~Pertanyaan yang menggunakan kata kapan memang mengesalkan. Kapan wisuda? Kapan menikah? Kapan punya anak? Dan kapan kita pindah rumah?~ Aroma kopi menyelimuti ruang makan. Suasana sunyi di pagi itu belum ada yang berani merusaknya. Sepasang burung gereja sedang asyik berciap-ciap di atas dahan pohon mangga. Suara burung itu bisa terdengar hingga ke ruang makan. Dimana duduk sepasang suami istri yang saling berhadap-hadapan. Satu Sagita dan satu Danar.
"Kapan kita pindah rumah, Mas? Gita udah enggak tahan lagi. Mas dulu yang janji kalau kita tinggal di rumah ini cuman beberapa bulan aja. Ini udah ganti kalender Mas. Udah hampir satu tahun kita tinggal di rumah orangtua kamu." Orang yang ditanya hanya bisa menundukkan kepala. Andai ini hari kerja, pasti akan lebih mudah untuk menghindar dari pertanyaan itu. Sayangnya ini hari libur, tanggal merah. Tidak bisa lari, tidak bisa menghindar. Istri yang dinikahinya satu tahu yang lalu ini mulai menuntut. Mumpung rumah lagi sepi. Sang mertua belum pulang dari lari pagi, Gita malah mengambil sendok yang ada di tempat sendok. "Aku itu pengen merasakan beli sendok sendiri, Mas! Beli piring sendiri, beli gelas sendiri, punya panci sendiri. Biarin ngontrak, enggak masalah. Yang penting kita bisa lepas dari orangtua kamu. Hidup mandiri." Sagita menatap tajam ke arah suaminya. Suaminya itu malah melemparkan pandangan ke arah luar. Ke sebuah jendela yang besar yang ada di samping ruang makan. Dari situ dia bisa melihat seekor tupai lompat, sambil membawa sebuah rambutan merah. Pasti tupai itu mencuri dari halaman belakang. "Jangan diem aja, Mas! Aku butuh jawaban." Belum sempat Sagita mendapatkan jawaban yang dia minta. Sepasang suami istri masuk ke dalam ruang makan. Dan detik itu juga, raut wajah marah Sagita berubah jadi cerah. Lebih tepatnya, cerah yang dibuat-buat. Senyumnya mengembang. Dirapikannya daster tangan panjang yang dia pakai. Jilbab instannya yang miring sedikit juga dirapikan. "Loh, Ibu sama Bapak udah pulang? Kok cepet?" tanya Sagita dengan raut wajah 180 derajat berbeda dari raut wajahnya tadi saat berbicara dengan suaminya. "Iya. Sepi suasana lari pagi kali ini. Enggak seperti biasanya. Ya Bapak pulang aja dong! Eh, Danar! Ada kegiatan tidak hari ini? Ikut Bapak ke ladang belakang ya! Kita bersihkan itu rumput di sekitar pohon-pohon cabe bapak." "Enggak ada Pak! Iya nanti Danar bantu." "Eh, kamu buat nasi goreng, Git?" "Iya Bu! Buat sarapan Mas Danar sama buat Ibuk dan Bapak juga. Ayo makan Buk!" Mertua Sagita itu mengambil piring. Usianya memang sudah tua. Kepala lima, namun badannya masih sehat bugar. Rajin olahraga adalah salah satu kunci dari kebugaran mertuanya ini. Tidak menunggu lama, piring yang diambilnya tadi sudah berisi satu centong nasi goreng. "Ih! Ini nasi goreng kamu terlalu asin. Enggak enak! Kurangin dong garemnya. Kamu mau buat Danar terkena darah tinggi, masak nasi goreng seasin ini? Jangan asin-asin kali dong kalau masak. Orang kita itu percaya, kalau masak terlalu asin, itu artinya seseorang yang masak itu minta kawin. Kamu itukan sudah kawin, apa mau minta kawin lagi? Jangan dong! Jadi istri itu harus setia. Setia sama Danar!" Rusak sudah kedamaian di pagi itu. Hati Sagita yang sudah kesal dengan suaminya, sepagi ini harus tambah kesal lagi. "Filosofi darimana jika masakan terlalu asin maka orangnya minta kawin lagi? Kalau kepedasan berarti minta cerai, gitu? Kalau kepahitan minta mati?" Pikiran seperti itu berkecamuk di dalam hati Sagita. "Maaf ya Bu! Kalau terlalu asin!" Sagita berusaha mengontrol emosinya. Satu tahun belakangan dia memang sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Terbiasa bukan berrati dia bisa dengan tenang menerima perkataan mertuanya. Hatinya tetap sakit. Di bawah meja makan itu, Sagita menendang kaki Danar sekuatnya. Danar tidak bereaksi. Tidak mungkin juga Sagita berteriak marah-marah. Susana justru akan semakin kacau. Tang! Ting! Tang! Ting! Suara sendok dan piring saling beradu. Kedua mertua Sagita tengah asyik menyantap nasi goreng dan telur mata sapi. "Asin? Asin sekali? Tapi udah nambah 3 kali? Gila banget mertuaku satu ini. Kalau asin dan enggak enak? Kenapa nambah sampai 3 kali? Pengen banget itu nasi goreng aku kasih sianida. Tuhan! Sabarkan Sagita Feraya ini Tuhan....!" Gita memang suka berbicara dalam hati. Setidaknya dalam situasi seperti ini, memang dia hanya bisa berbicara dengan dirinya sendiri. Sekarang di rumah memang hanya ada dirinya, Mas Danar dan mertuanya. Tidak ada tempat curhat selain hatinya. "Laper ya Bu?" tanya Sagita pada mertuanya itu. Pertanyaan ini sekaligus menyindir. "Enggak ah! Timbang ini nasi goreng dibuang terus dikasih ayam, mubazir. Lebih bagus dihabiskan. Jangan buang-buang nasi. Harga beras mahal." Sagita hanya mengangguk-angguk seperti burung pelatuk. Hatinya panas setengah mati tapi tetap harus tenang. Pada momen setelah makan seperti inilah momen yang paling berbahaya bagi Sagita. Dia takut mertuanya bertanya yang aneh-aneh. "Anak Pak Warsono, eh! Kamu tahukan Git? Itu loh yang rumanya tiga rumah dari rumah kita. Anaknya dia yang baru nikah 3 bulan yang lalu, udah hamil loh. Tadi Pak Warsono cerita. Yakan, Pak?" Bapak mertua Sagita itu hanya mengangguk sekali. Ketika istrinya berbicara pria yang sudah tua satu ini memang sering memberi konfirmasi atas informasi yang diberikan oleh istrinya. Biasa konfirmasi itu hanya berupa anggukan. Sagita menarik napasnya dalam-dalam. Dia sudah tahu kemana arah tujuan perkataan mertuanya. "Terus kapan kalian punya anak? Udah setahun loh kalian ini menikah? Rumah ini terlalu sunyi. Sedih sekali ibu tiap hari cuman main sama si Meng." Meng adalah seekor Felis Catus alias kucing. Kucing kesayangan mertuanya. Jika Sagita hilang entah kemana, jangankan dicari, ditanya saja tidak. Tapi kalau Meng yang hilang, tidak pulang ke rumah. Mertuanya itu seperti sudah kehilangan emas 5 kilo paniknya. Sagita menarik napas dalam-dalam lagi. Takut dia jika tiba-tiba terkena asma atau terkena serangan jantung akibat pertanyaan mertuanya. "Jawab dong Mas! Jangan cuman diem aja! Kamu mau aku terus dipojokin sama orangtua kamu?" Sagita lagi-lagi bicara dalam hati. Dia melotot ke arah suaminya. Kakinya juga ikut menendang kaki Danar. Berharap suaminya itu peka. Sial. Tidak ada jawaban suaminya hanya diam menunduk. "Suka heran ibu lihat kamu, Git! Ambisi kamu jadi istri Danar itu apa, sih? Kamu itu seharusnya mempersiapkan diri dari dulu untuk jadi seseorang ibu. Gini ya, Ibu pernah dengar ada ustadz bilang gini, 'Tuhan enggak akan kasih kita titipan anak kalau kitanya memang belum siap'. Nah, itu artinya apa Git? Artinya kamu belum siap menjadi sesorang Ibu. Kamu harus mempersiapkan diri dong! Kamu itukan enggak kerja. Kalau Danar, dia sudah bekerja banting tulang tiap hari buat bahagiain kamu? Lah, kamu gimana? Masa kasih anak buat Danar aja enggak bisa?" "Permisi ya Buk! Perut Gita mules. Gita ke kamar mandi dulu." Tidak pakai acara menunggu persetujuan. Sagita segera lari menuju ke kamar mandi. Diraihnya pintu kamar mandi yang paling dekat dengan ruang makan. Jebret! Begitu pintu kamar mandi itu tertutup. Air mata langsung meluncur dari pipi Sagita. Dia terduduk di lantai kamar mandi. Tidak peduli dengan lantai kamar mandi yang basah. Air matanya mengalir deras. "Ini bukan rumah Mas Danar, ini neraka!" isak Sagita dalam hati.~Setiap cerita selalu memiliki akhir, entah itu akhir yang menyenangkan atau menyedihkan. Apapun akhir ceritanya, sebuah cerita tetaplah cerita. Itu adalah alur terbaik untuk setiap tokohnya~Gaun putih itu memang cantik. Namun tetap saja kecantikannya bertambah berkali-kali lipat karena digunakan oleh Sagita. Risa dan Cika juga tidak kalah cantik, mereka ada di barisan paling depan sebagai pagar ayu. Di sisi seberang sana juga tidak kalah luar biasanya. Ada pagar bagus yang dipimpin oleh Dino dan Doni. Ini adalah hari pernikahan Sagita dan Jidan.Pernikahan mereka memang sempat tertunda selama beberapa Minggu hingga Sagita benar-benar bisa pulih. Namun begitu bisa pulih, Sagita dan Jidan langsung menyelenggarakan pernikahan di kebun milih Jidan."Kamu cantik Sagita." Jidan berbisik pada Sagita yang ada di sebelahnya. Mereka sesaat lagi akan sah menjadi suami istri. Tuan penghulu sudah ada di depan Jidan dan siap menjabat tangan Jidan. Jidan
~Dosa paling mengerikan yang dilakukan manusia adalah membunuh sesamanya sendiri~"Sagita..." Jidan memanggil Sagita. Sagita berusaha untuk membuka matanya pelan-pelan. Bagaimanapun ceritanya obat bius itu masih bekerja. Sagita melihat Jidan di depannya, dengan senyum mengembang dan mata yang berkaca-kaca."Kak," Sagita berkata lemah.Yoga, Dino dan Doni menarik napas lega. Satu kabar baik terbit. Sagita sudah sadar dan dokter bilang jika ia akan baik-baik saja. Hanya saja memang Sagita butuh waktu untuk bisa pulih."Terima kasih banyak Sagita. Terima kasih banyak kamu sudah bertahan." Jidan berkata pada Sagita sambil menatap mata Sagita lekat-lekat. Sungguh pandangan mata itu sangat romantis."Apa aku ada di surga?" Sagita bertanya pada sekitarnya."Ini masih di dunia Sagita. Ini masih di dunia. Ini masih di dunia yang sama tempat dimana orang-orang tega memperlakukan kamu dengan kejam. Walau aku berusaha me
~Dalam gelap sekalipun akan tetap ada cahaya harapan walau hanya setitik~Gelap, Sagita hanya melihat gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia hanya bisa mendengar duru napas dan detak jantungnya. Sagita pasrah, ia merasa mungkin kini ia telah mati. Ia merasa jika ia hanya tinggal mendengar malaikan Izrail berseru. Benar saja, beberapa saat kemudian, Sagita melihat cahaya putih. Cahaya itu terang dan terasa lembut mengenai mata, tidak menyilaukan sama sekali. Cahaya itu mendekati Sagita, seolah punya kaki. Lalu cahaya terang tersebut menggumpal dan membentuk wajah dan tubuh manusia. Sagita menarik napas dalam-dalam. Ia seperti itu wajah siapa."Ayah, Ibu." Sagita memanggil nama itu. Cahaya itu menjelma menjadi wajah ayah dan ibunya Sagita. Kedua cahaya itu saling pandang dan lalu merentangkan tangannya ke arah Sagita. Sagita tersenyum dan berusaha untuk bangkit menyambut cahaya itu. Sudah lama ia menahan rindu pada ayah dan ibunya. Sudah lama seka
~Manusia dari zaman ke zaman tetap seperti itu tabiatnya, mereka saling menyakiti satu sama lain~Rumah itu cek. Jidan, Yoga dan yang lain memerika rumah itu dengan cermat. Hancur hati Jidan begitu melihat ada darah di lantai. Ia ngeri membayangkan bagaimana jika ternyata itu adalah darah Sagita."Jendela ini dibuka paksa dari luar. Itu artinya Sagita pasti melarikan diri lewat jendela ini. Hei, mereka menemukan jejak di sebalah sana. Ayo kita ikuti jejak itu dan mulai mencari dimana keberadaan Sagita. Kalian jangan ada yang tangan kosong. Bawa minilam pisau. Dan jangan jauh-jauh dari polisi karena mereka punya senjata. Kita tidak pernah tahu apa yang dibawa oleh Danar. Bisa jadi Danar memiliki senjata api. Dan itu bisa membahayakan kita semua. Kamu juga jangan gegabah Jidan. Jangan karena menuruti rasa khawatir kamu lalu kamu jadi lemah." Yoga memberikan pengarahan panjang lebar. Dan semua orang segera menuju ke arah jejak yang dikatakan oleh Yo
~Menyelamatkan seseorang dari bahaya adalah sebuah kebaikan besar~Hujan deras turun disertai angin kencang. Hal ini membuat perjalanan Jidan dan semua tim penyelamat untuk Sagita benar-benar terhambat. Yoga mau tidak mau bahkan harus mengurangi kecepatan mobilnya. Apalagi saat ini mereka melalui jalan yang berkelok-kelok dan kanan kirinya berbatasan dengan jurang."Kita harus lebih cepat Yoga." Jidan mendesak."Lebih cepat bagaimana? Mobil Doni yang ada di depan kita saja mengurangi kecepatan. Kamu enggak liat apa hujan segini derasnya? Jarak pandang terbatas Jidan. Kita memang akan menyelamatkan Sagita tapi bukan berarti kita yang jadi tidak selamat. Tenanglah!""Bagaimana aku bisa tenang membayangkan Sagita kehujanan di luar sana. Dengan hujan sederas ini dan tanpa tahu apa yang sedang ia hadapi sekarang. Bagaimana aku bisa tenang?""Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Apa hikmah di balik ini semua ya Allah. Per
~Mau tidak mau, suka tidak suka, rasa luka memang sakit~Danar mendengar suara panggilan dari bapak dan ibunya. Ia menuju ke sumber suara itu. Dan mendapati bapak dan ibunya yang tengah ketakutan. Danar justru menggelengkan kepala. Melihat ada Danar di bawah sana, Sagita semakin takut. Ia berpegangan dengan erat pada batang pohon dengan kuat."Pak Bu. Ngapain di sini? Kenapa malah cuman duduk, bukan malah bantu Danar cari Sagita. Apaan sih? Kalian enggak mau Sagita cepat ketemu apa?""Aduh Danar. Bapak ini bukan enggak mau bantu kamu. Kami tentu mau bantu kamu. Tapi lihat cuaca saat ini! Kamu lihat tidak. Hujan akan turun. Kita belum tentu bisa menemukan Sagita. Justru sebaliknya, kita bahaya saat ada di hutan hujan deras begini. Kita sebaiknya balik ke rumah Nak. Itu saran Bapak.""Apa? Balik tanpa hasil? Tidak Pak. Buruanku masih ada di luar sini. Justru cuaca yang seperti ini sangat menguntungkan kita. Sagita tidak akan b
~Berdoalah untuk kebaikan jangan untuk kejahatan~"Seberapa genting situasinya?" Yoga bertanya pada Jidan."Tadi Doni menjelakan. Katanya mereka dikejar dengan senjata dan orang yang mengejar mereka adalah Danar. Jelas sudah jika prediksi kita benar, Danar bedebah itu adalah dalang dari semuanya.""Apa aku bilang Jidan? Tidak mungkin salah lagi. Jadi apa si Arif temannya Doni itu bisa kembali dihubungi?""Tidak. Handphonennya mati.""Ah, sial. Mereka mungkin sengaja mematikan handphonenya karena sedang bersembunyi atau apa. Apa temannya Doni sendiri?""Iya. Dia sendiri. Terpisah dari rombongannya.""Hmmm. Mereka harus bertahan sendiri. Kita akan butuh waktu untuk bisa sampai ke sana tepat waktu. Tempat itu cukup jauh Jidan. Danar terlalu pintar mencari tempat yang susah dijangkau. Belum lagi kita harus jalan kaki ke dalamnya."Jidan mengangguk. Perjalanan mereka memang akan sangat
~Siapkan senjata terbaikmu, saat berada dalam bahaya~Danar berang. Tadi begitu tahu Sagita sudah tidak di tempatnya ia segera membangunkan ibu dan bapaknya. Danar merasa kecolongan. Ia tahu jika Sagita tidak mungkin bisa lolos sendiri. Siapapun yang membanti Sagita bagi Danar harus diberi pelajaran."Haduh bagaimana ini Danar? Kenapa bisa kita kecolongan? Siapa yang membantu Sagita? Kok bisa anak itu keluar dari rumah bahkan tanpa kita tahu? Pasti sudah ada yang bantu? Apa Jidan yang menemukan? Apa Yoga? Apa jangan-jangan polisi?""Tenanglah Bu. Kita harus mencari. Ibu dan Bapak ke arah sana dan saya akan cari ke arah sana. Kita harus menemukan Sagita. Siapapun yang membantu Sagita, tampaknya dia sendirian. Buktinya dia tidak berani menyerang kita dan hanya fokus menyelamatkan Sagita. Tapi kita harus waspada, sepertinya dia punya senjata atau bahkan sesuatu yang bisa dibuat untuk menghajar kita. Lihat saja dia bisa dengan mudah
~Terkadang orang asing juga bersedia membntu~"Dino, bangun, bangun Dino!" Doni membangunkan Dino yang sedang tertidur lelap. Dino yang merasa sangat mengantuk dan lelah karena mencari Sagita seharian tersentak mendengar jeritan dari Doni."Ada apa Don? Ada apa? Ada gempa? Kebakaran? Atau apa? Hah? Ada apa?""Kak Sagita. Arif menemukan Kak Sagita. Kita harus ke sana. Ke tempat mereka. Cepat, Din.""Arif? Arif mana? Arif siapa? Hah?""Arif. Teman aku yang polisi hutan itu. Dia menemukan Sagita di hutan. Di salah satu rumah yang ada di hutan. Katanya kondisinya cukup mengenaskan.""Apa? Mengenaskan? Tapi Kak Sagita masih hidupkan?""Masih. Masih hidup. Tapi lemah. Mungkin sudah lebih dulu disiksa. Kita harus segera memberi kabar ini pada Kak Jidan, Risa dan yang lainnya. Jadi ayo kamu harus bangun. Kita harus bergerak cepat."Doni langsung menuju ke garasi mobil. Dino ke kamar mandi