"Bilang aja saya kakak kamu.” Ucap Daniel memecah keheningan, dalam mobil mewah berwarna hitam miliknya.
Hari ini Daniel memaksaku untuk ikut dengannya berangkat ke kampus. Dan ini kali pertama aku menaiki mobil mewah. “Bilang sama siapa, Bos?” Tanyaku heran. Hidungku mengendus perlahan, mencium wangi parfum mobil beraroma kopi yang menyegarkan. “Sama Abang kamu!” Aku melirik Daniel. Laki-laki keturunan Surabaya Turki yang mempunyai tampang manis dengan sedikit jambang dan hidung mancung. Kulitnya putih bersih dan sedikit berotot. Daniel sangat suka olahraga, dia terlihat energik. Aku selalu terpesona melihatnya. “Oh...” Jawabku singkat. Daniel melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan Surabaya yang padat. Aku memperhatikan trotoar jalanan yang dipenuhi dengan para pedagang kaki lima dengan berbagai masakan khas Jawa Timur di pagi hari. “Kamu kenapa nggak mau berangkat bareng Salman?” Daniel belum puas membahas Salman. “Nggak apa-apa, Bos.” Timpalku. Sebenarnya, selain aku malas meladeni Salman, aku juga merasa malu menaiki mobil mewah. Jika Daniel tidak memaksa, aku pun tidak mau ikut dengannya kali ini. Aku malu dengan penampilanku yang kucel. Bedak tipis tanpa lipstick, rambut terurai natural tanpa sentuhan salon, membuatku merasa tidak pantas menaiki mobil dan duduk di sampingnya. “Udah sampe.” Daniel melihat ke arahku. Mata kami bertemu. Jantungku seketika berdebar kencang. Aku menunduk malu. “Makasih, Bos.” Ucapku dg senyuman. “Sama-sama.” Jawab Daniel sembari membalas senyumku. Aku membuka pintu mobil, lalu turun dan menutupnya kembali. “Sofi.” Daniel membuka kaca mobilnya dan memanggilku. “Iya, Bos.” Aku menoleh. “Tuh, ada yang nungguin.” Dia menunjuk dengan matanya ke arah seorang laki-laki yang ternyata itu adalah Salman. “Apaan sih, Bos?!” Aku memonyongkan bibirku. “Inget, bilang aja saya kakak kamu, biar dia nggak cemburu.” Aku memelototinya. Daniel langsung menutup kaca dan melajukan mobilnya dengan cepat. “Iiiiiih.. Bos bunglon. Bentar-bentar baik, bentar-bentar jahat.” Aku menggerutu kesal. Aku berjalan menyusuri jalanan kampus menuju kantin. Aku tidak memperdulikan Salman yang sedang memperhatikanku. Aku pura-pura tidak sadar dengan keberadaannya. *** “Sofi, I miss you!” Rena datang memelukku yang sedang duduk di kantin. Sudah beberapa hari Rena izin tidak masuk kuliah karena sakit. “Miss you too.” Aku mencubit pipi Rena. “Aww... Sakit tahu!” Rena menjerit. Aku menertawainya. “Kangen tapi nggak kerumah. Sahabat macam apa kamu, ha?! Aku sakit, nggak dijenguk." Rena cemberut. “Seandainya hidup aku enak kayak kamu. Gak harus mikirin gimana caranya dapet duit. Mungkin aku bakal dateng ke rumah kamu tiap hari." "Hemm.. Masa?" Rena menyenggolku. "Aku kan gak punya siapa-siapa disini, Ren. Sahabat juga cuma satu, kamu.” Jelasku. “Oke deh. Udah jangan sedih-sedih! Yang penting kamu sekarang udah nggak bingung buat dapet uang sekaligus masih bisa kuliah.” Aku memeluk Rena. “Aku nggak tahu kapan aku bisa hidup enak kayak kamu.” Ucapku dengan tetasan air mata yang segera kuseka karena malu. “Sofi, percaya deh! semua akan indah pada waktunya.” Rena melepaskan pelukanku. Dia menepuk punggungku untuk menguatkan. “Kamu mungkin ngeliat hidupku enak, aku gak perlu kerja buat kuliah. Bisa beli semua yang aku butuhin. Tapi, jauh di dalam lubuk hatiku. Aku sakit." Aku tahu, Rena juga tidak mudah menjalani kehidupannya. Kedua orang tuanya masih lengkap, tapi dia selalu merasa kesepian. Kalaupun orang tuanya ada di rumah, mereka selalu membuat keributan. Rumahnya ramai dengan teriakan dari keduanya. Aku pernah diajak bermalam di rumah Rena. Aku menyaksikan bagaimana orang tua Rena berkelahi dengan hebat tanpa memikirkan perasaannya. Rena menangis semalaman setelah mendengar keributan orang tuanya yang tak pernah usai. Karenanya, Rena lebih suka kedua orang tuanya tidak pulang ke rumah. Harapan terburuk Rena adalah berharap keduanya bisa bercerai dengan baik dari pada mempertahankan pernikahan yang sakit. Sayangnya, orang tua Rena lebih memilih bertahan untuk menjaga nama baiknya. “Nggak apa-apa Ren. Setiap orang punya jalan ujiannya masing-masing. Aku tahu, kamu wanita kuat.” “Kamu juga. Sayangnya, kamu nggak mau jadi maid dirumahku.” Rena melipat tangannya dengan wajah cemberut. “Aku nggak bisa, Ren. Kamu terlalu baik. Aku pasti ngerepotin kamu terus kalo aku jadi maid kamu.” Rena memang pernah menawariku untuk menjadi maid dirumahnya. Tapi aku segan, Rena terlalu baik. Dia sering membantuku dalam banyak hal. Rena sudah lebih dari seorang teman untukku. Bahkan dia sering mendahulukan aku dari pada dirinya sendiri. Aku tidak mau lebih merepotkan, meskipun dia tidak pernah keberatan setiap kali aku meminta bantuannya. “Kan, best friend.” Ucap Rena tulus. Kami tertawa. “Mau dong jadi best friend.” Salman nyeletuk sambil menyodorkan dua orange jus kesukaanku. Aku dan Rena salaing pandang. “Nggak usah, Bang. Makasih.” Aku menolaknya halus. “Nggak papa kali, Sof.” Rena mengambilnya dan memberikannya satu padaku. Aku memeloti Rena, tapi dia memaksaku untuk menerimanya. “Makasih, Bang.” Aku terpaksa menerimanya karena Rena. “So, aku best friend kalian nih, sekarang.” Aku melihat Rena. Rena asik menyeruput minumannya. “Kita udah temen kok, Bang. Nggak usah ada embel-embel best friend segala.” “Enggak, enggak, Sofi. Dia sekarang best friend kita.” Rena mulai membuatku kesal. Kenapa dia selalu memutuskan seenaknya sendiri. “Terserah, lah! Aku mau masuk kelas.” Aku berdiri dan berjalan kekelas. “Sofi.” Salman mengejarku di belakang. “Maaf deh.. Oke, kita temenan biasa aja. Aku nggak perlu jadi best friend kamu, kok. Yang penting kamu nggak ngejauhin aku.” Aku terus berjalan mengacuhkan Salman. “Sofi.” Salman menarik tanganku. Aku melempar tangan Salman kesal. “Hei! Nggak usah pegang-pegang!” Aku membentaknya. “Sorry, Sorry. Aku cuma mau kamu nerima aku sebagai teman kamu. Nggak lebih, kok. Tapi kalau kamu mau, kita boleh pacaran.” “Boleh.” Sahut Rena dari belakang Salman. “Okey, sorry. Man, kita temenan aja, yah. Best friend aku cukup Rena aja. Kita belum buka lowongan lagi." "Maaf, yah..” Rena meraih tanganku. “Maaf.” Aku masih merengut melihat Rena. “Jangan marah, dong. Aku bercanda.” “Iya, Sof. Aku juga minta maaf. Jangan sampe persahabatan kalian putus gara-gara aku.” Salman pergi meninggalkan kami.“So beautiful, anak Mamah.” Aku memeluk Mamah Daniel. Aku mencoba menahan air mata yang ingin jatuh. Memeluk mamah Daniel serasa memeluk Ibuku. Aku merasa sedikit damai dalam pelukannya. “Makasih, Mah. Makasih juga udah mau dateng.” Dia melepas pelukanya dan tersenyum sambil menatap mataku. Mata Mamah Daniel berbinar. Terpancar kebahagiaan disana. Ada perasaan kecewa dalam hatiku atas kebahagiaannya. Kecewa, karena Ia bahagia atas pernikahanku yang bukan dengan anaknya. “Mamah pasti dateng sayang. Kan, yang nikah anak Mamah.” Jawab Mamah Daniel teduh. 'Iya. Mamah Daniel bahagia, karena dia menganggapku anaknya. Ah, aku terlalu berlebihan karena kecewa.' “Mas Di nggak dateng?” Dia Kembali melempar senyumnya. “Dateng, dong.. kalau nggak dateng, gimana kamu nikahnya?” Balasnya. Aku mengernyitkan dahiku. Aku memang berharap Daniel bisa datang, tapi kalaupun dia tidak datang, itu tidak akan berpengaruh apa-apa pada pernikahanku. Aku mengangguk, meskipun aku tidak meng
Untuk Mas Daniel, Daniel, Satu nama yang terpateri dalam hati ini. Terima kasih karena sempat menjadi warna dalam hidupku. Sampai saat ini, aku masih mencintaimu. Sangat. Meski raga ini sudah tak mampu lagi berlari mengejarmu, tapi hati ini senantiasa merindumu. Semua memang sudah terlambat. Aku tidak bisa melawan takdirku.Tapi tak salah bukan, kalau aku berharap, suatu saat takdir berpihak padaku. Aku masih mengaharapkanmu, mas. Meski secuil saja harap adalah sesuatu yang mustahil. Tapi, bukankah berawal dari kemustahilan mencintai dengan derajat yang berbeda sudah kita lewati? Sekarang, aku hampir menjadi isteri orang, dan kamu masih sendiri. Apakah ini juga akan menjadi mustahil? Ah, entahlah! Kamu terlalu dalam untuk aku keluarkan dari lubuk hatiku. Kamu terlalu berkuasa dalam otakku hingga aku tak mampu melupakanmu. Kalau boleh aku bilang ‘aku benci takdirku’. Tapi itu tidak boleh, kan? Karenanya, aku tidak membencinya. Apapun dan siapapun. Selamat tingg
"I love you, Mas." Aku terisak dibahu Daniel. Bahu yang selalu kuharapkan dapat menopang kepalaku saat aku sedih."Love you too, sayang." Jawab Daniel. Malam ini kami sedang duduk bersama diteras rumah Daniel. Aku ingin menghabiskan malamku bersama Daniel.Orang tua Daniel sedang keluar untuk menemui koleganya.Besok, aku harus kembali menjadi Sofi tunangan Salman. Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan pernikahanku atas permintaan Daniel.Daniel memberikan alasan yang masuk akal untuk tidak merebutku dari tangan Salman. Daniel bukan tipikle laki-laki curang dan licik.Dan aku harus bertanggung jawab atas semua keputusan yang kuambil. Sebenarnya, bisa saja waktu itu aku menggagalkan pertunanganku.Tapi aku memilih meresmikan pertunanganku dengan Salman."Mas, udah beberapa hari lagi aku akan nikah sama Salman. Aku akan jadi milik dia Mas." Daniel menatapku. Hatiku sakit melihat mata Daniel yang juga meneteskan air mata."Apapun yg terjadi esok, aku harap kamu akan selalu bahagia sayan
“Ada apa Di?” Samar-amar aku mendengar suara Mamah Daniel.“Sofi sakit, Mah.” Jawab Daniel sambil menggendongku dan berjalan terburu-buru. Daniel membawaku kekamarnya. Kamar Dimana aku meninggalkan Daniel saat dia terbaring lemah.“Kamu nggak apa-apa, sayang?” Tanya Mamah Daniel. wajah yang seiras dengan Daniel inipun sama-sama mengkhawatirkanku. Aku melihat ketulusan mereka menyayangiku.“Nggak apa-apa, Mah. Mamah nggak usah khawatir, yah..” Jawabku menenangkan Mamah Daniel.Aku melihat Daniel yang sedari tadi tidak tenang.“Ini buburnya, Pak.” Maid Daniel mengantarkan mangkuk berisi bubur pada Daniel.“Makasih, Bi.” Daniel meraih mangkuk itu dan menghampiriku. “Makan dulu ya, sayang.” Ucap Daniel. Aku melirik Mamah Daniel. Aku malu Daniel memanggilku sayang didepan Mamahnya. Aku mengangguk dan membuka mulutku saat Daniel menyuapiku. Entah kenapa aku bisa jatuh ketangan Salman, padahal begitu lebarnya jalan untukku masuk kekeluarga Daniel.Aku sangat yakin, ini bukan takdir. Mela
Seusai meeting, semua staff keluar dari ruang meeting. Aku tidak benar-benar fokus pada meeting hari ini."Rena nggak masuk lagi, Mas?" Tanyaku pada Daniel. Aku tidak melihat Rena sedari pagi. "Begitulah." Jawab Daniel yang masih sibuk memeriksa kertas-kertas laporan hasil meeting. Aku masih duduk terpaku melihat Daniel sambil berfikir keras bagaimana cara menggagalkan penikahanku tanpa menyakiti dan membuat malu pihak manapun. Selain itu juga, aku teringat bagaimana kemarahan Ayah Salman dan ancamannya terhadapku semalam. Aku takut. Tanganku mulai gematar lagi.Dari semalam aku belum makan. Aku letih memikirkan semuanya.“Sofi.” Daniel menoleh kearahku lalu memanggilku. Aku mencoba menahan semua rasa sakit. “Heii.. kamu kenapa, sayang?” Daniel menghampiriku.Terlihat wajah Daniel nampak khawatir melihat kondisiku. Aku tidak bisa menyembunyikan kondisiku yang lemah. Tapi aku masih berusaha kuat. “Kita pulang, ya.” "Aku nggak apa-apa, Mas. Aku cuma terlalu panik menghadapi semuany
Daniel menghampiriku dan memberikan kotak kecil yang ia ambil dimeja kerjanya. “Buka.” Pinta Daniel. Aku mengambil kotak tersebut dan membukanya. Ada cincin cantik dengan permata hitam diatasnya. Warna favorite kami. “Apa ini?” Tanyaku masih bingung. “Cincin. Cincin ini aku beli buat aku kasih kekamu untuk menyatakan perasaanku sama kamu. Waktu itu, Rena masuk keruangan ini dan dia liat cincin ini. Aku bilang, kalau aku mau melamar kamu. Tapi dia nggak ngizinin aku dengan alasan, kalau kamu nggak suka sama aku. Dia bilang, kamu cinta sama Salman. Dan hampir bertunangan sama dia.” Mataku terbelalak mendengar penjelasan Daniel. sebelumnya, aku sudah bisa menebak, bahwa Rena adalah dalangnya. Tapi aku tidak menyangka, sejauh ini dia menipu kami. “Oke, satu lagi yang masih jadi teka teki dan sampai sekarang Mas belum ngasih tahu aku. Mas inget kan, waktu aku masih kerja dirumah Mas sebagai maid? Waktu itu Mas pergi ke Turki. Dan sepulang Mas dari Turki, Mas marah dan nuduh