Aku berdiri resah didepan pintu ruang BK. Hanya mondar-mandir gak karuan menunggui nia yang masih di konseling oleh bu eni. Tanganku juga gemetar, khawatir anak itu bakal terus ngelawan saat di konseling bu eni di dalam. Aku tahu, sangat tahu sifat nia. Ia gak akan diam jika tertindas.
"Sini dinda, duduk dulu" Zendra menepuk tempat duduk kosong disebelahnya. Aku bahkan hampir gak menyadari ada orang lain selain aku didepan ruang BK tersebut. Tak lama pintu ruang BK terbuka dan nia muncul setelahnya. "Nia, gimana?" Tanyaku cemas, menahan tangan nia yang keluar lesu setelah konseling. Disusul ita, dibelakangnya yang ikut berhenti melangkah setelah melihatku sedang menatapnya penuh emosi. Aku menarik nafas panjang. Sekarang bukan saatnya untuk marah. Apalagi bu eni, masih ada didalam ruang BK. Nia menoleh, menatap ita dengan tatapan masih kesal. Sepertinya mereka belum berbaikan meski sudah di konseling cukup lama. "Gak apa nda, ayo pulang" nia menarik lenganku cepat, menghindari beradu tatap dengan ita. "Nia tunggu!" Panggil zendra, menyusul kami. Lelaki ini, terus mengintil. Disana, begitu tiba ditempat parkir. Nia langsung menumpahkan emosinya, ia memukul jok motor milik zendra sekuat tenaga. "Dasar perek sialan!" Nia mendengus kesal. "Atuh nia, motor zendra mah gak bersalah!" Zendra mengusap jok motornya yang baru saja dipukul nia "kasian" gumamnya pelan sambil merebahkan kepalanya di atas jok, sementara kedua tangannya membelai bagian motor lainnya. Dasar konyol! "Sabar nia" Ucapku menenangkannya, meskipun aku juga sebenarnya masih sangat kesal pada ita. "Itu anak mendingan gue habisin diluar aja kali ya!" Kata nia. "Jangan atuh nia, nanti nia dipenjara gimana?" Sahut zendra. "Tadi gimana hasil konseling didalam na?" Tanyaku memastikan. "Ya gitu, si ita minta maaf, tapi gue tetep kesel aja sama dia. Gara-gara dia, gue jadi harus berurusan sama bu eni. Mana bu eni ngeselin banget. Udah jelas-jelas si perek itu yang salah tapi malah gue yang disemprot habis-habisan" Kata nia mencak-mencak. "Tapi gak diperpanjangkan sama bu eni? Loe gak diskors kan sama beliau?" Tanyaku lagi, khawatir pada nia. "Nggak... masalahnya udah ditutup!" kata nia sedikit tenang, emosinya mulai teralihkan. "Ayo pulang nda!" Ajaknya yang sudah bersiap menstaterkan motornya. Aku mengangguk menerima ajakan nia. "Terus zen pulang sama siapa kalau nia sama dinda?" Tanya zendra, ia juga sudah duduk di motornya sekarang, sambil melongo menatap aku dan nia. "Sama setan!" Jawab nia sembarangan. Aku terkekeh pelan, mendengar jawaban nia. "Ih yang bener aja nia, masa zendra yang ganteng ini suruh pulang sama setan. Setan kan jelek, sama jeleknya kaya nia!" Ledek zendra, sambil bersiap melarikan diri. "Zendraaaa!!!" Pekikikan nia langsung membuat motor zendra ngibrit sekencang-kencangnya. "Awas loe ya!" Teriak nia lagi. *** "Dinda baru pulang?" Tanya tante dewi yang terduduk tenang di sofa ruang tamu rumah nenek. Waktu menunjukkan pukul 15.40 WIB. Aku memang telat pulang hari ini karena menunggu nia. Setelah kebaikan yang dilakukannya padaku, gak mungkin juga aku meninggalkan nia begitu saja. Tanpa nia, bisa saja aku membawa pulang surat panggilan orang tua sekarang. "Memang selalu sore banget ya pulangnya?" Tanyanya lagi sebelum aku sempat menjawab. Setidaknya, biarkan aku ganti seragamku dulu lah tante! "Nggak kok tante, tadi dinda nunggu nia dulu soalnya kelas nia keluarnya lebih lama!" Jawabku bohong. "Benar begitu?" Tante dewi menatap curiga. Dengan tenang, ia menyeruput kopi. Lalu, "Bukan karna habis nemuin guru diruang BK karna sudah buat onar?" Aku menelan ludah, Dari mana dia tahu masalah yang terjadi hari ini, jangan-jangan ita mengadu lagi... "Ehm.. itu.." dengan gugupnya aku berusaha mencari alasan lagi. Tante dewi beranjak, lalu mencengkram kedua bahuku "Ingat dinda, kamu disini tinggal sama kakek dan nenek. Kami membiayai sekolahmu bukan untuk jadi preman! Jadi, jangan buat onar." "Iya tante" jawabku pelan. "Ya sudah, sana ganti seragammu!" Aku mengangguk, kemudian pamit untuk masuk ke dalam kamar. Menutup pintu, dan menarik nafas dalam-dalam. Aku gak kuasa membantah jika tante dewi sudah membahas soal biaya sekolah. Aku tahu diri, tapi selama ini aku juga gak cuma jadi benalu. Aku mengerjakan pekerjaan rumah sebagai balasanku karna mereka sudah membayar biaya sekolahku, bukankah itu cukup? Katanya, aku keluarga mereka kan, lagipula selama ini aku gak pernah diberi uang saku sampai aku harus berjualan disekolah agar bisa tetap jajan seperti teman-teman lain. Untung saja, tetangga nia mau memberiku barang jualan tanpa aku harus mengeluarkan modal terlebih dulu. "Dinda, tante dewi pulang ya!" Suara tante dewi terdengar dari ruang tamu. Meskipun pelan, sangat jelas terdengar olehku. Aku sudah terbiasa memasang telingaku untuk siaga bagi keluarga ini, mungkin juga telingaku sudah terbiasa lebih sensitif karna sering mendengar gunjingan mereka atas diriku. "Dinda keluar dulu, tante dewi mau pulang nih!" Suara nenek menimpali. Aku bergegas keluar kamar, "iya tante hati-hati ya" kataku seraya mencium tangan tante dewi. "Kalau ada tantemu tuh jangan didalam kamar terus!" Kata nenek yang berdiri disampingku, sedangkan tangannya melambai pada mobil merah yang mulai menjauh. "Dinda lagi ganti baju tadi, nek!" Nenek mengabaikanku, lalu masuk ke dalam rumah begitu saja. Entah harus bagaimana aku bersikap dirumah ini, sikap baikku, sepertinya sudah aku maksimalkan, tapi tetap saja semua gak berarti. Sebenarnya, aku bagian dari keluarga ini atau bukan? Atau aku anak pungut yang dirahasiakan sampai-sampai gak ada yang sayang padaku dikeluarga ini? Aku mendongakkan kepalaku, menahan air mata yang siap.meluncur dipipi. Nggak dinda! Kamu gak boleh nangis! Kamu harus kuat! Aku menghela nafas pendek berkali-kali, menguatkan diri sendiri, Lagi... "Habis dimarahin ya?" Gin sudah berdiri dihadapanku, meledek. Aku mengeryit, "jangan-jangan kamu yang ngadu?" Gin terkekeh, "Aku cuma jawab apa adanya waktu tante dewi nanyain kamu, kebetulan kakak temanku tadi bilang katanya kamu habis ribut disekolah. Gak salah dong aku?" "Gin, kamu keterlaluan!" Umpatku kesal. "Ingat dinda, aku pernah menawarkan sesuatu, kamu masih bisa mempertimbangkannya!" Gin tersenyum licik. Aku mengingat ucapannya beberapa bulan lalu, tentang dia yang menginginkan aku jadi kekasihnya. Gin terobsesi padaku, sepupunya sendiri. Aku bergidik geli. "Gak akan pernah aku mau terima tawaran gilamu!" "Kenapa? Toh wajahku gak kalah tampan dari mantanmu yang kemarin itu" Gin terus menguji kesabaranku. Gin ternyata banyak tahu tentang sebagian hidupku. Dia pasti sudah pasang mata-mata agar dapat banyak informasi supaya lebih mudah mengancamku. Tentang orang yang terobsesi, melakukan hal seperti ini sudah gak aneh lagi buatku. Tapi, apa harus aku yang jadi targetnya? "Cukup gin! Berhenti menggilaiku!" Pintaku. Mata gin membulat gak terima mendengar perkataanku, "gak bisa dinda, aku gak bisa berhenti begitu saja. Perasaan ini sudah terlalu dalam tertanam. Bahkan sejak kita masih kecil, aku sudah mencintai..." Aku menutup telingaku, "Cukup!" Aku menyela gin "aku gak mau dengar lagi!" Lanjutku, lalu bergegas masuk meninggalkan gin di teras rumah. Orang yang mencintaimu, gak akan tega menjebakmu, ia gak akan mungkin melecehkanmu, justru ia akan menjagamu dengan sebaik-baiknya. Jika, mencelakaimu ia katakan sebagai cinta, lantas apa yang akan ia katakan saat menghunuskan pisau ke jantungmu?Perpisahan itu nyata adanya. Kehilangan orang - orang dalam hidup adalah kebiasaan yang tidak pernah membuatku terbiasa.Aku hanya orang biasa yang tidak mampu menahan beban kerinduan dari sebuah kata yaitu PERPISAHAN.Aku menulis buku ini sebagai sebuah penghormatan juga pengenang untuk orang - orang yang pernah hadir dengan baik dihidupku.Memberiku suka dan duka, tawa dan tangis yang sampai 16 tahun ini masih aku ingat dengan baik.Alur ceritanya memang tidak semuanya sama. Karena aku hanya mencoba mengulang yang ada dalam ingatanku yang sudah tidak terlalu baik ini.Mungkin bagi yang lain, di sepanjang hidup mereka, Tuhan masih menyisakan beberapa sahabat terbaik untuk bersama mendampingi hingga akhir usia. Berbeda denganku yang benar - benar harus kehilangan semuanya tanpa tersisa.Aku harap dengan buku ini, aku dapat mengingat semua orang - orang terbaik dalam hidupku terutama saat aku berada di masa peralihan dari anak - anak menuju dewasa.Sejujurnya dari masa SMK lah semua ke
Malam itu setelah aku kembali dari tahlilan 40 harian mendiang kak wito, aku baru ingat kalau malam ini ada janji bertemu dengan Gugun. Begitu sampai rumah aku kembali berpamitan kepada mama untuk pergi menemui Gugun yang mungkin sudah menungguku di halte.Aku sedikit berlari agar dapat cepat sampai di halte. Aku melirik pada jam tanganku dan waktu sudah menunjukkan pukul 21.00. Sedikit gak yakin jika Gugun masih menungguku di halte bis yang aku janjikan.Nafasku terengah - engah karena sudah berlari cukup jauh, tetapi usahaku gak sia - sia karena ternyata Gugun memang masih menungguku di sana."Maaf gue baru datang, udah lama nunggunya?" Tanyaku begitu sampai di halte."Saya nunggu kakak dari jam 7 malam di sini. Saya kira kakak gak akan datang""Loe gila nungguin gue sampai 2 jam? Kenapa loe gak pulang aja sih?""Saya takut saat saya pulang kakak malah datang dan ngira saya bohong karna gak menemukan saya di sini. Jadi saya tunggu, saya fikir saya akan tetap menunggu sampai jam 12 m
"Loe bener - bener ya, masa minta mantan gue buat traktir kita" aku mendumel kesal begitu kami berjalan kembali masuk ke sekolah."Ya biarin aja sih lagian Esha juga ikhlas kok traktir kita. Kali aja loe jadi bisa mempertimbangkan buat dia jadi pacar loe lagi" jawab Eka santai."Gak ya klo harus balikan lagi sama mantan. Kecuali....""Zendra? Ah bosen gue dengernya""Perasaan gue masih banyak banget buat dia, Ka""Udahlah lupain soal dia. Mending loe pacarin tuh adik - adik kelas biar loe makin populer" Eka menjeda ucapannya sebentar, membuatku penasaran "Populer dengan total mantan terbanyak haha" Eka terbahak meledekku."Sialan loe" Aku mengeplak lengan Eka.Memang dia pikir semudah itu aku bisa berganti hati, meskipun aku memang bisa melakukannya apa bisa menjamin dengan memacari sembarang orang sebagai pelampiasan bisa membuatku cepat move on."Oh iya loe nanti ikut kegiatan pramuka enggak?" Tanyaku teringat bahwa hari ini sudah hari jumat dan sekolah kami rutin mengadakan kegiata
Matahari siang cukup terik membakar tubuhku. Perjalanan dari sekolah menuju rumahku gak melulu dipayungi oleh pepohonan. Terkadang aku juga melewati lapang gersang dan trotoar yang banyak kios tanpa ada satu pun pohon yang tumbuh di sana.Hari itu aku pulang bersama Eka dan beberapa teman lain. Dan otakku hampir mendidih karena mereka yang terus membahas masalah Gugun yang dihukum berkeliling kelas untuk meminta maaf."Menurut gue parah sih si hendrik. Dia udah kelas XII pikirannya masih aja lemot" Ucap Nina yang saat itu berjalan bersama kami. Dia adalah siswi dari kelas akutansi."Iya jahat banget si Hendrik apalagi ya ampun gue gak tega liat cowok ganteng dihukum begitu" Sahut Eka dengan nada manja."Tapi menurut gue ada benernya juga kok Hendri hukum adik kelas begitu biar gak ngelunjak" Mira malah mengompori."Gak bisa gue gak terima kalau hukumannya dengan cara begitu. Dulu aja waktu angkatan kita gak ada tuh kakak kelas yang menghukum adik kelasnya begitu" Balas Nina.Aku yang
Aku menuju kantin dan memesan sesuatu di sana. Sejak kelulusan Kak Febri, aku gak kesulitan memesan makanan di kantin meskipun kondisi kantin dalam keadaan penuh sesak. Pelayan kantin selalu mendahulukan pesananku untuk tiba lebih dulu. Kemudahan yang aku dapat itu, aku yakin gak lepas dari campur tangan kak Febri, karena hanya dia yang selalu didahulukan oleh penjaga kantin saat memesan sesuatu. Sambil menunggu aku duduk di kursi tempat biasa kak Febri duduk di sana. Ajaibnya sejak dia gak ada di sekolah ini pun kursi itu selalu kosong gak ada yang berani menempati."Hai kak... akhirnya kita dipertemukan lagi" Gugun berdiri di depanku."Eh... iya...kita udah beberapa kali ketemu yaa hari ini""Tiga kali kak, mungkin sampai kita pulang nanti akan bertambah" Katanya tersenyum padaku."Mm mungkin. Gue sering mondar - mandir di sekolah ini jadi wajar kalau loe bakal sering ketemu gue. Siap - siap aja buat bosen ngeliat muka gue""Saya gak mungkin bosen lihat wajah kakak, justru sebalikn
Angin di awal bulan juli berhembus dengan sejuk. Desirannya menggoyahkan dedaunan dan pepohonan yang tumbuh di sekitar gerbang sekolahku. Sinar mentari hadir ke permukaan bumi dengan leluasa tanpa penghalang, membentuk bayang - bayang di atas jalan berbatu tempat yang aku pijak kini.Aku berdiri di sini, di atas jalan berbatu beberapa meter di depan gerbang sekolah. Melihat beberapa motor melintas memasuki gerbang sekolah. Beberapa hari yang lalu, tempat ini menjadi tempat untuk saling berucap sampai jumpa dan salam perpisahan dengan orang - orang yang pernah dekat denganku. Di sini tempat pertama kali aku bertemu dengan Kak Wito dan di tempat ini pula lah kami mengakhiri pertemuan kami untuk selama - lamanya.Hari perpisahan memang hari paling menyakitkan sedunia. Satu hari yang amat berharga dari 365 yang ada dalam setahun. Beberapa jam yang mewakili keakraban yang terjalin selama ini dan sekarang mereka sudah benar - benar pergi.Aku berdiri di sini, berusaha mengingat segala hal y