditempel di titik-titik akupuntur supaya cepat sembuhnya.""Kamu tiap hari sibuk, nggak perlu repot-repot begitu," ujar Vanesa."Aku nggak terlalu sibuk kok," kata Jerry. Dia menatap Vanesa, lalu bertanya, "Vanesa, apa kamu pikir aku akan menyakiti Bella?"Vanesa mengatupkan bibirnya, dan menatap Jerry cukup lama. Setelah beberapa sa

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 599

    Setelah disuntik, Bella pun tertidur pulas.Vanesa membaringkannya di ranjang, menarik selimut, lalu menaikkan pagar pembatas.Jake pulang untuk mengambil beberapa barang keperluan sehari-hari.Bella sepertinya harus dirawat di rumah sakit setidaknya empat sampai lima hari.Kini, di dalam kamar hanya tersisa Vanesa dan Bella.Sementara itu, Erry berjaga di luar pintu.Vanesa memandang wajah Bella yang tenang dalam tidur, kemudian mengusap lembut pipi mungilnya.Beberapa saat kemudian, dia berdiri dan berjalan ke arah pintu.Pintu terbuka dari dalam.Erry langsung menegakkan tubuh dan menatapnya refleks. "Bella sudah baik-baik saja?" tanya Erry dengan cepat.Vanesa berdiri di ambang pintu, menatapnya dalam-dalam.Tatapannya seolah tengah menilai sesuatu.Erry langsung waspada.Dia menundukkan kepalanya dan kembali ke sikap yang penuh hormat. "Maaf, Bu Vanesa. Aku nggak seharusnya langsung memanggil nama Nona Kecil," ucap Erry."Erry," panggil Vanesa."Ya, Bu," sahut Erry."Kamu kelihata

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 598

    Jake pergi mengurus administrasi rawat inap, sementara Alex menemani Vanesa dan Bella menuju ruang inap.Ruang itu ruang VIP. Alex memesan kepala perawat untuk menjaga Bella dengan baik selama beberapa hari ke depan.Bella sedang sakit, jadi emosinya kacau.Kondisinya masih demam tinggi, tetapi begitu mendengar akan disuntik, dia langsung menangis keras-keras dan menolak mati-matian."Aku nggak mau disuntik! Huhuhu …" tangis Bella."Kalau nggak disuntik, nanti nggak sembuh, Sayang," ucap Vanesa dengan lembut. "Kakak perawat ini hebat, jangan takut," lanjut Vanesa untuk membujuk Bella."Aku nggak mau!" teriak Bella. Kedua tangan mungilnya mencengkeram kuat baju Vanesa, dan terus menolak, "Aku nggak mau disuntik, suntik itu sakit!"Jake berkata, "Kalau begitu, gigit tangan Paman saja. Kalau kamu gigit tangan Paman, rasa sakitnya nanti akan pindah ke Paman.""Bohong!" teriak Bella sambil terisak-isak. Dia berkata, "Aku mau Ayah! Ibu, telepon Ayah dong! Aku mau Ayah temani aku!"Vanesa mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status