Mba Mala sangat luwes, sama halnya seperti Pram, sepanjang jalan dia tidak berhenti mengajak Shea mengobrol.
Shea sangat menghargai niat baiknya agar suasana perjalanan mereka tidak terasa canggung, tapi tidak ada satupun dari kalimatnya yang mampu Shea simak.Dia terus memantau jalan, berharap bisa segera turun, tapi Pram jelas tidak akan berhenti kalau Shea minta drop di tengah jalan seperti ABG pacaran back street dan minta diantar jemput depan gang.“Jadi kamu ini mahasiswa fashon design ya? Wah, Mba belum pernah loh punya kenalan orang-orang fashion, kecuali influencer ya, tapi basicnya pasti beda banget kan? Berarti kalau kuliah yang dipelajari apa aja? Gambar-gambar baju gitu?” tanya Mba Mala tanpa malu-malu, melirik Shea yang duduk di kursi belakang dengan tegang.Kalau hanya gambar-gambar baju, Shea mungkin sudah menjadi Princess sejak TK. Sambil meringis dia menjawab otomatis.“Sebenarnya banyak Mba, mulai dari ngukur badan, bMba Mala sangat luwes, sama halnya seperti Pram, sepanjang jalan dia tidak berhenti mengajak Shea mengobrol. Shea sangat menghargai niat baiknya agar suasana perjalanan mereka tidak terasa canggung, tapi tidak ada satupun dari kalimatnya yang mampu Shea simak.Dia terus memantau jalan, berharap bisa segera turun, tapi Pram jelas tidak akan berhenti kalau Shea minta drop di tengah jalan seperti ABG pacaran back street dan minta diantar jemput depan gang.“Jadi kamu ini mahasiswa fashon design ya? Wah, Mba belum pernah loh punya kenalan orang-orang fashion, kecuali influencer ya, tapi basicnya pasti beda banget kan? Berarti kalau kuliah yang dipelajari apa aja? Gambar-gambar baju gitu?” tanya Mba Mala tanpa malu-malu, melirik Shea yang duduk di kursi belakang dengan tegang.Kalau hanya gambar-gambar baju, Shea mungkin sudah menjadi Princess sejak TK. Sambil meringis dia menjawab otomatis. “Sebenarnya banyak Mba, mulai dari ngukur badan, b
Shea segera menyembunyikan hasil USG-nya dengan menjejalkannya ke dalam tote bag lalu memandang Pram.“Ha-halo, Pram.” Dia berkata canggung. “Kamu sendiri ngapain?”Tangan Shea mendadak dingin, tapi punggungnya terasa panas. Dia melihat Pram mengerutkan kening, memandang ke tempat hasil USG-nya disembunyikan.Tanpa sadar Shea menggenggam tasnya lebih erat, seakan takut dijambret.“Aku habis menemani Mba pemeriksaan rutin.” Dia menjawab.Secara bersamaan seorang wanita berambut sebahu dengan perut buncit muncul dari balik punggung Pram.“Pram udah semua nih, Mba minta di-print dua lembar hasilnya, nanti satunya dikirim ke Bunda, kamu—Oh, halo?” Perempuan itu menyadari kehadiran Shea dan langsung menyapa. “Siapa ini Pram?”“Shea.”“Shea?” ulang beliau, menyebutkan nama Shea seakan familier, matanya dengan terang-terangan memindai penampilan Shea lalu tersenyum. “Oh—”“Shea, ini Mba aku, Mala.” Pram seger
Ketika terbangun keesokan paginya, hal pertama yang Shea sadari adalah Jerikho sudah berangkat kerja. Laki-laki itu sepertinya memang tidak repot-repot akan membujuk atau peduli dengan kemarahan Shea. Mereka berasal dari satu darah yang sama meski beda ibu tapi Jerikho jelas sama brengseknya seperti Adimas. Shea buru-buru berjalan keluar, merasa perlu memastikan kalau Adimas sudah angkat kaki. Namun, baru knop diputar, Shea langsung mendengar sumpah serapah, melihat sekilas barang-barang yang dipindahkan. Dengan bijaksana Shea menutup kembali pintu apartemennya. Oke, Adimas sedang beberes. “Buka She.” Pintu diketuk brutal. Sial, sepertinya Adimas melihat Shea. “Kita harus bicara, anak kamu itu anak aku juga, jangan bersikap nggak adil.” Shea mendengus. “Jangan memaksa aku buat bertindak menggunakan kekerasan She. Kamu mau masuk rumah sakit lagi?” Perut Shea memberontak, bayangan hari itu ketika darah mengucur deras membasahi wajahnya, membuat Shea gemetar. Ada des
“Kalau tau batasan, harusnya Abang nggak membiarkan dia berada di sini, aku bahkan nggak mau ngelihat wajahnya di sekitar aku, apalagi sampai minta hak asuh untuk anak yang sedang aku kandung. Apa dia punya masalah dengan kewarasan?”Jerikho mematung di tengah-tengah jalan living room, memandang istrinya yang kini berdiri dengan wajah merah padam, tangan terkepal seolah siap bertempur.“Adimas?”“Persis di samping unit kita.”Dalam sekali pernyataan, Jerikho bisa memahami situasinya. Dengan tenang dia meletakkan tas kerja berisi kasus pidana di sofa, lalu menyusul duduk di sana, dan meminta Shea melakukan hal yang sama.“Kamu bisa bicara pelan-pelan.”Shea menolak nurut. “Abang yang mengusulkan supaya dia tinggal di sana?”“Untuk apa aku melakukan itu?”“Dia bilang kalau unit itu punya Abang, dia nggak mungkin ada di sana kalau Abang nggak mengizinkan, kan?”Sebenarnya unit yang Shea maksud milik keluar
Jangan mentang-mentang Adimas anak mafia migas secara turun menurun yang tidak tersentuh hukum sejak zaman presiden kedua Indonesia menjabat, lantas semua perempuan birahi sama dia. Mungkin itulah akibatnya dari memberi makan anak dengan uang haram, kelakuannya bikin ngelus dada. “Semoga kamu nggak kayak bapakmu, Nak,” bisik Shea sambil mengusap perut. “She?” “Ya?” Seorang laki-laki menjulang sedang berdiri menunduk menatapnya saat Shea menoleh. Jantung Shea langsung jumpalitan tapi dengan cara yang sangat berbeda. Shea segera menurunkan tangannya. Pram menangkap gerakan itu, dia tersenyum. “Jarang kelihatan di kampus akhir-akhir ini, sudah mulai nyusun tugas akhir?” “Belum masih niat, kamu udah?” “Baru judul. Ada kelas pagi ini?” Basa-basi, tapi ini adalah jenis basa-basi yang Shea suka. Agak mengerikan bagaimana Shea masih sangat berharap dengan Pram. Bahkan setelah semua yang terjadi. Perasaan Shea masih sama. Tapi mengingat statusnya saat ini, sekaligus anak
Sebulan setelah menikah, Shea menyadari kalau Jerikho sangat sibuk. Dia hampir jarang berada di apartemen. Pergi pagi, dan pulang larut. Mereka tidak pernah bertemu kecuali di meja sarapan. Itupun kadang Jerikho harus menginap di kantor karena mengurus persidangan. “Kamu mulai kuliah hari ini?” “Aku akan pulang sore.” Sebenarnya, dia tidak perlu memberi info kapan akan pulang, karena toh, Jerikho tidak akan repot-repot bertanya. Tapi sepertinya Jerikho menghargai niat baik Shea, sebab dia mengangguk. “Pak Aidan akan mengantar kamu kalau gitu.” Kemudian dia berdiri, membawa serta piring kotornya untuk dicuci. Shea megap-megap di meja makan. Dia tidak laporan untuk mendapatkan tumpangan. Selama ini, Shea sudah terbiasa pulang-pergi kampus bersama ojol tanpa bergantung dengan orang lain. “Aku nggak pa-pa,” kata Shea, akhirnya, menyusul Jerikho ke pantry. “Airlangga nggak jauh dari sini, aku nggak mau ngerepotin karyawan... Abang.” Ada jeda canggung di antara ucapan She