Share

Saat Delia Berdua Dengan Danar

~Api unggun menghangatkan suasana malam yang dingin. Berbeda dengan api cintamu yang hanya akan membakar hubungan asmara orang lain~

 Nyala api unggun tidak terlalu besar. Warna jingga dari mentari yang tenggelam barusan digantikan dengan warna api unggun yang mulai menjilat ranting-ranting kering. Yoga sudah siap dengan gitar di tangannya. Gitar itu memang sengaja disiapkan sebagai senjata andalan. Senjata andalan merayu Risa atau boleh jadi juga untuk merayu Delia.

 Jreng...Jreng...Jreeeng...

 "Sayang, aku cinta padamu. Lihatlah aku dengan mata indahmu. Sayang akan kusebrangi laut Cina Selatan, asal kau bisa kumiliki ..."

 "Halah Yoga, Yoga! Gaya sekali lagumu itu. Boro-boro mau menyebrangi laut Cina Selatan. Aku masih ingat waktu kau pacaran dengan si Sumi dulu. Disuruh datang ke rumahnya pas gerimis saja kau tidak mau. Takut basah, takut demam, takut batuk, takut pilek. Gaya kali lagumu itu."

 "Danar! Danar! Aku tahu kau sudah punya istri. Tapi ayolah! Biarkan temanmu si ganteng Yoga ini merayu lewat lagu. Siapa tahu laguku nyantel di hati para gadis-gadis cantik itu." Yoga protes pada Danar yang mengomentari lirik lagunya. Danar hanya menyengir sambil membolak-balik jagung bakar.

 "Mana ini cewek-cewek cantik itu?" Jidan mulai merasa bosan hanya mengitari api unggun bertiga dengan Danar dan Yoga.

 "Semuanya masuk ke tenda. Mungkin mereka capek."

 "Capek? Ah! Baru mendaki bukit cetek gini masak capek Danar? Belum lagi mendaki gunung-gunung seperti kita dulu."

 "Jangan kau samakan kita dengan mereka Yoga! Mereka bukan tipe petualang seperti kita. Lagi pula mereka itu wanita. Namanya wanita memang begitu. Kebanyakan dari mereka tidak akan sanggup mendaki satu gunung, tapi coba disuruh mengitari mall seharian penuh dari lantai satu sampai lantai sepuluh. Kaki mereka seolah punya tenaga penuh."

 "Hahahah! Kau bilang begitu Danar, pasti karena pengalaman menemani Sagita belanja ya?" Jidan menggoda Danar.

 "Nanti akan kamu rasakan sendiri jika sudah punya istri Jidan. Rasakan sendiri bagaimana sensasinya menemani istrimu belanja. Niat awal beli gaun merah, pulang-pulang bukannya itu yang dibeli tapi gaun hijau, gaun ungu, gaun orens. Kalau kau tidak pandai-pandai membujuk, rekeningmu bisa jebol hanya dalam hitungan detik."

 "Eh, Jidan! Kemarin waktu aku menelepon ke rumahmu, ibumu yang mengangkat. Katanya kau sedang ada di rumah sakit bersama Sagita. Memangnya siapa yang sakit?" Yoga mengalihkan pembicaraan.

 "Oh! Tidak ada. Tidak ada yang sedang sakit. Aku dan Sagita hanya sedang konsultasi pada dokter spesialis kandungan. Kami mau punya anak. Kalian tahu sendiri, kan? Orangtuaku ingin sekali agar kami bisa cepat punya anak."

 "Oh! Tapi bukannya kalian baru menikah selama satu tahun? Itu umur pernikahan yang sangat muda sekali bukan? Nikmati saja dulu masa-masa berdua kalian. Jangan buru-buru punya momongan." Jidan berkata sambil mulai mengunyah jagung bakar yang ada di tangannya.

 "Aku juga maunya begitu Jidan. Tapi orangtuaku mana mungkin mau tau. Mereka hanya ingin cepat-cepat punya cucu."

 "Saranku, sebaiknya kalian pindah saja dari rumah orangtuamu Jidan. Eh, maaf nih. Bukannya mau ikut campur masalah rumah tanggamu. Tapi kalau di rumah sendiri, kalian akan jadi lebih bebas. Sagita juga pasti akan lebih senang dan tenang. Jadi akan lebih mudah untuk hamil."

 "Ah! Sok tau kamu Yoga! Menghamili anak orang saja kamu belum pernah."

 "Hei! Belum pernah bukan berarti tidak bisa ya!" Yoga membela dirinya sendiri.

 Mereka bertiga tertawa. Menertawai diri mereka sendiri. Saat-saat seperti ini adalah saat-saat yang sangat menyenangkan bagi ketiganya. Mereka bisa bercerita apa saja. Selang tak berapa lama, Cika, Risa, Delia dan Sagita juga ikut bergabung. Di tubuh mereka sudah melingkar jaket untuk menghangatkan tubuh.

 "Jadi Del, boleh aku tahu kenapa wanita secantik dirimu itu masih jomblo? Apa masalahnya Del? Apa kau belum bisa menemukan laki-laki yang bisa membuatmu nyaman?" Yoga memulai obrolan mereka dengan pertanyaan yang sebenarnya agak canggung untuk dilontarkan dalam momen seperti itu.

 "Kemarin iya, aku belum menemukan orang yang bisa membuatku nyaman. Tapi sekarang aku sudah menemukannya." Delia menjawab mantap.

 "Sungguh? Apa itu aku?" tanya Yoga sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri. Sayangnya bukan Delia yang menjawab pertanyaan itu. Malahan Jidan yang menjawab.

 "Iya. Pria itu adalah dirimu Yoga. Tapi Yoga versi upgrade 10 kali. Kalau yang sekarang sih belum bisa, belum diupgrade soalnya. Atau bisa jadi nanti, saat wajah kamu udah berubah mirip Edward Cullen. Ngimpiiiii! Hahahah!"

 Tawa itu disambut riuh oleh Cika, Risa dan Sagita. Seolah semuanya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Jidan barusan. Sayangnya Yoga tetaplah seorang Yoga. Pantang untuk mati gaya. Laki-laki satu ini malah mengusap rambutnya dengan jemari tangan, berlagak sok keren.

 "Jadi siapa sebenarnya laki-laki yang udah bisa buat Kak Del nyaman? Tunggu apa lagi kalau udah nyaman? Langsung nikah aja." Sagita memberikan saran.

 "Enggak bisa gitu Git! Ada batu sandungan besar yang membuat aku belum bisa sama laki-laki itu."

 "Waduh! Segede apa batu sandungannya Del? Masa enggak bisa kamu pindahin? Apa perlu kita bantuin pindahinnya? Tapi jangan ah! Masa iya kami ngebantuin saingan kami, ya kan Jidan?"

 "Iya Del. Memangnya ada masalah apa sampai kamu enggak bisa bersama dia?" Jidan memasang raut wajah penasaran. Sayangnya Delia hanya menggelengkan kepala. Dia menolak untuk cerita lebih jauh.

 "Cik! Isi otak kamu sama enggak sama isi otaknya aku?" Risa berbisik pada Cika. Mereka berdua memang teman dekat. Satu kampus, satu kelas bahkan juga satu kampung. Jadi wajar jika mereka seperti sangat sudah saling memahami. Cika mengangguk. Menandakan jika mereka memikirkan hal yang sama. Mereka berdua seolah sudah tahu apa yang dimaksud dengan batu sandungan oleh Delia.

 Sayangnya keduanya tidak mau buka mulut dan terlebih memang tidak ada bukti untuk itu. Hanya praduga semata. Baik Cika maupun Risa, keduanya sama-sama belum terlalu kenal dengan Danar, Sagita dan Delia. Keduanya memilih untuk tidak ikut campur terlalu jauh ke dalam hubungan orang lain. Lagipula memperingati Sagita akan Delia hanya akan membuat Sagita panik. Padahal belum tentu Delia berniat jahat.

 Malam semakin larut, suara Yoga juga sudah cempreng dalam menyanyikan lagu malam itu. Sagita, Risa dan Cika memilih untuk masuk ke dalam tenda untuk segera tidur. Sementara Delia masih bertahan di dekat api unggun.

 "Belum ngantuk Del?" tanya Danar.

 "Belum."

 "Danar! Luh jaga tenda trip pertama ya. Entar 2 jam lagi bangunin aku. Oke! Habis itu 2 jam berikutnya giliran Jidan." Yoga berkata dengan santai sambil meninggalkan yang lainnya. Jidan juga menyusul Yoga untuk masuk ke dalam tenda. Mereka harus istirahat sebelum nanti bergantian untuk jaga malam.

 "Kenapa kok belum ngantuk Del? Yang lainnya udah pada tidur loh. Kamu yakin mau di sini sendiri? Nanti takut."

 "Kan ada kamu Danar. Aku enggak bisa takut kalau ada kamu. Aku boleh nemenin kamu jaga malam di sini kan?"

 "Boleh dong. Kenapa enggak boleh?"

  Delia tersenyum. Senyum yang mengembang lebar. Seolah baru saja dia mendapatkan apa yang dia tunggu sedari tadi. Momen berdua dengan Danar.

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status