Share

Bab 8

Penulis: Yovana
Dari halaman terdengar suara mobil.

Steven sudah pulang.

Vanesa memegang alat tes kehamilan, lalu membuka pintu kamar mandi.

Di bawah, terdengar suara gembira Regan.

"Ayah!"

Vanesa turun menyusuri tangga satu per satu.

Regan berdiri di atas sofa dengan tangan terbuka ke arah Steven, lalu berkata, "Ayah, peluk aku!"

Steven membungkuk untuk mengangkat Regan.

Vanesa memperhatikan bahwa Steven sudah mengganti pakaiannya.

Saat mengingat kembali pada tiga panggilan telepon yang tidak dijawab tadi ....

Kebenaran yang kejam makin jelas di hadapan Vanesa.

Langkah Vanesa berhenti di anak tangga terakhir. Buku-buku jari di tangannya yang memegang alat tes kehamilan itu tampak memutih.

Regan memeluk leher Steven, melihat ke arah Vanesa, lalu berujar, "Ibu, Ayah ingin mengajakku bermain. Apakah Ibu ingin ikut dengan kami?"

Vanesa melirik Regan, lalu mengalihkan pandangan ke wajah Steven.

Hari ini, Steven tidak memakai kacamata. Matanya yang dalam itu tidak menunjukkan emosi sedikit pun.

Akhirnya, pria itu mengalihkan pandangan padanya, tampak dingin seperti biasa.

"Terima kasih atas kerja kerasmu selama beberapa hari ini. Aku akan berada di Kota Amarai beberapa waktu ini, jadi aku akan menjaga Regan."

Suara Steven terdengar rendah dan merdu. Hanya saja, setiap katanya mengandung jarak.

Jarak terhadap Vanesa.

Vanesa tersenyum simpul ketika mendengarnya, sementara matanya mulai menjadi panas.

Dia merasa ironis.

Ironis karena kegembiraan yang muncul di hatinya ketika melihat hasil tes di kamar mandi tadi.

Ketika Regan melihat Vanesa diam saja, hatinya merasa agak cemas.

Dia masih ingat bahwa Vanesa mengatakan ingin keluar mengurus sesuatu ketika mereka berada di kafe tadi. Alasan Regan bertanya seperti itu, sepenuhnya karena dia yakin bahwa Vanesa tidak akan setuju.

Namun, bagaimana kalau Vanesa setuju? Apa yang harus dia lakukan?

'Aku ingin pergi menemui Ibu dengan Ayah!' pikir Regan.

"Ibu?" Regan mencoba memanggil dengan ragu.

Vanesa mengalihkan pandangannya, langsung bertatapan dengan mata Regan yang tampak sedikit cemas.

Pikiran Vanesa kacau, tidak sempat menyelidiki emosi apa yang ada di mata Regan saat ini. Dia hanya berkata dengan acuh tak acuh, "Ibu nggak ikut. Kalian bersenang-senanglah."

Sebenarnya Vanesa tahu bahwa Steven kemungkinan besar akan membawa Regan menemui Hanna. Namun, dia tiba-tiba merasa tidak peduli lagi, tidak ingin mengurus hal ini lagi.

Regan menghela napas lega.

"Kalau begitu, Ibu sebaiknya beristirahat dengan baik di rumah." Regan melanjutkan sambil melihat ke arah Steven, "Ayah, ayo cepat kita pergi!"

Steven menanggapi dengan acuh tak acuh. Dia berbalik sambil menggendong Regan. Ketika melewati meja kopi, ujung matanya melirik surat cerai itu.

Hanya saja, kata 'cerai' di atas surat itu tertutup oleh mainan Regan.

Langkah Steven terhenti sejenak.

Vanesa terus memperhatikan Steven. Jadi, ketika pandangan pria itu jatuh pada surat cerai di atas meja, napas Vanesa seakan terhenti.

Meskipun tahu bahwa Steven akan mengajukan perceraian, Vanesa tidak pernah menyangka bahwa surat cerai ini akan diserahkan ke tangannya oleh kekasih Steven, ibu kandung Regan.

Sebelum hari ini, Vanesa mengira bahwa meskipun tidak ada cinta di antara mereka, setidaknya mereka adalah pasangan suami istri yang saling menghormati.

Vanesa tidak pernah menyangka, pernikahan yang dia jalani dengan penuh rasa syukur, serta tanpa penyesalan ini, akan berakhir ketika dia mengetahui … bahwa semuanya adalah tipu daya yang direncanakan Steven dengan cermat demi kekasihnya.

Demi melindungi kekasih hatinya, Steven rela mempertaruhkan pernikahannya sendiri. Dia membuat sebuah penjara bernama pernikahan untuk Vanesa, mengurungnya di penjara itu. Dia melihat Vanesa bertingkah seperti badut yang rela mengorbankan segalanya untuk anak yang dilahirkan kekasihnya.

Apakah dalam lima tahun ini Steven tidak pernah merasa bersalah sedikit pun?

Vanesa mengingat kembali adegan ketika Hanna memberikan surat cerai padanya. Hatinya marah dan sakit.

Pada saat ini, Steven sedang menunduk menatap surat cerai itu.

Pria itu mengerutkan kening sedikit, bersiap mengulurkan tangan untuk mengambilnya.

Vanesa akhirnya tidak bisa menahannya lagi, langsung melangkah mendekati Steven.

Alat tes kehamilan di tangannya hampir pecah karena cengkeramannya.

Emosi yang tertahan selama ini sudah mencapai puncaknya di saat ini.

"Steven ...."

"Ayah, ayo cepat kita pergi!"

Suara Regan yang mendesak memotong kata-kata Vanesa, juga menghilangkan niat Steven untuk menyelidiki lebih lanjut.

Steven tersenyum simpul, lalu membalas, "Baiklah, kita akan pergi sekarang."

Setelah berkata demikian, dia langsung pergi sambil menggendong Regan.

Dari awal sampai akhir, Steven bahkan tidak melirik Vanesa sekali pun.

Sampai akhirnya suara mobil di luar makin menjauh.

Tubuh Vanesa yang kaku seakan kehilangan tenaga. Dia berpegangan pada sandaran sofa, lalu berjongkok perlahan.

Dia menundukkan kepala. Dalam penglihatannya, dua garis merah yang jelas itu menjadi makin kabur.

Air mata yang panas menetes, jatuh di atas dua garis merah itu.

Seandainya Steven melirik Vanesa sekali saja, dia akan menemukan alat tes kehamilan yang dipegangnya.

Sayangnya, pandangan dan hati Steven sama. Sejak awal sampai akhir, tidak akan pernah berhenti padanya.

Vanesa berjongkok di lantai, air mata membasahi wajahnya. Manor Resta yang besar ini terasa kosong, hanya suara tangisan tertahan Vanesa yang bergema lama.

Setengah jam kemudian, Vanesa mengirimkan foto melalui WhatsApp pada temannya.

Sahabat Vanesa: [Akurasi alat tes kehamilan ini tinggi. Besok kamu bisa datang dengan perut kosong untuk pemeriksaan.]

Vanesa: [Aku ingin langsung membuat janji untuk melakukan aborsi.]

Sahabat Vanesa terkejut membaca pesan ini.

Detik berikutnya, temannya itu langsung menelepon.

Saat ini, emosi Vanesa sudah kembali tenang. Dia sedang mengemasi barang-barangnya.

Ketika melihat nama Stella di layar telepon, Vanesa meletakkan pakaian yang sedang dilipatnya, lalu mengambil ponsel untuk menjawabnya.

"Apa Steven tahu?" Suara Stella Anston yang berada di seberang telepon terdengar serius. Dia melanjutkan, "Kamu harus memikirkan semua ini dengan baik. Ini adalah anak pertamamu."

"Dia nggak tahu." Suara Vanesa terdengar sangat pelan. "Kami akan bercerai. Dia sudah punya Regan, jadi dia nggak akan peduli dengan kehidupan yang datang secara nggak sengaja ini."

Setelah mendengar ini, Stella yang ada di seberang juga terdiam sejenak.

Stella memahami tentang kondisi pernikahan Vanesa dan Steven.

"Meskipun dulu aku nggak begitu optimis dengan dirimu dan Steven, lima tahun ini aku sudah melihatmu menjalin hubungan yang cukup harmonis dengan pasangan ayah dan anak itu. Aku bahkan sempat mengira kalian akan hidup seperti ini selamanya. Siapa sangka .... Haih! Apa kamu tahu perasaan ini? Rasanya seperti aku sudah mengikuti serial drama dengan serius, tapi tiba-tiba berakhir dengan buruk!" ujar Stella.

Vanesa mengedipkan matanya yang perih.

Vanesa tidak bisa menceritakan segala macam hal pada Stella secara mendetail. Jika ingin menyalahkan, Vanesa hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri yang tidak bisa mengendalikan hatinya, sudah mencintai orang yang salah.

"Besok aku akan datang ke tempatmu." Suara Vanesa terdengar tegas.

Stella menghela napas sedih beberapa kali, lalu berkata, "Aku nggak bisa langsung melakukannya besok. Aku harus melakukan pemeriksaan dulu. Kita akan bicarakan nanti saat kamu datang."

"Ya."

Setelah menutup telepon, Vanesa meletakkan ponselnya, lalu melanjutkan berkemas.

Meskipun Steven memberikan Mansion Resta ini untuknya, Vanesa tidak berniat untuk terus tinggal di sini.

Dia tahu bahwa Steven pasti juga tidak akan peduli dengan rumah ini. Jadi, Vanesa berencana menjual rumah ini setelah mereka bercerai nanti.

Bagaimanapun juga, ini adalah rumah yang sudah dia tinggali selama lima tahun. Ada banyak barang-barang keperluan sehari-hari di sini.

Vanesa hanya mengemas beberapa pakaian dan tas sehari-hari untuk dibawa. Sisanya, terserah pada Steven untuk mengurusnya. Jika Steven malas mengurusnya, nanti Vanesa akan sekalian membersihkannya saat menjual rumah ini.

Setelah selesai berkemas, Vanesa menandatangani surat cerai, lalu meletakkan surat cerai itu di meja kopi yang paling mencolok.

Saat melangkah keluar dari Mansion Resta, Vanesa menarik dua koper. Dia menutup pintu, langsung pergi tanpa menoleh lagi.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 50

    Vanesa mengerjapkan matanya. "Kamu tahu nggak kenapa aku mengetuk pintu waktu datang hari ini?"Steven tetap diam.Vanesa berkata, "Karena dalam hatiku, sejak aku menandatangani surat cerai dan pindah, Mansion Resta bukan lagi rumahku. Sudah sewajarnya mengetuk pintu saat bertamu ke rumah orang lain. Itu 'kan etika dasar."Steven mengernyit. "Regan pasti sedih kalau mendengarmu bilang begitu."Vanesa tersenyum, embusan angin menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca dengan sangat baik."Steven, kamu benar-benar pantas menjadi pengacara hebat yang ditakuti dan dikagumi semua orang. Kamu benar-benar tahu cara memanipulasi hati orang."Ekspresi Steven tetap terlihat datar, dia juga tidak membantah.Menurut Vanesa, Steven terlalu malas untuk menjelaskan.Vanesa yang dulu pasti akan merasa putus asa dan terluka.Namun, sekarang dia tidak akan merasa seperti itu lagi.Meskipun begitu, ada beberapa hal yang lebih baik dia perjelas sekarang juga."Apa menurutmu perilakuku pada Regan hari ini ag

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 49

    Wiper mobil Stella bergerak dengan gila-gilaan menghadapi hujan badai yang lebat. Stella mengemudi dengan sangat lambat.Pemanas di dalam mobil bekerja dengan sekuat tenaga dan alunan musik pelan diputar.Vanesa bersandar di kursi dengan mata terpejam, seluruh tubuhnya terlihat tenang dan damai.Stella sesekali meliriknya.Meskipun dia tidak tahu apa yang terjadi di Mansion Resta, kali ini dia bisa merasakan bahwa batin Vanesa terluka parah.Tin, tin ….Tiba-tiba, bunyi klakson mobil terdengar dari belakang.Stella melirik ke kaca spion.Sebuah mobil Maybach hitam mengejar mobil mereka ...."Apa mobil di belakang itu Steven?"Vanesa perlahan membuka matanya, lalu melirik ke kaca spion dan sedikit mengernyit. "Iya.""Dia mau menyalip!" Stella mempercepat laju mobilnya. "Eh tunggu, kok dia malah mengejar!""Abaikan saja dia.""Tentu saja nggak bisa!"Stella mengerahkan seluruh tenaganya untuk mempercepat laju mobilnya. "Pegangan yang erat! Aku akan mengebut!"Akan tetapi, 60 km/jam adala

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 48

    Vanesa merasa mati rasa mendengarkan kata-kata tajam Regan.Begini juga tidak apa-apa. Dia memang bukan ibu kandung Regan. Begini juga … yang paling baik.Dengan begini, Vanesa benar-benar menarik diri dari kehidupan Steven dan Regan. Dia mengembalikan semuanya pada jalurnya!Vanesa menarik kembali pandangannya, lalu berbalik badan dan berjalan lurus keluar pintu."Vanesa ....""Uhuk! Uhuk, uhuk …."Ekspresi Steven langsung berubah. "Regan?"Regan memegangi dadanya dan terjatuh ke atas lantai dengan napas yang tersengal-sengal!"Regan!" Steven segera menggendong Regan, lalu menoleh dan berseru kepada Vanesa, "Asma Regan kambuh!"Vanesa yang hendak membuka pintu itu sontak berhenti bergerak."Ibu …. Uhuk, uhuk! Ibu …."Regan yang berada di dalam gendongan Steven tampak pucat, napasnya juga terengah-engah. Dia refleks mengulurkan tangan untuk meminta bantuan Vanesa. "Ibu, rasanya nggak enak …. Uhuk, uhuk ...."Vanesa mencengkeram gagang pintu dengan semakin kuat.Dia memejamkan matanya r

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 47

    "Aku benci padamu!"Regan melempar buku bacaan pengantar tidur ke atas lantai dan menginjak-injaknya. "Dasar tukang bohong! Kalau kamu nggak menginginkanku, aku juga nggak menginginkanmu! Aku nggak menginginkan semua ini lagi!""Regan!"Steven mencengkeram lengan Regan, wajahnya yang tampan terlihat serius. "Kalau kamu terus asal bicara, nanti Ayah pukul!"Regan meronta mati-matian, tetapi kekuatannya jauh lebih lemah dibandingkan ayahnya.Saking marahnya, Regan sampai tidak menyadari sorot tatapan marah ayahnya. Bagi Regan, dia hanya ingin melampiaskan semua amarah dan kekesalan dalam hatinya …."Aku benci sekali padanya!" Regan mengangkat dagunya dan menatap Steven dengan mata yang berkaca-kaca, sorot tatapannya terlihat keras kepala dan enggan. "Ayah sendiri yang bilang kalau dia bukan ibu kandungku! Kenapa aku harus suka padanya kalau dia bukan ibu kandungku? Aku benci! Aku benci padanya karena dia sudah berbohong padaku!"Steven sontak tertegun.Ucapan Regan yang mengatakan bahwa

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 46

    "Regan, ada yang mau Ibu jelaskan padamu."Regan sontak terdiam. Meski dia masih anak-anak, entah kenapa dia tiba-tiba merasa gelisah.Firasat Steven juga menjadi tidak enak. Dia meletakkan mangkuk dan alat makannya, lalu menatap Vanesa dengan serius."Ibu mau menjelaskan apa?" tanya Regan sambil mengerjap-ngerjapkan matanya dengan polos."Regan, Ayah dan Ibu sudah bercerai."Vanesa menatap Regan dan berkata dengan serius, "Ayah dan Ibu sudah bukan keluarga lagi, jadi ini bukan rumah Ibu lagi. Mulai hari ini, Ibu juga nggak akan pernah ke sini lagi.""Vanesa." Steven menatap Vanesa dengan marah. "Jangan lupa janjimu padaku.""Aku menyesal," jawab Vanesa sambil menatap Steven. "Tenang saja, aku pasti akan mengembalikan 200 miliar itu padamu."Steven sontak tertegun. Dia mengernyit dengan ekspresi yang terlihat muram, seolah-olah menganggap ucapan Vanesa itu tidak masuk akal."Vanesa, kamu pikir aku peduli soal 200 miliar itu?""Aku nggak peduli apa yang kamu pikirkan."Vanesa menatap Re

  • Cinta Kita Sudah Sampai Ujung   Bab 45

    Vanesa mengalihkan pandangannya terlebih dulu. Dia menatap wanita penjual itu sambil berkata, "Kamu salah paham, dia bukan suamiku.""Eh?" Wanita penjual itu sontak tertegun. Setelah sekian tahun menjadi seorang penjual yang profesional, baru kali ini dia gagal. Lama sekali dia tertegun hingga akhirnya berkata, "Oh, begitu, ya ...."Vanesa tidak terlalu ambil pusing. Dia mengambil sekotak iga yang berkualitas tinggi dari rak makanan segar, lalu berbalik badan dan berjalan menuju area buah dan sayur.Steven hanya menatap sosok Vanesa dengan dingin.…Saat mereka kembali ke Mansion Resta, waktu sudah menunjukkan pukul 12:00.Vanesa langsung pergi ke dapur untuk memasak.Regan sedang bermain-main dengan mainan barunya di ruang tamu.Tepat saat Vanesa mengenakan celemeknya, pintu kaca dapur terbuka.Vanesa refleks menoleh dan melihat Steven berjalan masuk."Kenapa?"Steven melirik bahan-bahan di meja dapur dan bertanya dengan tenang, "Butuh bantuan?""Nggak usah." Vanesa kembali menoleh da

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status