Lentera menatap ponselnya yang sejak tadi berdering tiada henti. Nama yang sama tertulis di layar ponselnya. Raynar sama sekali tidak lelah menghubunginya sejak beberapa waktu lalu. Sayangnya, tidak ada sedikitpun keinginan bagi Lentera untuk menerima panggilan tersebut.
Hamparan langit menjadi pemandangan indah malam ini. Lentera menyesap coklat hangat dan menikmati semilir angin setelah dia menghabiskan makan malamnya.
“Inilah hidup yang aku inginkan. Bebas dan tidak terikat,” gumamnya pada angin yang baru saja menyapanya.
Lentera menyeringai kecil seolah semua rencananya ini sudah cukup matang dan dia bisa menang dari Raynar. Dia tidak tahu jika usahanya mungkin akan sia-sia. Lentera menganggap jika Raynar akan mudah dikalahkan. Maka, dia akan lebih tenang sekarang.
Terlebih lagi, Raynar tidak tahu banyak tentang dirinya. Ketika Lentera memutuskan pergi, Lentera yakin Rayna tidak akan pernah menemukannya.
Bel unitnya menyadarkan Lentara dari lamunan. Dia beranjak dari tempat duduknya untuk membuka pintu. Namun, Lentera dibuat terkejut ketika Raynar berdiri di hadapannya. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa, lelaki itu tersenyum kecil.
“Hai, Istriku.” Raynar menyapa dengan lembut meskipun ekspresi wajahnya berbanding terbalik dengan suara lembutnya. Lelaki itu tampak datar tanpa emosi.
“Bagaimana kamu bisa ….” Lentera terdorong ke dalam dan otomatis ucapannya terputus ketika Raynar merangsek maju untuk masuk ke dalam unit istrinya.
Dengan santai lelaki itu berjalan ke arah sofa dan duduk di sana. Lentera yang masih syok itu tidak bergerak. Menatap Raynar dengan ekspresi bingung yang tidak bisa ditutupi. Namun, itu tak berlangsung lama. Lentera segera mendekati lelaki itu dan melemparkan pertanyaan yang sempat terpotong.
“Bagaimana kamu bisa tahu aku di sini?” tanya Lentera dengan suara menggeram. “Siapa yang memberi tahu alamatku kepadamu!”
Raynar yang tadi tengah memindai tatapannya pada seluruh ruangan itu kini beralih menatap Lentera. Laki-laki itu benar-benar bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dia tak marah karena Lentera tidak menerima panggilannya. Bisa jadi, lelaki itu sejak tadi mengkhawatirkan istrinya yan tak kunjung pulang ke rumah.
Lentera berdiri di depan Raynar dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. Menatap penuh permusuhan pada suaminya tersebut menuntut jawaban. Melihat wajah lelaki itu, seolah dia tengah melihat seorang musuh yang ingin dilenyapkan dari muka bumi.
“Apa aku perlu menjawab pertanyaanmu?” tanya Raynar menirukan sikap Lentera. Lelaki itu juga melipat kedua tangannya di depan dada, lalu membalas tatapan Lentera tanpa gejolak emosi. “Aku suamimu, kamu lari ke ujung dunia pun, aku bisa menemukanmu, Istriku,” ucap Raynar tenang.
“Kalau masih melibatkan keluargaku, lebih baik tidak perlu terlalu sombong,” ucap Lentera setengah mengejek. Dia tahu betul hanya keluarganya yang tahu apartemennya. “Kalau mau perang, kita satu lawan satu jangan melibatkan keluargaku.”
“Strategi dalam perang itu sah saja dilakukan,” jawab Raynar masih dengan santai. “Aku bebas menggunakan senjata mana saja yang aku inginkan.”
Lentera menarik napasnya panjang dengan raut kesal luar biasa. Kebenciannya kepada Raynar terasa sudah berada di ambang batas. Lelaki itu bisa berbangga diri sekarang karena semua keluarga Lentera berada di pihaknya. Namun, Lentera akan terus berusaha demi selembar akta perceraian sebagai tanda dia mendapatkan kebebasannya kembali.
“Sekarang apa maumu?” tanya Lentera setelah itu mencoba menekan emosinya yang sudah meluap. “Kamu sudah tahu aku ada di sini. Sekarang pulanglah! Di sini bukan tempatmu.” usir Lentera tanpa rasa kasihan.
“Pulang? Tentu aku akan pulang jika kamu juga pulang.” Raynar berucap tegas.
“Aku tidak akan kembali ke rumah itu. Ini adalah tempat tinggalku sekarang,” tegas Lentera tanpa berpikir ulang.
“Kalau kamu mau tinggal di sini, maka sebagai suami, aku juga akan tinggal di sini menemanimu,” balas Raynar tanpa dosa.
“Aku menolak itu. Aku tidak butuh ditemani.” Lentera berucap tegas. “Kamu pulanglah ke rumahmu, dan aku akan tetap tinggal di sini.”
“Aku tidak akan ke mana-mana tanpa kamu.” Raynar beranjak dari sofa. “Di mana kamar kita?” Tatapan lelaki itu tidak lepas dari Lentera yang ada di depannya. “Ini sudah malam. Aku juga lelah karena sejak tadi mencarimu ditambah rasa khawatir. Aku butuh istirahat sekarang.”
“Kamu gila!” Lentera melotot semakin marah. “Pergi, Ray. Aku nggak mau bertengkar dengamu atau aku akan memanggilkan satpam untuk mengusirmu.”
“Sayangnya, staf di apartemen ini tahu kalau kita suami istri. Aku sudah memberi tahunya tadi.”
Demi Tuhan, Lentera tidak pernah merasa sekacau ini. Menghadapi Raynar benar-benar membuat kesabarannya terkikis sedikit demi sedikit.
Raynar mampu membuat gejolak tak kasat mata yang timbul dalam hati Lentera. Kebenciannya kepada lelaki itu semakin tumpang tindih tak karuan.
“Dengar Tera. Sebagai suami, aku tidak akan membiarkanmu tinggal terpisah denganku. Jadi, di mana pun kamu ingin tinggal, maka di sanalah aku berada.”
Itu adalah keputusan mutlak yang Raynar ucapkan kepada istrinya. Tidak peduli meskipun Lentera menolaknya berkali-kali dia sudah bertekad untuk mempertahankan Lentera di sisinya.
“Apa kamu tidak malu, Ray? Aku sudah menolakmu berkali-kali dan kamu masih terus berusaha? Kamu sungguh tidak masuk akal.” Wajah Lentera memerah ketika mengatakan itu.
Perempuan itu mengepalkan kedua tangannya untuk melampiaskan kekesalannya. Menatap tajam suaminya berharap lelaki itu bisa meleleh detik itu juga. Jika membunuh orang tidak akan membuatnya masuk penjara, dia sudah menghabisi Raynar.
“Kenapa harus malu? Aku sedang mempertahankan rumah tanggaku dan mempertahankan istriku agar tetap di sisiku.”
Lentera tidak paham kenapa ada laki-laki semenyebalkan Raynar di bumi ini. Kenapa harus lelaki yang kolot seperti dia yang ayahnya jodohkan kepadanya?
“Jadi, apa kita akan terus berdebat, Tera? Ini sudah malam. Kalau kamu tidak menunjukkan kamar kita, baiklah, aku akan tidur di sofa.”
Raynar kembali ke sofa dan merebahkan tubuhnya di sofa panjang tersebut. Bahkan sofa itu bisa menampung sepenuhnya tubuh tingginya.
“Malam ini aku akan tidur di sofa.” Raynar menyamankan tubuhnya. Dia menoleh menatap Lentera dengan kening mengernyit. “Kenapa kamu masih berdiri di sana? Mau tidur di sini juga? Kemarilah, aku akan memelukmu sepanjang malam.”
Lentera tampak tidak bisa berkata-kata ketika dia berbalik untuk pergi meninggalkan ruang tamu. Bahkan sebelum dia benar-benar meninggalkan ruangan itu, Lentera masih bisa melihat ekspresi datar Raynar seolah dia tak merasa bersalah sama sekali.
Masuk ke dalam salah satu kamar dengan membanting pintunya kuat-kuat, perempuan itu mondar-mandir di kamar dengan emosi yang sudah meluap. Dia sungguh tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan untuk membuat Raynar paham jika dia membenci lelaki itu.
Dia tak pernah begitu kesulitan bekerja sama dengan orang lain, tetapi kali ini semua kemampuan berpikirnya seolah lumpuh karena Raynar.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Lentera pada dirinya sendiri. Tidak ada satu orang pun yang bisa membantunya bahkan keluarganya.
Lentera harus berjuang sendiri untuk mengembalikan kebebasannya. Benar-benar hanya sendiri.
***
Lentera merasa tenang akhir-akhir ini karena sudah ‘berdamai’ dengan keadaan. Bukan dia dengan mudah menyerah, tetapi faktanya, dia tidak bisa melakukan banyak hal karena semua keluarganya menghalangi usahanya.Maka jalan satu-satunya adalah dengan menerima pernikahan ini dengan caranya. Lantas akan sampai kapan semua ini berlaku? Lentera pun tidak tahu. Dia akan menjalani saja sampai benar-benar lelah.Ketukan pintu kamar Lentera membuat si empunya harus mendesah panjang. Matahari belum muncul dan Lentera masih tiduran di atas ranjang sambil memaninkan ponselnya. Namun, dia mau tak mau harus bangun dan melihat siapa yang sudah mengetuk pintu.“Selamat pagi, Tera.” Raynar tersenyum dengan cerah bak mentari pagi ketika menatap Lentera yang ada di depannya. “Ini hari minggu dan aku mau ajak kamu jalan-jalan. Kamu nggak ada kegiatan apa pun ‘kan?” tanya Raynar.“Tiba-tiba banget.” Tidak ada rasa antusias yang dirasakan oleh Lentera dengan ajakan Raynar.“Jalan kaki selama tiga puluh meni
Aroma lezat itu terdeteksi oleh hidung Lentera ketika dia baru saja turun dari lantai dua. Dengan langkah panjang, dia segera masuk ke dalam ruang makan dan melihat Raynar berdiri di depan kompor.Secara alami, Lentera mendekat untuk melihat apa yang dimasak oleh Raynar. Itu adalah nasi goreng dengan suiran ayam. Dia tak mengatakan apa pun dan hanya melihat bagaimana lincahnya Raynar mengaduk nasi tersebut di atas wajan.Mengambil sendok, Raynar menyendokkan sedikit nasi tersebut sebelum memberikan kepada Lentera. “Cobalah. Kalau rasanya kurang pas, aku bisa memperbaikinya.”Tanpa diminta dua kali Lentera langsung menerima nasi itu dari suapan Raynar. “Udah pas rasanya.” Begitu katanya.“Kalau begitu, kamu duduk aja. Aku akan menyiapkan untukmu.” Raynar tersenyum kecil dengan penuh ketulusan.Lentera lagi-lagi menurut. Dia memilih untuk duduk di kursi makan dan menunggu Raynar. Tak lama, Raynar membawa dua piring nasi goreng dan meletakkan satu piring di depan Lentera dan satu lagi te
Lentera menatap punggung Raynar yang menjauh dari pandangannya. Tidak bisa dipungkiri ucapan Raynar itu adalah pukulan telak untuk hatinya. Pertama kalinya, Raynar berbicara dengan nada ketus. Itu tanda jika lelaki itu benar-benar tengah dalam kondisi perasaan yang tidak baik-baik saja.Dia hanya bisa berdiri dengan tubuh yang terasa membeku. Tiba-tiba saja dia merasa perasaannya juga tidak nyaman.“Astaga.” Begitu katanya dengan hembusan napas panjang. “Kenapa aku harus merasakan ini?” Lentera berlalu dari tempat itu untuk masuk ke dalam rumah.Dia tak menemukan Raynar di ruang keluarga, pasti lelaki itu ada di ruang kerjanya atau bahkan di kamarnya. Lentera tidak ingin mengganggu lelaki itu dan memilih untuk pergi ke kamarnya sendiri.Kejadian hari itu pada akhirnya, membuat hubungan Raynar dan Lentera yang tadinya hampir membaik pun kembali renggang. Bahkan, Lentera jarang sekali melihat kemunculan Raynar di rumah mereka. Dia yang entah kenapa mengubah jadwal kerjanya menjadi lebih
“Kalau aku mau egois, aku akan memaksamu untuk melakukan apa yang aku mau, Lentera. Tapi, aku nggak mau melakukannya karena keterpaksaan. Jadi, lupakan saja apa yang aku katakan tadi.”Kalimat itu adalah kalimat yang Raynar katakan ketika mereka sudah sampai di depan kantor Lentera. Raynar tahu betul Lentera tidak nyaman dengan permintaannya dan dia memang sengaja memberikan jeda untuk Lentera berpikir. Faktanya ketika dia meminta hal itu, Lentera terdiam seribu bahasa.Tidak ada penolakan, tetapi ekspresi wajahnya tidak menentu. Ada keraguan yang terlihat, tetapi dia seolah berpikir untuk menerimanya.Setelah mengantarkan Lentera, Raynar memilih kembali ke kantor. Namun, dia tak lagi mengambil lembur karena dia tahu kondisi fisiknya belum benar-benar membaik. Dia pulang saat matahari masih berkuasa.Membaringkan tubuhnya di kasur, Raynar menatap langit-langit kamar. Setelah Lentera nanti pulang, mungkin pembahasan tentang Raynar dan keluarganya masih akan menjadi topik obrolan mereka
Raynar sejak tadi hanya terus memasang wajah dinginnya. Lentera menyaradi itu, tetapi dia tak bisa berbuat apa pun kecuali hanya diam. Ini adalah pertama kalinya dia duduk bersama suami dan juga ayah mertuanya. Ditambah lagi ada kakak iparnya yang mengatakan jika dia ‘membenci’ Raynar.Tentu saja situasi mereka sangatlah canggung luar biasa. Raynar tampaknya tidak berniat mengawali obrolan dan terlihat tak acuh.“Kamu mau tambah sesuatu?” Namun, pada akhirnya dia menoleh pada Lentera dan menawarkan sesuatu. Tadinya dia yang duduk di depan Lentera memilih pindah dan duduk di samping istrinya.“Nggak. Aku udah kenyang,” jawab Lentera.“Kalau begitu, kita bisa pergi sekarang?”“Ya, pergi saja, Raynar. Anggap saja tidak ada kami di sini.” Brian menjawab ucapan Raynar membuat situasi semakin tidak nyaman.Raynar yang tadinya menatap Lentera itu pun segera mengalihkan tatapannya ke arah Brian. Tatapannya pada kakaknya itu dingin dan tajam. Mereka tak ubahnya seperti musuh yang berlindung da
“Bapak.” Bagas terkejut melihat bosnya muncul di kantor. “Bapak sudah lebih baik?” Bagas mengekori Raynar yang masuk ke dalam ruangannya. “Seharusnya Bapak tetap di rumah biar saya saja yang datang nanti.”Raynar terkekeh kecil. “Saya sudah lebih baik. Saya bosan kalau harus tetap berada di rumah.” Lelaki itu duduk di kursi sambil sesekali mengernyitkan dahinya. Ekspresinya itu tertangkap oleh netra Bagas dan kekhawatiran itu terlihat.Raynar mengangkat tangannya saat Bagas ingin mendekatinya. “Kamu berikan saja berkas yang perlu saya cek. Saya sudah sehat, Bagas.”Bagas menurut dan dia akhirnya hanya mengangguk. Membalikkan badannya untuk keluar dari ruangan Raynar sebelum dia mengambil berkas dari mejanya.“Bapak ingin dibuatkan minuman apa?” tanya Bagas setelah meletakkan tumpukan berkas di atas meja Raynar. “Bapak untuk sementara tidak boleh minum kopi dulu.”“Saya tahu. Nanti siang saja kamu bisa pesankan saya kelapa muda.” Bagas mengangguk dan menyetujui permintaan Raynar. “Dan
“Pagi.” Sambutan pagi itu membuat Lentera sedikit mengernyitkan dahinya. Raynar yang kemarin masih terlihat lemah itu kini sudah duduk di kursi makan sambil menatap lurus pada tabletnya. Tengah membaca berita pagi atau mungkin melihat bursa saham.Lelaki itu bahkan sudah rapi dengan kemeja kantornya dan jasnya diletakkan di kursi lainnya. Pemandangan itu terlihat sangat biasa, tetapi kali ini tentu saja sedikit berbeda karena Raynar dalam kondisi yang tidak baik. Setidaknya itulah yang ada di dalam pikiran Lentera.“Kamu udah mau kerja?” Lentera menatap suaminya dengan ekspresi heran. Raynar masih terlihat sedikit pucat, tetapi tampaknya, lelaki itu tidak memedulikan kesehatannya sama sekali. “Udah sehat?” lanjutnya lagi merasa penasaran.Lentera bahkan harus meneliti wajah Raynar dengan seksama untuk memastikan jika laki-laki itu benar-benar sudah sehat. Namun, dilihat dari segi mana pun, Raynar masih belum sembuh betul.“Ya, lumayan.” Raynar mendongakkan kepalanya dan menatap Lenter
Lentera tidak pernah membayangkan sebelumnya jika dia akan berada di ranjang yang sama dengan seorang lelaki yang berstatus sebagai suaminya. Dia berpikir, pernikahan hanyalah sebuah beban. Setelah dia menjalaninya, pemikiran itu tidaklah salah. Menikah hanya membuat masalah baru dalam hidupnya.Terlebih lagi, lelaki yang sekarang ada di sampingnya itu adalah pusat masalahnya. Raynar yang menjadi beban terberat dalam pikirannya. Lelaki yang penuh dengan misteri dan tetak-teki.“Aku dengar kamu mencariku ke mana-mana.” Suara Raynar terdengar mengalun di bawah keheningan ruangan luas bernuansa putih tersebut.Lentera pikir, Raynar sudah tidur, tetapi lelaki itu masih terjaga. Menolehkan kepalanya ke arah kanan, Lentera bisa melihat sisi wajah Raynar. Lelaki itu menatap ke langit-langit kamar dengan kedua tangan berada di atas perutnya.“Aku hanya nggak mau disalahkan kalau terjadi sesuatu sama kamu. Status istri ini ternyata memberatkan.” Lentera menjawab dengan sedikit rasa kesal. “Seb
“Boleh aku tahu kenapa kalian nggak akur?” tanya Lentera yang kini sudah menegakkan tubuhnya dan meredam gedoran jantungnya yang tiba-tiba saja semakin meningkat tajam.Lentera terus menatap Brian yang tengah menikmati makan siangnya. Dia berusaha untuk menahan diri agar tidak tergelung emosi yang tiba-tiba saja muncul. Dia sekarang sedang berhadapan dengan seorang kakak ipar yang seharusnya Lentera bisa menjaga sikap.“Raynar itu susah diajak bicara, keras kepala, dan serakah. Di mana pun dia, selalu saja merepotkan orang lain. Masalah yang tidak ada bahkan diada-adakan. Trouble maker.” Brian menatap Lentera ketika mengatakan dua kata terakhir. “Dia juga lelaki tidak tahu diri. Merasa dirinya paling tinggi dibandingkan orang lain. Dia sudah diperlakukan baik oleh kami, tetapi dia semakin tidak tahu diri.”Brian menyuapkan makanan terakhir sebelum meminggirkan piring ke sisi kirinya. Tatapannya pada Lentera pun tak putus sampai dia menenggak minumannya.“Aku sangat membencinya,” imbuh