Share

BAB : 5 Tak Percaya Tapi Nyata

Sebelumnya, suaminya memang pernah mengeluh kepada Almira tentang sakitnya itu. Dan pernah juga Almira menemani sang suami berobat ke rumah sakit. Namun karena dirasa sudah sembuh, maka Putra tidak terlalu rutin untuk memeriksa kondisi kesehatannya lagi. Penyebabnya adalah, kesibukkan pekerjaan di kantor yang menyita waktu suaminya untuk memeriksakan penyakitnya itu.

Kejadiannya begitu cepat. Pagi itu seperti biasanya sang istri sedang mempersiapkan sarapan pagi untuk mereka. Bilal kebetulan belum bangun dari tidurnya karena tadi malam sang bayi agak rewel dan menangis terus menerus.

Entah kenapa sang suami belum juga bangun. Hal ini membuat Almira bertanya - tanya kenapa,  tak seperti biasanya ayah dari anaknya itu belum terlihat batang hidungnya.

"Papanya Bilal kok belum bangun ya? Biasanya pagi - pagi sudah bangun dan sudah siap untuk berangkat kerja." ucap Almira tampak cemas.

Almira bergegas menuju ke kamar tidur,  bermaksud untuk membangunkan sang suami supaya tidak terlambat berangkat kerja ke kantor.

Namun setibanya di kamar, dia melihat Putra sedang merintih - rintih menahan sakit sambil memegang perutnya.

"Kamu kenapa sayang? Tanya istrinya dengan nada cemas. 

Sementara yang ditanya hanya bisa menggeleng sambil menahan sakit di perutnya itu.

Almira yang cemas segera menghubungi kantor tempat suaminya bekerja untuk meminta pertolongan. Sambil memeluk suaminya itu Almira mencoba untuk memberikan obat dari dokter dan air hangat untuk memberikan pertolongan pertama.

Tak lama kemudian, rekan kerja Putra dari kantor pun datang. 

"Kenapa dengan pak Putra bu?"

"Saya nggak tahu pak, pagi ini saya lihat dia merintih sambil memegang perutnya. Tampaknya penyakit maag yang dia derita kambuh lagi pak!" jawabnya lagi.

"Kita bawa langsung saja bu ke rumah sakit. Takut penyakitnya tambah parah!" katanya pada Almira.

Mereka pun segera berangkat ke rumah sakit pagi itu, Bilal pun hanya diangkat dan digendong tanpa sempat dimandikan lagi oleh Almira.

Setibanya di rumah sakit Putra langsung dibawa ke ruang UGD rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensiv.

Namun malang tak dapat ditolak, sang suami tercinta itu tidak dapat tertolong lagi. Putra suami Almira, papanya dari Muhammad Bilal Syahputra, harus meninggal dunia begitu cepat tanpa ada pesan apa pun untuk istri dan anaknya. 

Semula perempuan itu tidak mempercayai kabar duka itu, namun itulah yang terjadi. Putra memang benar - benar telah pergi untuk selamanya, meninggalkan dirinya dan buah cinta mereka yang belum mengerti akan artinya kehilangan.

Almira menjerit dan menangis sejadi - jadinya. Dia menyesali mengapa dia terlambat membawa suaminya ke rumah sakit. Sehingga  jiwa suaminya dapat tertolong. Namun penyesalan itu tiada berguna lagi, sekarang dia dan anaknya harus rela kehilangan sosok penyayang dan merupakan tulang punggung keluarga itu.

"Sayang, bangun! Kamu harus kerja, aku sudah menyiapkan sarapan pagi seperti biasanya!" rintihnya pilu.

Dia memeluk dan mengoyang - goyangkan badan suaminya yang telah terbujur kaku. Tangisnya semakin menjadi, sehingga Bilal sang putra akhirnya ikut menangis tanpa mengerti apa yang terjadi.

"Dokter, suami saya kenapa dok? Dia tidak menderita sakit sebelumnya, tapi kenapa dia mendadak begini dokter?" sambil terisak - isak dia bertanya kepada dokter yang bertugas memeriksa suaminya itu. 

"Maaf ibu, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Allah berkehendak lain. Suami ibu telah menderita penyakit maag yang cukup kronis, sehingga fungsi organ pencernaannya baik usus, lambung, dan lainnya sudah rusak dan tidak berfungsi" dokter berusaha memberi penjelasan pada Almira.

"Hu, hu, hu, sayang, mana janjimu untuk selalu bersamaku? Ini Bilal putra kita masih belum lama merasakan kasih sayangmu. Kamu bohong sayang, engkau meninggalkanku tanpa ada kata pamitmu!" jerit dan tangis Almira semakin histeris.

Almira masih tetap tak percaya dengan apa yang terjadi, namun dia harus menerima kenyataan yang ada. Karena Rasa sedih dan pilu yang berlebihan membuat dia akhirnya jatuh pingsan.

**********

Setelah tersadar dari pingsannya, ternyata Almira sudah berada di rumahnya kembali. Rupanya teman - teman kantor suaminyalah yang mengurus semuanya. Ketika Almira pingsan, mereka yang mengurus jenazah Putra, menggendong Bilal, dan membawa  perempuan itu pulang ke rumah.

Segera kepengurusan jenazah pun diambil alih oleh mereka. Sehingga Almira hanya duduk tenang sambil bersimpuh di samping  Putra yang telah tertutup kain putih. Sementara Bilal digendong secara bergantian oleh teman - teman papanya.

Suasana di rumah duka tampak ramai, para tetangga berdatangan untuk melayat ke rumah duka. Ibu - ibu sibuk mempersiapkan bunga - bunga rampai untuk acara penguburan nanti. Dan yang lainnya pun ikut membantu sebisa mungkin apa yang kiranya dapat mereka bantu.

Kabar duka tersebut disampaikan pula kepada keluarga  di kampung halamannya, yaitu kedua orang tua Putra, serta ayah dan ibu Almira. Mereka tidak percaya dan tak menyangka Putra harus pergi begitu cepat meninggalkan istri dan anaknya  yang masih balita. Kala itu usia Bilal hampir menginjak satu tahun.

Seorang anak yang masih haus kasih sayang ayahnya,  seorang anak yang masih perlu biaya, dan seorang anak yang masih butuh perhatian dari ayahnya itu, kini harus menjadi anak Yatim. Predikat yang tak pernah diinginkan oleh siapa pun. Tidak juga oleh Almira dan putranya. 

Akhirnya keluarga dari kampung halamannya datang ke rumah Almira. Kedua orang tua Putra, ayah dan ibu juga adiknya, serta kedua kakak kandung Almira dan keluarga kecil mereka tampak terlihat di rombongan keluarga.

Mereka menangis melihat kondisi ibu dan anak itu sepeninggal suami dan ayah dari anaknya.

Almira menangis tersedu - seri di pelukan kedua orang tuanya.

"Ikhlaskan Almira, ini sudah takdir Tuhan. Mungkin Tuhan punya rencana yang lebih baik di balik semua ini!"  

"Tapi mengapa harus Putra, yang diambil, kenapa bukan Mira saja yah yang diambil duluan. Kasihan Bilal harus sudah menjadi anak Yatim sekarang."

"Tidak baik bicara seperti itu Mira! Allah akan marah pada kita. Kita harus berlapang dada, ini cobaan dari Allah sampai dimana batas kesabaran kita!" ibunya menegaskan.

Sementara acara penguburan jenazah putra dilakukan selepas sholat ashar. Karena tadi menunggu keluarga dari kampung halaman yang belum datang,  yang jarak tempuhnya lebih kurang dua jam dari rumah Almira dan karena dirasa sudah tidak ada lagi yang ditunggu maka berangkatlah para pelayat untuk melakukan acara penguburan itu.

Di atas kuburan yang masih basah, yang masih bertaburan bunga - bunga, Almira bersimpuh sambil menggendong buah hatinya dan berkata," Selamat jalan sayang, aku dan Bilal akan selalu merindukanmu. Aku rela dan ikhlas melepasmu pergi, semoga kelak kita akan berjumpa lagi di syurganya Allah nanti."

Semua pelayat yang hadir, tak terkecuali keluarga dari almarhum Putra serta keluarga Almira sendiri tak kuasa menahan tangis melihat kesedihan perempuan itu. Mereka merasa iba dan kasihan atas apa yang dialami oleh sang ibu dan anak.

Satu persatu rombongan pelayat itu meninggalkan tanah makam yang baru saja digali,  tinggalah keduanya dan beberapa sanak saudara yang masih setia menemani Almira.

Rasa tak kuasa untuk meninggalkan sang suami yang terbaring di dalam tanah yang masih basah. Namun hidup harus terus berjalan. Masih ada satu jiwa yang harus diutamakan. Bilal bin Putra, harus tumbuh tanpa kehadiran sang ayah. Dan Almira harus menjadi ibu sekalian ayah bagi si kecil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status