"Assalamualaikum?" Sebuah salam dari luar terdengar seperti suara perempuan. Aku pun langsung berdiri dari sofa dan menyibak selimut yang menutupi tubuhku selama rintik hujan terus membasahi kota ini. "Wa'alaykumsalam," ucapku sambil membuka pintu kamar. "Loh, Syifa. Sama siapa kamu datang?" Ternyata, anak Tante Bianca. Yang saat nikahanku dan Mas Dimas itu kami pertama kami bertemu. Dia gadis yang sangat ceria. "Sendirian lah, Mbak. Aku kebetulan tadi lagi ada acara di sini. Nah, pas banget liat story wa Bang Dimas. Ya udah, aku mampir aja. Mau ketemu Mbak." Dia tertawa, dan langsung masuk saja. "Oh, wah kamu bawa apa ini? Kenapa banyak banget?" Kulihat dia meletakkan bungkusan plastik berisi Snack dan gorengan. "Makan yuk, Mbak! Aku laper, habis beli ini langsung ke sini. Hujan lagi, aku kebetulan enggak ada penginapan. Numpang bentaran boleh kan di sini?" tanyanya lagi sambil menggigit gorengan batagor yang dia beli. "Boleh lah. Hitung-hitung, temenin aku di sini. Bosan juga
Setelah insiden kecil dari bandara itu, aku beberapa hari dirawat di rumah sakit. Ketika hendak menyeberang jalan, tak sengaja sebuah mobil menyerempet dan aku tak sadarkan diri kata orang yang menolongku. Aku dibawa ke rumah sakit, dan saat sadar, aku sedang diperiksa oleh seorang dokter dengan wajah yang sangat tak asing. Ya, dia lelaki yang suka sama Ayu waktu itu. Entah mereka sudah menikah atau belum, yang pasti, aku kembali ke sini untuk sebuah bisnis. Belum ada balasan juga dari Ayu setelah pesan kukirim waktu itu. Atau, mungkin dia memblokir nomorku? Ah, rasanya sungguh menyedihkan. Kini, aku tinggal di sebuah rumah baru. Aku tidak sendirian, melainkan ada pembantu. Rumah lama dan semua barang-barang sudah aku jual dan ganti dengan yang baru. Aku hanya ingin nuansa baru. Karena memang, aku telah memulai kehidupan baru. Tanpa orang tua, tanpa istri apalagi anak. Di usia yang segini, tentunya bukan main-main lagi, bukan sekadar menyenangkan diri, tapi, lebih dari itu. Aku b
Wanita bernama Sindy itu berjalan ke depan sambil menghentakkan kakinya dengan keras. Wajahnya cemberut, bibirnya maju dua senti, rasanya aku ingin tertawa tapi khawatir dia sadar. Sepanjang jalan, Mas Dimas tak pernah melepaskan genggaman tangannya pada tanganku. Tak peduli wanita di jok depan itu terus melirik pada kami. Aku malah semakin membuatnya kepanasan dengan memeluk lengan suamiku. Belajar dari yang sudah-sudah, aku tak mau kelihatan lemah lagi. Aku bukan Ayu yang dulu. Ayu yang dulu sudah pergi bersama masa lalu yang buruk. Kini, tinggal Ayu yang akan terus menggandeng suaminya. "Mas, pulangnya nanti aku nebeng lagi, ya," ujar wanita itu di tengah jalan. Karena malas mendengar obrolan mereka, aku hendak melepaskan tangan yang masih dalam genggaman lelaki itu. Namun, Mas Dimas tak mau. Dia malah makin erat. "Aku sama Ayu ada urusan, Sin. Jadi, mungkin kita enggak bisa barengan lagi. Atau, biar sopir aku aja yang antar kamu ke Jakarta lagi nanti. Biarkan aku sama Ayu naik
"Oh, gitu ceritanya." Aku manggut-manggut setelah lelaki itu bercerita. "Iya gitu lah. Aku harap, kamu enggak ketemu dia lagi. Aku enggak mau ada sisa perasaan dia padamu dan makin tumbuh seiring kalian sering bertemu," ungkapnya. "Mas percaya sama aku? Kenapa enggak tanya, aku masih punya perasaan sama dia apa enggak?" Sengaja aku ingin tahu bagaimana reaksinya. "Aku percaya sama kamu. Aku yakin kamu paham dan selalu menjaga hatiku." Dia mendekati wajahku. Namun, aku menjauh karena merasa di tempat terbuka seperti ini, kurang nyaman saja. "Aku bekas. Aku tidak seperti dulu lagi. Kenapa Mas memilihku? Padahal, ada banyak ribuan wanita yang masih bersih dan jauh lebih cantik.""Bersih gimana? Memangnya kamu enggak? Perempuan yang sudah tidak perawan karena dia menikah dengan sah itu tetap suci, Sayang. Meskipun dia sudah bercerai. Aku tidak peduli meskipun kamu bekas orang. Aku tidak mau tau lagi, meskipun kamu pernah mencintai lelaki mana pun. Yang penting sekarang, masa depan kit
Aku tidak lagi membalas. Bahkan aku memblokir kontak lelaki itu. Aku takut. Takut ada fitnahan lagi. Belum kelar sakit hati karena ucapan ibu-ibu di sini, malah datang masalah baru nanti. "Dek," panggil Mas Dimas. Dan saat itu juga, kedua pundakku berjingat. "Eh, udah mandi, Mas?" tanyaku balik. "Udah. Oh ya, enggak usah bawakan sarapan, ya. Aku langsung berangkat. Ada pasien gawat darurat." Lelaki itu merapikan kemejanya sambil menjawab. Aku berdiri, lalu membantu lelaki itu merapikan pakaiannya juga. Dia beralih ke kaca lemari dalam kamar Bella, sambil melihat penampilannya yang terlihat paripurna. "Udah, jangan ganteng-ganteng. Nanti banyak yang naksir," ujarku setengah cemburu buta. Lelaki berparas tampan itu tertawa. "Meskipun banyak yang suka, tapi hanya kamu yang ada di hatiku. Percaya, kan?""Hem." Aku menunduk. Spontan, tangan lelaki itu menarik daguku. Namun, adegan yang hampir terlihat tanpa jarak itu harus tertunda karena Bella terdengar sudah keluar dari kamar mand
Akhirnya, aku menuruti apa kata lelaki itu. Untuk yang pertama kalinya, aku mencium kedua pipinya. Sampai-sampai, dia tampak begitu menikmatinya. "Udah, ah! Buruan, Mas, cariin!" Aku mendorong lembut lengan kekar itu. "Kenapa ... rasanya jadi berat ya, mau keluar?" Dia tertawa. "Nanti aku minta dicium lagi, boleh?" "Lah." Aku ikut tertawa. "Sini, aku cium ganti!" Dia menarik kepalaku, lalu kening ini ia kecup begitu lama. "Makasih, ya.""Iya." Maklumlah, pengantin baru memang sedang dilanda manis-manis kebersamaan. Lelaki dewasa itu lantas berjalan keluar kamar setelah dia kuminta berulangkali. Malam beranjak begitu cepat, setelah mendapatkan apa yang kubutuhkan, aku kembali turun ke lantai bawah bersama Bella karena dia sudah bangun. Ada beberapa orang di bawah yang masih duduk bersama Mas Dimas. Mereka mengobrol dan terlihat orang-orang itu sepertinya orang terdekat keluarga ini. "Ayu, kenalkan, ini Tante Bianca dan suaminya, Om Indra," ujar Mas Dimas setelah melihatku turun