Share

Pendakian Ke Bukit Cinta

 ~Setiap perjalanan akan mengukir sebuah cerita. Apalagi perjalanan menuju bukit cinta~

 Mendekati arah bukit yang mereka tuju,  rumah-rumah mulai jarang. Rumah-rumah dan jajaran gedung-gedung mulai tergantikan pemandangan pepohonan yang rapat. Pohon-pohon ini mulai menyejukkan mata. Bukit yang mereka tuju bernama Bukit Cinta. Sebuah bukit yang cukup tinggi dan terkenal di kawasan ini. Konon katanya, bukit ini merupakan tempat untuk mencari cinta sejati. Setelah berkunjung ke bukit ini, orang-orang akan menemukan cinta sejatinya. Namun itu hanya sebatas konon. Sagita tidak terlalu percaya. Kalaupun benar juga untuk apa? Toh cinta sejati Sagita juga sudah ditemukan, yaitu Mas Danar.

 Sagita satu mobil dengan Mas Danar dan juga Delia. Sementara itu, Risa dan Cika satu mobil dengan Yoga dan juga Jidan. Mobil mereka terparkir di salah satu tempat penitipan mobil yang tidak jauh dari kaki bukit. Danar, Jidan dan Yoga sibuk menurunkan semua barang-barang yang ada di bagasi. Sementara Cika, Risa, Delia dan Sagita justru asyik berfoto ria. Sagita yang paling banyak bertugas untuk memfoto.

 Cekraaak! Cekreeek!

 Semua jepretannya bagus. Membuat Cika dan Risa senang, terlebih lagi Delia. Tugasnya sebagai seorang dokter membuat Delia sulit untuk mendapat golden time seperti ini. Bisa dikatakan jika Delia jarang berlibur. Kalaupun berlibur, biasanya dia hanya akan menghabiskan waktu di hotel mewah bukannya di alam dengan pemandangan cantik seperti sekarang.

 "Del! Boleh ambilin foto aku sama Risa dan Cika?" pinta Sagita.

 "Boleh! Sini kameranya!"

 Delia mengambil beberapa foto. Namun senyum Sagita sedikit pudar melihat hasil fotonya. Hasil fotonya jelek, kabur dan komposisinya juga tidak pas. Wajah Sagita justru terlihat aneh di dalam foto itu. Sagita sedikit mengeluh dalam hati. Baginya ini tidak adil. Dia bagus sekali mengambilkan foto Delia, namun Delia justru malah sebaliknya. Sayangnya Sagita berusaha untuk tetap tenang dan berusaha membuang rasa benci itu. Sagita tidak mau menghabiskan waktunya hanya untuk membenci dan iri pada Delia.

 "Hai! Hai Kalian ciwi-ciwi cantik! Ayo naik! Ini waktunya kita untuk mendaki bukit. Nanti keburu malam. Enggak bisa lihat sunsetnya!" Yoga berteriak memanggil semuanya.

 Sagita dan yang lainnya segera bergegas untuk ikut mendaki bukit. Masing-masing dari mereka mulai membawa tas ransel di pundak. Yoga dan Jidan menawarkan bantuan pada Delia. Sebab di antara semua wanita itu, hanya Delia yang barang bawaannya paling banyak.

 "Sini Del! Biar aku bantu bawa tas kamu yang satu lagi!" kata Yoga menawarkan bantuan.

 "Enggak perlu Yoga! Nanti kamu keberatan. Kamu juga udah bantuin bawa tas Risa juga, kan?"

 "Ah! Tas Risa yang ini kecil kok! Ringan, juga enggak masalah."

 "Atau mau aku yang bawakan?" Jidan tidak mau ketinggalan menawarkan bantuan.

 "Enggak perlu Jidan!"

 "Yakin? Nanti kamu jatuh loh, dengan barang bawaan sebanyak itu."

 "Iya enggak perlu Jidan!"

 Danar memimpin jalan. Tepat di belakang Danar ada Sagita yang memegangi tas ransel Danar dari belakang. Sementara Jidan mendapatkan posisi paling belakang, untuk menjaga-jaga agar tidak ada yang ketinggalan rombongan. Di belakang Sagita ada Cika dan Risa, disusul dengan Delia yang berada di depan Yoga. Mereka semua mendaki jalan setapak yang menanjak untuk bisa sampai ke bagian puncak bukit.

 "Ayo! Ayo! Jangan lemah kakinya. Harus kuat sampai atas!" teriak Jidan dari arah belakang.

 "Naik-naik, ke puncak bukit! Tinggi-tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja, ada banyak cewek cantik! Kiri kanan kulihat saja ada banyak cewek cantik uhuy!" Yoga bernyanyi riang sambil merentangkan kedua tangannya. Sagita tersenyum lebar. Dia benar-benar bahagia. Sesekali Danar menoleh ke belakang untuk bercakap-cakap sejenak dengan Sagita. Sebelah tangannya menenteng barang-barang dan sebelah lagi menggandeng tangan Sagita.

 "Aduh! Aduh! Lengketnya orang depan ini. Nempel terus kayak perangko! Hargailah perasaan para jomblo di belakang ini Danar!" Yoga protes melihat kemesraan Danar dan Sagita.

 "Ini sengaja loh Yoga! Biar kalian semua pada termotivasi, terus cepat-cepat menikah! Punya kekasih halal itu enak loh!"

 "Ah! Hoax!" Jidan memasang wajah pura-pura tidak percaya.

 "Kak Delia belum menikah juga ya? Jomblo juga sama kayak kita?" tanya Cika pada Delia.

 "Iya. Jomblo. Enggak punya kekasih."

 "Kok bisa? Kakak kan cantik banget!" tanya Risa. Sedari tadi sebenarnya Risa memang mengagumi kecantikan Delia. Wajahnya, bibirnya, rambut Delia, serta kaki Delia yang jenjang membuat Risa kagum akan kecantikan Delia.

 "Iya. Belum ketemu sama pria yang cocok yang bisa buat nyaman."

 "Ah yakin? Aku bisa loh buat kamu nyaman." Yoga menimpali.

 "Aku kira buaya cuman ada di sungai, ternyata buaya juga ada di atas bukit."

"Hahahahaha!"

 

 Semua orang tertawa dengan celetukan Risa. Yoga hanya tersipu malu untuk kemudian malah meminta maaf pada Risa. Dirinya jadi bingung sendiri. Awalnya dia berencana mendekati Risa dalam momen kemah di atas bukit ini. Namun harus diakui, tidak mungkin Yoga mampu menarik diri dari kecantikan Delia. Baginya Delia tetap wanita paling cantik yang pernah dia temui. Dan momen seperti ini sangat jarang terjadi. Momen dimana dia bisa dekat dengan Delia.

 "Kita boleh istirahat dulu enggak? Cika capek!"

 "Eh, Sayang capek?" tanya Jidan pada Cika.

 "Mau Abang Jidan gendong?"

 Celutaaakk!

 "Aduh!" Jidan mengelus kepalanya yang baru saja dijitak oleh Yoga. Yoga menganggap jika Jidan sudah kelewatan sekali buayanya.

 "Jidan! Kita ini boleh jadi buaya. Tapi harus jadi buaya yang baik. Jangan jadi buaya yang terlalu jahat!"

 "Halah! Buaya ya tetap aja buaya! Dasar Jidan dan Yoga! Oke semuanya kita istirahat sejenak ya! Habis itu kita langsung naik lagi, enggak ada istirahat. Tenang aja, enggak jauh lagi kok puncak bukitnya. Dikit lagi."

 Napas Cika, Risa, Sagita dan Delia mulai terengah-engah. Berbeda dengan Yoga, Jidan dan Danar, mereka masih tetap stabil menarik napas. Rombongan laki-laki memisahkan jarak sedikit dengan rombongan wanita. Ada hal penting yang harus diobrolkan.

 "Gilak! Gilak! Cantik banget tau enggak sih Delia itu. Semakin berkeringat semakin cantik!" Yoga berbisik pada Jidan dan Danar.

 "Hush! Bukan muhrim!" Jidan mencoba mengingatkan.

 "Halah bukan muhrim! Tapi dari tadi aku lihat kamu curi-curi pandang terus ke arah Delia."

 "Curi-curi pandang dari Hongkong? Ya mau gimana lagi? Aku ini posisinya paling belakang, sudah pasti melihatnya ke depan. Ke arah Delia!"

 "Alasan kau saja itu Jidan. Bilang saja jika kau berminat pada Delia."

 "Sudah! Jangan pada bertengkar. Kalian jangan malah memperbutkan Delia. Belum tentu Delia juga mau sama kalian. Siapa tahu jangan-jangan .... "

 "Jangan-jangan apa?" Yoga dan Jidan kompak bertanya pada Danar.

 "Jangan-jangan Delia naksirnya malah ke aku. Hahahahaha!" Danar tertawa. Sayangnya tawa itu tidak disambut baik oleh Jidan dan Yoga.

 "Itu enggak lucu Danar!" jawab Yoga dengan wajah serius.

 "Eh, kenapa?"

 "Kamu udah punya istri," Jidan menanggapi.

 "Tapi jatah setiap laki-laki itukan empat? Hahahah! Bercanda-canda! Aku cuman bercanda kok!"

 "Kami tahu jika kamu itu bercanda Danar! Tapi kami cuman mau memperingatkan dari sekarang. Jangan coba-coba bermain api dengan Delia. Bahaya! Kamu hanya akan menyakiti Sagita." Jidan berkata dengan wajah serius sekali. Hal itu membuat Danar jadi salah tingkah, seolah ada tatapan marah dari Yoga dan Jidan. Marah jika sampai Danar menyakiti Sagita.

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status