‘Sudah hampir satu bulan lamanya, tidak ada kabar dari Mas Dani. Apa memang benar bahwa sekarang Mas Dani akan pergi selamanya karena sudah ketahuan istrinya lagi?’ Bathin Nisa dalam hatinya.
Nisa merenung menatap hamparan sawah yang hijau sejauh mata memandang melalui kaca jendela kereta ekonomi Rangkasbitung-Merak, seraya menyandarkan tubuhnya di kursi tersebut. Ya, wanita polos itu baru saja pulang dari kampusnya di Jakarta, ia kembali melanjutkan belajarnya pada tingkat yang lebih tinggi lagi, terlebih agar membuat dirinya lebih luas lagi pergaulannya, yang saat ini benar-benar kudet, katro, dan kuno. ‘Seharusnya kamu gak pernah hadir dalam hidupku, Mas, jika akhirnya hanya membuat luka saja padaku,’ ucap Nisa lagi dalam hatinya, merutuk keadaan. ‘Ahh, aku saja yang memang bodoh, bisa tergoda oleh lelaki seperti itu.’ Nisa terus menerus memaki keadaan dan juga memaki dirinya juga yang begitu bodoh. Ia, menyesali semua tindakannya, ia menyesal tela“Ada apa, Bu Nisa? Tumben ngajak saya ngomong, gak biasanya nih” tanya Wahyu dengan wajah cerah kepada Nisa ketika di kantor sekolah, yang juga disaksikan oleh Deden, serta Riri, sebagai sahabatnya.Sebenarnya ingin sekali Nisa marah dan mencaci maki lelaki yang ada di hadapannya itu, akan tetapi ia urungkan kembali setelah mengingat pesan lelaki tua yang ia temui kemarin di kereta, agar bersikap baik kepada orang yang menjampi-jampinya. Dengan tujuan, tentu saja, agar lelaki itu rela dan ikhlas jika Nisa menolak cintanya, serta agar lelaki itu pun mau menghentikan niat jahatnya dan mencabut jampi-jampi yang sudah ia lakukan.Nisa mengembuskan nafasnya berat, berulang kali, bukan sekali saja, sebab ia sedang mencoba untuk mengendalikan emosinya, agar tidak berlarut-larut dan meluap.“Saya mau tanya, tapi jawab dengan jujur,” ucap Nisa yang kini terhenti lagi, sehingga menjadikan Wahyu hanya mengerutkan dahinya saja, tak mengerti dengan sikap Nisa yang berbe
“Mbah, kok gak bilang-bilang sih sama saya kalau peletnya gagal pada target?” tanya Wahyu bersungut-sungut sebal kepada lelaki setengah tua, yang katanya adalah orang pintar.Lelaki setengah tua itu sedikit terkejut dengan kedatangan Wahyu yang tiba-tiba saja tanpa mengetuk pintu terlebih dulu, selonong boy begitu saja, tidak punya sopan santun karena saking kesal dan sebalnya.“Kenapa gak mengetuk pintu dulu, Wahyu! Kamu ini kebiasaan sekali,” balas lelaki setengah tua itu yang bernama Mbah Mijan bersungut-sungut pula.Wahyu dan Mbah Mijan memang sudah akrab, keduanya sudah sering kali bertemu, terlebih memang bahwa Mbah Mijan itu adalah salah satu keluarganya pula, keluarga jauh lebih tepatnya.“Saya kesal karena pelet yang Mbah kirimkan untuk wanita yang saya suka itu ternyata gagal, bahkan dia juga tahu kalau saya udah memeletnya,” tutur Wahyu lagi menjelaskan kepada Mbah Mijan dengan wajah yang masih menampakkan rasa kecewa dan kesal.“Mbah sudah
“Ada apa, Bu?” tanya Nisa kepada ibunya, entahlah tiba-tiba saja wanita polos itu dipanggil oleh ibunya, seperti akan membicarakan sesuatu yang sangat penting sekali.“Jadi begini, kemarin siang Bu Wawat ke sini, katanya kamu mau gak dikenalkan dengan keponakannya, anak dari adiknya Bu Wawat,” ucap Ibu kepada Nisa langsung saja, tanpa basa-basi lagi mengatakan maksud dan tujuannya.Nisa masih terdiam, ia masih belum bisa mencerna apa yang dimaksudkan oleh ibunya.“Jadi, keponakannya Bu Wawat itu sedang mencari istri, katanya, orangnya baik, kalem, dan juga sudah haji, jadi udah pasti dia sangat taat agamanya.” Ibu menjelaskan lagi, kini sudah fahamlah dengan apa yang dimaksudkan oleh ibunya itu, ternyata hendak berniat menjodohkan.Bagaimana bisa Bu Aisyah itu mengatakan bahwa lelaki yang akan dijodohkan dengan Nisa adalah orang yang taat beragama hanya karena sudah naik haji? Padahal sudah jelas pada zaman saat ini gelar haji hanya dijadikan sebagai gengsi
“Waalaikumussalam.” Bu Aisyah − Ibunya Nisa pun segera bergegas menuju depan, membukakan pintu dan melihat pula siapa gerangan yang datang bertamu ke rumahnya.“Bu Aisyah,” sapa wanita paruh baya yang usianya sekitar setengah abad.“Eh, Bu Wawat, silakan masuk, ayok!” seru Bu Aisyah, ketika tahu bahwa yang bertamu ke rumahnya pada malam hari itu adalah Bu Wawat, orang yang memang ia sedang tunggu juga, bahkan awalnya, Bu Aisyah ingin langsung datang ke rumah Bu Wawat, hanya untuk memberikan kabar bahwa Nisa bersedia untuk dijodohkan dengan keponakannya.Kedua wanita paruh baya itu pun langsung masuk ke dalam rumah, yang tentunya di ruang tamu sana ada Nisa dan juga bapaknya, Epi.“Wah, kayaknya lagi kumpul juga, ya,” seru Bu Wawat ketika ia sampai di ruang tamu dan mendapati Nisa di sana, orang yang memang sedang ia tunggu juga jawabannya.“Wah, iya nih, Nisa juga ada di rumah, pas sekali Bu Wawat datang ke sini,” timpal Pak Epi yang kini ikut berkomen
“Jadi ini Haji Eneng, adik saya itu, Bu Aisyah, Pak Epi, dan juga anaknya Reza.” Bu Wawat memperkenalkan adiknya itu beserta dengan suami dan juga anaknya, yang akan dijodohkan dengan Nisa.Ya, keluarga Bu Wawat kini sedang mendatangi rumah Nisa, sebagai pertemuan pertama, dan juga sekaligus sebagai tanda jadi, karena keduanya sudah sama-sama saling menerima perjodohan tersebut.“Oh, iya, Bu Haji,” ucap Pak Epi, yang kemudian semuanya pun kini saling berkenalan satu sama lain, disusul dengan senyuman Bu Aisyah dan juga Nisa.“Jadi adik saya ini memang sejak SMP sudah di kota, gak tinggal lagi di sini, dia sekolah di sana sampai kuliah, dan hingga akhirnya ketemu jodoh di sana juga, si Ayah Toni,” ucap Bu Wawat juga memperkenalkan.“Oh, iya, ya, saya juga ingat bagaimana Haji Eneng itu kecilnya,” timpal Bu Aisyah seraya tersenyum lebar.“Oh, iya, jadi ini anak saya, yang paling ganteng dan baik, Reza namanya, Bu, Pak, Nisa, kalau dia sih gimana saya aja
“Jadi bagaimana, Bun? kapan Reza bisa nikah sama Nisa?” tanya Reza kepada Bundanya, ketika mereka tentu saja sudah sampai di rumahnya lagi, di kota, yang memerlukan waktu sekitar 2 jam lebih saja untuk ke rumah Nisa.“Sabar dong, Za, kamu itu baru juga kenal dan ketemu satu kali, udah ngebet banget kayaknya pengin nikah,” celetuk Toni, Ayahnya Reza seraya terkekeh.“He he he. Reza kan pengin cepat punya istri, Ayah, pengin cepat ada yang ngurusin juga,” jawab Reza lagi berkelakar.Eneng masih diam saja mendengarkan suami dan anaknya itu berbincang, sesekali focus pada ponselnya, entah apa yang sedang wanita itu lakukan.“Si Bunda sibuk banget sih, Za, lagi apa sih dia?” tanya Toni kepada Reza seraya mengangkat kedua alisnya, dan dengan penuh rasa penasaran pun, Reza mencondongkan tubuhnya ke arah bundanya, untuk mengecek apa yang sedang ia lakukan.“Wah, si Bunda lagi stalking Face book Nisa, kayaknya, Yah,” jawab Reza kepada Ayahnya, lalu kembali mena
[Hallo, Nisa sayang, kamu lagi apa, sayang?] tanya Reza kepada Nisa melalui pesan singkat yang dikirimkan oleh lelaki itu dengan tata bahasa yang selalu berulang kali digunakan double. Nisa hanya tersenyum datar saja ketika mendapati pesan dari calon suaminya, ia sendiri sudah pasrah dengan apa yang terjadi kepadanya saat ini, mungkin dengan perjodohan ini akan menghilangkan perasaannya juga kepada Dani. Sebab Nisa cukup yakin dengan dirinya sendiri bahwa ia akan setia kepada lelaki yang menjadi suaminya nanti. Ia pasrah menerima begitu saja untuk menikah dengan lelaki yang baru saja ia kenal beberapa hari lalu, karena memang ibu dan bapaknya sudah percaya penuh kepada mereka. Biarkan saja dulu Nisa menyenangkan hati kedua orang tuanya dengan pernikahan tersebut. Toh ini adalah pilihan mereka, yang dianggapnya tepat, katanya pilihan orang tua selalu tepat, begitu katanya. “Aku lagi rebahan aja,” jawab Nisa singkat
“Eh, kemarin aku lihat ada mobil putih di depan rumahmu, siapa itu, Nis?” tanya Riri kepo kepada Nisa, tanpa memanggilnya dengan gelar ‘bu’ seperti yang lainnya, sebab memang Nisa ada di bawah Riri usianya, hanya selisih 2 tahun saja, terlebih keduanya sudah sangat akrab sekali, bahkan Nisa pun sering juga memanggil nama langsung kepada Riri.Nisa terdiam sejenak, ia tak langsung menjawab, sebab ia pun masih enggan untuk menceritakan masalah perjodohannya tersebut kepada orang lain.“Aku mau dijodohkan dengan keponakannya Bu Wawat yang di kota.” Nisa menjawab dengan singkat, akan tetapi sudah cukup membuat Riri terkejut mendengarnya, bahkan terkesiap, seraya matanya terbelalak.“APA? DIJODOHKAN DENGAN KEPONAKANNYA BU WAWAT?” mulut Riri sedikit terbuka karena saking terkejutnya, menganga dengan mata terbelalak. “Iya, katanya sih keluarga dia yang di Kota berbeda dengan yang di kampung kita, gak songong dan sombong,” ucap Nisa, seperti sudah tahu dengan maksu