Lentera tidak akan pernah menyesal dengan keputusanya untuk tidak menikah. Ia mencintai kebebasannya, karirnya, dan hidupnya yang diatur sendiri. Selanjutnya, pernikahan ini hanya membatasi ruang geraknya.
Status sebagai seorang istri, terikat, dan berurusan dengan drama rumah tangga, membuat tekanan sendiri dalam dirinya.
‘Aku menyukaimu, itulah kenapa aku bersedia menikah denganmu.’
Kalimat itu terngiang di telinga Lentera. Namun, alih-alih merasa tersentuh, Lentera justru merasa semakin muak dengan Raynar.
Di bawah tekanan yang dirasakan sekarang, Lentera tidak bisa lagi menunda apa pun yang terencana di dalam kepalanya. Dia harus segera bertindak atau dia akan terjebak semakin dalam dengan lelaki yang dibencinya.
“Aku ingin bercerai.” Itu adalah tiga kata yang membuat seorang lelaki di depannya menatap Lentera dengan ekspresi datar seperti biasa. “Aku tidak cocok dengan peran baru yang aku sandang.”
Lentera kini berada di sebuah restoran bersama dengan Arcapada. Seorang pengacara yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Seolah ucapan Lentera itu hanya angin lalu, Arca justru hanya menikmati makanannya.
“Kamu nggak denger aku ngomong?” tanya Lentera geram kepada sepupunya. “Aku bicara sama kamu Arca!”
“Kalau kamu mau bercerai, cari saja pengacara lain dan bukan dari orang-orang di bawah naungan firma hukumku. Itu pun kalau kamu bisa menemukannya.” Arca menjawab dengan santai.
“Maksud kamu?”
“Aku nggak akan menolong kamu kali ini. Dan mungkin juga nggak ada yang akan bersedia nolong kamu.”
Lentera benar-benar merasa sedang diuji. Bagaimana mungkin orang terdekatnya juga bersikap menyebalkan seperti sekarang. Firma hukum milik Arca, atau lebih tepatnya milih Ramon, adalah firma terbaik dan berdedikasi. Lentera berpikir jika dia menggaet salah satu dari pengacara di firma hukum tersebut, maka semua akan lebih mudah.
“Papa Arga sudah tahu hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Dan dia sudah mengantisipasinya. Intinya, kamu nggak akan bisa cerai dengan Raynar.”
“Gila, ya!” teriak Lentera membuat orang-orang-orang yang ada di sana pun tampak menoleh ke arahnya. Namun, siapa yang peduli dengan hal tersebut.
Arca menenggak minumanya sebelum kembali bersuara. “Kasih aku satu saja alasan kenapa kamu ingin bercerai. Kalau alasanmu tepat, maka aku sendiri yang akan membantumu.”
“Jelas pernikahan ini bukan keinginanku. Kalian yang memaksaku. Aku hanya ingin hidupku bebas tanpa ikatan yang menyulitkan. Tanpa tekanan dan tuntutan. Aku tidak ingin terjebak dalam hubungan yang tidak pernah aku pilih.”
“Apa Raynar pernah menuntutmu?” tanya Arca dengan santai. “Apa Raynar pernah memintamu melakukan sesuatu yang tidak pernah kamu inginkan?”
“Menerima pernikahan ini adalah salah satu tuntutan terberat yang seharusnya Raynar bisa menolaknya. Tidak seharusnya dia menerima perjodohan ini.”
“Dia menerima perjodohan ini karena dia menyukaimu. Itu alasan yang cukup masuk akal.”
“Masa bodoh dengan perasaan dia kepadaku bukan tanggung jawabku untuk menerima. Aku hanya ingin menyelamatkan perasaanku sendiri,” pungkas Lentera dengan tegas. Kata menyukai tak cukup kuat untuk membuat dua orang terlibat dalam pernikahan.
“Jatuh cinta itu membahagiakan, Tera. Sesekali kamu harus mencoba menerima orang baru dalam hidupmu.”
“Aku nggak butuh itu.” Lentera menjawab tajam. “Aku dengan semua yang aku miliki sudah cukup, tidak perlu melibatkan orang baru dalam hidupku.”
Entah sejak kapan seorang Lentera memutuskan untuk tidak menikah. Padahal dia selalu melihat orang-orang di sekitarnya terutama orang tuanya adalah dua orang yang saling mencintai. Kehidupan mereka harmonis luar biasa.
Bukan hanya itu, semua keluarganya memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia. Namun, seolah itu tak cukup mampu menggedor hati Lentera untuk menapaki jalan yang sama seperti mereka sampai orang tuanya harus bertindak.
“Suatu saat nanti, orang tuamu akan menua. Dua puluh tahun atau tiga puluh tahun lagi, mereka akan pergi menghadap Tuhan. Setelah mereka tiada, saat itu usiamu tidak lagi muda, kamu pikir kamu masih bisa jumawa dan bisa mengandalkan dirimu sendiri?”
“Aku bisa meminta orang untuk merawatku. Atau, aku masih punya keponakan.”
“Mereka memiliki kehidupan sendiri dan kamu akan membebani mereka dengan kesendirianmu? Kalau iya, itu artinya kamu egois.”
Lentera diam. Ucapan Arca memang tidak salah. Anak-anak kakaknya nanti pasti memiliki kehidupan sendiri. Meskipun begitu, mereka punya orang tua mereka sendiri yang harus dirawat saat tua nanti.
Arca menatap Lentera lekat. “Cobalah untuk menerima pernikahanmu, Tera. Percaya sama aku, Raynar adalah lelaki yang baik.”
Lentera menggeleng. “Aku nggak bisa. Semua ini bertolak belakang dengan apa yang menjadi prinsip hidupku.”
Arca menarik napas panjang. “KDRT, perselingkuhan, meninggalkan pasangan selama dua tahun berturut-turut, mabuk, judi, narkoba, tidak memberi nafkah, peralihan agama, cacat. Itu adalah salah satu gugatan perceraian yang akan dipermudah.
Arca melanjutkan, “Tidak ada alasan yang sah, pernikahan masih dianggap dini, belum pisah rumah selama enam bulan. Itu adalah beberapa hal gugatanmu bisa ditolak.”
Arca menatap Lentera yang tampak diam ketika Arca membeberkan hal apa saja terkait masalah yang bisa berujung perceraian. Lalu lelaki itu kembali bersuara, “Jadi, yang mana satu alasan yang akan kamu gunakan untuk menggugat cerai suamimu?”
Lentera praktis tidak menjawab. Tidak ada satu pun dari beberapa hal yang dikatakan oleh Arca masuk dalam kriteria dia bisa menggugat cerai Raynar.
Suaminya itu memberinya nafkah sejak mereka menjadi suami istri. Raynar memperlakukanya dengan baik, Raynar juga tidak terlibat dalam tindakan kriminal apa pun. Terlebih lagi, pernikahan mereka baru berjalan satu bulan.
Maka dari itu, pengadilan agama pun tidak akan mengabulkan permohonannya. Dia hanya akan merasa malu jika melanjutkan niatnya.
‘Sialan.’ Begitu umpat Lentera dalam hati atas penjelasan Arca. Lantas, sampai kapan dia akan terjebak dengan pernikahan ini jika baru sebulan saja dia merasa sudah berabad-abad. Namun, ada satu poin yang bisa dilakukan. Pisah rumah selama 6 bulan.
Lentera menyeringai sebelum beranjak. “Kalau memang aku harus pisah rumah selama enam bulan untuk persyaratan bisa bercerai, aku akan melakukannya.”
Arca masih terlihat begitu tenang. Lelaki itu mengangguk saja. “Ketahuilah, Tera. Nggak akan semudah itu. Kamu mengenal betul orang tuamu dan seberapa gigih Raynar.”
“Aku nggak peduli.” Lentera segera pergi meninggalkan Arca yang hanya menghela napas panjang.
Lentera pergi meninggalkan restoran dengan amarah membludak di dalam dadanya. Ada kemarahan yang tidak bisa terungkap. Dia tahu jika menemui orang tuanya tidak akan membuatnya terlepas dari statusnya sebagai istri.
Alih-alih pulang ke rumah yang ditempati bersama dengan Raynar, dia memilih pergi ke apartemen. Berada di rumah itu hanya akan menambah beban di dalam hatinya. Dia melemparkan tubuhnya di sofa sebelum menatap langit-langit ruangan.
“Aku pasti bisa mendapatkan kebebasanku kembali,” gumamnya. “Aku akan menjadi Lentera yang dulu. Lentera yang tidak terikat dengan pernikahan. Aku bisa bebas mengatur hidupku sendiri.” Tekadnya tidak akan bisa digoyahkan oleh siapa pun.
Deringan ponselnya terdengar dan seringaian Lentera terulas di bibirnya. Ini sudah malam dan Raynar pasti sedang mencarinya. “Kamu tidak akan pernah menemukanku, Raynar. Camkan itu!”
***
Lentera merasa tenang akhir-akhir ini karena sudah ‘berdamai’ dengan keadaan. Bukan dia dengan mudah menyerah, tetapi faktanya, dia tidak bisa melakukan banyak hal karena semua keluarganya menghalangi usahanya.Maka jalan satu-satunya adalah dengan menerima pernikahan ini dengan caranya. Lantas akan sampai kapan semua ini berlaku? Lentera pun tidak tahu. Dia akan menjalani saja sampai benar-benar lelah.Ketukan pintu kamar Lentera membuat si empunya harus mendesah panjang. Matahari belum muncul dan Lentera masih tiduran di atas ranjang sambil memaninkan ponselnya. Namun, dia mau tak mau harus bangun dan melihat siapa yang sudah mengetuk pintu.“Selamat pagi, Tera.” Raynar tersenyum dengan cerah bak mentari pagi ketika menatap Lentera yang ada di depannya. “Ini hari minggu dan aku mau ajak kamu jalan-jalan. Kamu nggak ada kegiatan apa pun ‘kan?” tanya Raynar.“Tiba-tiba banget.” Tidak ada rasa antusias yang dirasakan oleh Lentera dengan ajakan Raynar.“Jalan kaki selama tiga puluh meni
Aroma lezat itu terdeteksi oleh hidung Lentera ketika dia baru saja turun dari lantai dua. Dengan langkah panjang, dia segera masuk ke dalam ruang makan dan melihat Raynar berdiri di depan kompor.Secara alami, Lentera mendekat untuk melihat apa yang dimasak oleh Raynar. Itu adalah nasi goreng dengan suiran ayam. Dia tak mengatakan apa pun dan hanya melihat bagaimana lincahnya Raynar mengaduk nasi tersebut di atas wajan.Mengambil sendok, Raynar menyendokkan sedikit nasi tersebut sebelum memberikan kepada Lentera. “Cobalah. Kalau rasanya kurang pas, aku bisa memperbaikinya.”Tanpa diminta dua kali Lentera langsung menerima nasi itu dari suapan Raynar. “Udah pas rasanya.” Begitu katanya.“Kalau begitu, kamu duduk aja. Aku akan menyiapkan untukmu.” Raynar tersenyum kecil dengan penuh ketulusan.Lentera lagi-lagi menurut. Dia memilih untuk duduk di kursi makan dan menunggu Raynar. Tak lama, Raynar membawa dua piring nasi goreng dan meletakkan satu piring di depan Lentera dan satu lagi te
Lentera menatap punggung Raynar yang menjauh dari pandangannya. Tidak bisa dipungkiri ucapan Raynar itu adalah pukulan telak untuk hatinya. Pertama kalinya, Raynar berbicara dengan nada ketus. Itu tanda jika lelaki itu benar-benar tengah dalam kondisi perasaan yang tidak baik-baik saja.Dia hanya bisa berdiri dengan tubuh yang terasa membeku. Tiba-tiba saja dia merasa perasaannya juga tidak nyaman.“Astaga.” Begitu katanya dengan hembusan napas panjang. “Kenapa aku harus merasakan ini?” Lentera berlalu dari tempat itu untuk masuk ke dalam rumah.Dia tak menemukan Raynar di ruang keluarga, pasti lelaki itu ada di ruang kerjanya atau bahkan di kamarnya. Lentera tidak ingin mengganggu lelaki itu dan memilih untuk pergi ke kamarnya sendiri.Kejadian hari itu pada akhirnya, membuat hubungan Raynar dan Lentera yang tadinya hampir membaik pun kembali renggang. Bahkan, Lentera jarang sekali melihat kemunculan Raynar di rumah mereka. Dia yang entah kenapa mengubah jadwal kerjanya menjadi lebih
“Kalau aku mau egois, aku akan memaksamu untuk melakukan apa yang aku mau, Lentera. Tapi, aku nggak mau melakukannya karena keterpaksaan. Jadi, lupakan saja apa yang aku katakan tadi.”Kalimat itu adalah kalimat yang Raynar katakan ketika mereka sudah sampai di depan kantor Lentera. Raynar tahu betul Lentera tidak nyaman dengan permintaannya dan dia memang sengaja memberikan jeda untuk Lentera berpikir. Faktanya ketika dia meminta hal itu, Lentera terdiam seribu bahasa.Tidak ada penolakan, tetapi ekspresi wajahnya tidak menentu. Ada keraguan yang terlihat, tetapi dia seolah berpikir untuk menerimanya.Setelah mengantarkan Lentera, Raynar memilih kembali ke kantor. Namun, dia tak lagi mengambil lembur karena dia tahu kondisi fisiknya belum benar-benar membaik. Dia pulang saat matahari masih berkuasa.Membaringkan tubuhnya di kasur, Raynar menatap langit-langit kamar. Setelah Lentera nanti pulang, mungkin pembahasan tentang Raynar dan keluarganya masih akan menjadi topik obrolan mereka
Raynar sejak tadi hanya terus memasang wajah dinginnya. Lentera menyaradi itu, tetapi dia tak bisa berbuat apa pun kecuali hanya diam. Ini adalah pertama kalinya dia duduk bersama suami dan juga ayah mertuanya. Ditambah lagi ada kakak iparnya yang mengatakan jika dia ‘membenci’ Raynar.Tentu saja situasi mereka sangatlah canggung luar biasa. Raynar tampaknya tidak berniat mengawali obrolan dan terlihat tak acuh.“Kamu mau tambah sesuatu?” Namun, pada akhirnya dia menoleh pada Lentera dan menawarkan sesuatu. Tadinya dia yang duduk di depan Lentera memilih pindah dan duduk di samping istrinya.“Nggak. Aku udah kenyang,” jawab Lentera.“Kalau begitu, kita bisa pergi sekarang?”“Ya, pergi saja, Raynar. Anggap saja tidak ada kami di sini.” Brian menjawab ucapan Raynar membuat situasi semakin tidak nyaman.Raynar yang tadinya menatap Lentera itu pun segera mengalihkan tatapannya ke arah Brian. Tatapannya pada kakaknya itu dingin dan tajam. Mereka tak ubahnya seperti musuh yang berlindung da
“Bapak.” Bagas terkejut melihat bosnya muncul di kantor. “Bapak sudah lebih baik?” Bagas mengekori Raynar yang masuk ke dalam ruangannya. “Seharusnya Bapak tetap di rumah biar saya saja yang datang nanti.”Raynar terkekeh kecil. “Saya sudah lebih baik. Saya bosan kalau harus tetap berada di rumah.” Lelaki itu duduk di kursi sambil sesekali mengernyitkan dahinya. Ekspresinya itu tertangkap oleh netra Bagas dan kekhawatiran itu terlihat.Raynar mengangkat tangannya saat Bagas ingin mendekatinya. “Kamu berikan saja berkas yang perlu saya cek. Saya sudah sehat, Bagas.”Bagas menurut dan dia akhirnya hanya mengangguk. Membalikkan badannya untuk keluar dari ruangan Raynar sebelum dia mengambil berkas dari mejanya.“Bapak ingin dibuatkan minuman apa?” tanya Bagas setelah meletakkan tumpukan berkas di atas meja Raynar. “Bapak untuk sementara tidak boleh minum kopi dulu.”“Saya tahu. Nanti siang saja kamu bisa pesankan saya kelapa muda.” Bagas mengangguk dan menyetujui permintaan Raynar. “Dan