Acara gathering yang diikuti sebagian besar karyawan D'Moiz Company akan berakhir besok. Hari ini panitia berniat mengajak seluruh peserta melihat air terjun setelah itu pergi ke kebun stroberi.
Pukul delapan pagi seluruh peserta diharapkan sudah berkumpul di lapangan. Beberapa karyawan terlihat antusias mengikuti acara, tapi ada juga yang malas dan ingin lebih memilih merebahkan diri di hotel.
Suasana yang ramai mendadak hening ketika seorang lelaki berambut hitam dengan tubuhnya yang tegap dan atletis berjalan memasuki lapangan diikuti sang sekretaris di belakang. Aura lelaki tersebut terasa sangat dominan membuat semua peserta gathering sontak menundukkan kepala.
"Selamat pagi, Pak Daniel."
Daniel mengangguk sekilas untuk menanggapi sapaan general manager setelah itu menatap orang yang berdiri di hadapannya satu-persatu.
"Apa semuanya sudah berkumpul?"
Semua peserta sontak melihat sisi kanan dan kiri masing-masing untuk memastikan anggota mereka sudah berkumpul di lapangan.
Karena tidak ada yang menjawab Daniel pun berpikir kalau semua peserta sudah berkumpul.
"Baiklah kalau begitu, kalian bisa—"
"Maaf, Pak. Teman saya tidak bisa ikut ke air terjun."
Daniel sontak berhenti bicara lalu menatap gadis berambut hitam sebahu yang berdiri tidak jauh darinya dengan alis terangkat sebelah.
"Kenapa temanmu tidak ikut?"
"Teman saya sedang kurang enak badan, Pak."
Daniel terkejut mendengar jawaban salah satu karyawannya itu, tapi hanya sesaat. Setelah itu dia mengubah wajahnya kembali tenang.
"Siapa nama temanmu?"
"Bellia, Pak."
Daniel terdiam sebentar.
"Baiklah, kalian bisa berangkat sekarang. Dan Khai ...."
Teman sekaligus yang sudah tiga tahun ini menjadi sekretaris Daniel itu mendekat. "Iya, Pak."
"Tolong gantikan aku mengawasi kegiatan mereka. Aku tidak bisa ikut karena salah satu karyawan sedang sakit."
"What the ...." Khai nyaris mengumpat mendengar ucapan Daniel barusan, untung saja dia bisa menahannya. "Maaf sebelumnya, Niel—em, maksud saya, Pak Daniel. Anda tidak bisa membatalkan begitu saja karena ini undangan khusus dari klien penting kita, Pak."
Khai mencoba mengendalikan emosinya. Lagi pula sejak kapan Daniel peduli dengan karyawannya? Apa lagi Bellia hanya karyawan biasa.
"Sudah lakukan saja pekerjaanmu. Lagi pula ini bukan kali pertama aku memintamu untuk menggantikan pekerjaanku. Aku pergi dulu." Daniel menepuk bahu Khai sekilas sebelum beranjak meninggalkan lapangan.
Bukan perkara sulit bagi seorang Daniel Moiz untuk mengetahui di mana kamar karyawannya yang katanya sedang sakit itu. Setelah mendapat informasi dari resepsionis dia langsung pergi ke kamar Bellia yang ada di lantai empat lalu mengetuk pintu kayu yang ada di hadapan.
Sebenarnya Daniel bisa langsung masuk ke kamar Bellia karena hotel yang mereka tempati sekarang adalah miliknya. Namun, Daniel pria yang berpendidikan dan patuh pada aturan. Akhirnya dia memilih untuk mengetuk pintu kayu bercat putih itu lebih dulu.
Bellia yang sedang berbaring di tempat tidur mengerutkan dahi heran ketika mendengar pintu kamarnya di ketuk dari luar. Bellia sempat berpikir yang datang adalah Lisa, tapi temannya itu tidak mungkin mengetuk pintu jika ingin masuk.
Bellia pun menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya lalu beranjak ke depan untuk membuka pintu padahal kepalanya terasa sangat sakit.
"Pak Daniel ...?!" Bellia nyaris ambruk ketika melihat lelaki yang berdiri di hadapannya sekarang. Untung saja dia cepat-cepat bersandar pada dinding sehingga tidak jatuh.
Daniel menatap Bellia dengan lekat. Wajah gadis itu terlihat sangat pucat, bibirnya kering, dan pipinya tirus. Jujur, penampilan Bellia sekarang terlihat sangat memprihatinkan.
Sepertinya apa yang temannya katakan tadi benar kalau Bellia memang sedang kurang enak badan.
"Ada hal penting yang ingin aku tanyakan padamu."
"Em, apa, Pak?" Bellia tidak mampu menyembunyikan kegugupannya meskipun dia sudah berusaha keras menutupinya.
Bagaimana bisa lelaki yang paling dia hindari muncul di hadapannya sekarang?
Ya Tuhan ....
"Apa kamu masuk ke kamarku semalam?"
Bellia tersentak, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat. Bellia bergeming, kaku, dan tidak bisa memikirkan apa pun.
Apa Daniel tahu kalau dia yang tidur bersama lelaki itu semalam?
"Em, ti-tidak."
"Kamu yakin?" Tatapan Daniel semakin tajam membuat jantung Bellia berdetak tidak nyaman.
"I-iya." Bellia mengangguk kaku.
Daniel menghela napas panjang lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan menunjukkan benda tersebut pada Bellia.
"Jepit rambut ini punyamu?"
Tubuh Bellia menegang bagai tersambar petir melihat jepit rambut yang ada di tangan Daniel. Jepit rambut pemberian sang nenek ketika dia berulang tahun yang kesepuluh.
Kenapa jepit rambut tersebut bisa tertinggal di kamar Daniel?
Ah, dia memang ceroboh!
"Jawab pertanyaanku, Bellia," ucap Daniel tenang tapi terdengar menyeramkan di telinga Bellia.
Bagaimana bisa Daniel mengetahui namanya padahal dia tidak pernah memperkenalkan diri pada lelaki itu?
"Sa-saya ...." Bellia memegangi kepalanya yang semakin terasa berat.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Daniel khawatir.
Bellia tidak menjawab karena pandangan matanya tiba-tiba berkunang, napas pun satu-satu.
Bellia sempat mendengar Daniel menyebut kembali namanya sebelum kegelapan merenggut kesadarannya.
Daniel refleks menangkap tubuh Bellia sebelum jatuh.
"Dasar bodoh!" Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Vania setelah Daniel memberi tahu sang ayah tentang perbuatannya.Rasa panas sontak mejalari pipinya yang terlihat memerah. Sudut bibirnya bahkan robek dan mengeluarkan sedikit darah.Vania meringis pelan, meratapi karma yang begitu cepat dia dapatkan. Seperti badai yang datang tanpa peringatan. Tamparan sang ayah tidak hanya menghantam wajahnya, tapi juga harga dirinya, padahal baru saja menyerang Bellia di rumah sakit beberapa jam yang lalu.Vania berdiri kaku di tempat, air mata perlahan menetes dari sudut matanya. Bukan karena sakit di wajahnya, tapi kerena kekacauan yang dia buat sendiri, dan mau tidak mau dia harus menanggung semuanya sekarang."Bagaimana kamu bisa melakukan hal serendah ini, Vania?" Suara Bastian—ayah kandung Vania menggema, penuh amarah dan kekecewaan. "Papi sudah menyekolahkanmu tinggi-tinggi, tapi kamu malah mempermalukan Papi seperti ini. Dasar anak tidak tahu diri!"Daniel menyilangkan sebelah kakinya
Pintu kamar Marvell terbuka lebar dengan bunyi dentuman yang terdengar cukup keras, disusul langkah cepat Daniel yang langsung membeku di ambang pintu setelah melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih seketika.Bellia terduduk di lantai dengan rambut berantakan, pipinya merah karena tamparan yang baru saja mendarat di sana. Di sudut lain, Marvell menangis histeris di bawah tempat tidurnya dengan wajah penuh ketakutan. Sebuah vas bunga terjatuh dan pecah di lantai, kursi bergeser dari tempatnya. Jam dinding yang berdetik pelan, menjadi satu-satunya suara yang menyertai isak tangis Marvell.Sedangkan Vania berdiri di tengah-tengah mereka, tubuhnya masih gemetar karena amarah yang begitu membara. Tangan kanannya kembali terangkat, ingin melayangkan pukulan ke tubuh Bellia yang sudah tidak berdaya.Pandangan Daniel langsung berubah tajam, seperti pedang yang baru saja ditempa dalam bara api kemarahan. Berkilau, dingin, dan siap menebas siapa pun yang berani menyakiti orang yang
"Kamu masih tanya kenapa?" Vania tertawa jahat, seperti seorang psikopat yang menemukan kenikmatan di balik penderitaan orang lain.Tawanya nyaring, getir, dan penuh kebencian, menggema di antara dinding-dinding rumah sakit yang seketika berubah sempit dan dingin."Aku melakukan semua ini karena kamu terlalu naif, Bellia!""Terlalu naif?" gumam Bellia tidak mengerti. Selama ini dia selalu berusaha bersikap baik pada orang lain, bahkan pada tantenya sendiri. Dia tidak pernah membenci tante yang sudah memanfaatkan dan menghabiskan uangnya. Dia rela melakukan semua itu agar hubungannya dengan sang tante baik-baik saja.Namun, Vania tiba-tiba saja datang dan menyebut dirinya 'naif'. Padahal dia tidak pernah bertegur sapa dengan wanita itu.Dia pertama kali melihat Vania sekaligus untuk yang terakhir kalinya ketika ingin menemui Daniel di ruangannya. Kejadian itu pun sudah lama berlalu—mungkin sekitar empat atau lima tahun yang lalu.Saat itu dia ingin memberi tahu Daniel tentang apa yang
Suasana kamar nomor 614 itu kembali hening selepas kepergian Cherry dan Seika. Bellia kembali ke dalam setelah menutup pintu lalu menghampiri Marvell yang duduk di atas ranjang.Marvell tampak murung, wajahnya terlihat tidak ceria saat bersama Cherry. Dan sebagai ibu, Bellia tentu saja menyadari hal itu."Ada apa, Sayang? Kenapa Marvell tiba-tiba sedih?" tanya Bellia terdengar penuh perhatian.Marvell melirik Bellia sekilas, setelah itu kembali memperhatikan gambar beruang yang belum selesai dia warnai. Jemarinya perlahan bergerak, memberi warna pada gambar tersebut agar terlihat lebih hidup.Bellia diam-diam memperhatikan apa yang Marvell lakukan lalu tersenyum tipis. Marvell memang dekat dengan Cherry semenjak masuk sekolah. Mereka selalu bermain dan belajar bersama.Di mana ada Marvell, di situ pasti ada Cherry.Ke mana pun Marvell pergi, Cherry selalu mengikuti. Seperti bayangan yang tidak bisa lepas dan dipisahkan.Saat Marvell bermain bola di halaman sekolah, Cherry akan duduk d
Kondisi Marvell berangsung-angsur membaik setelah dirawat selama satu minggu di rumah sakit. Dokter yang merawatnya bahkan merasa heran karena Marvell bisa pulih lebih cepat dari waktu yang mereka perkirakan.Hal ini tentu tidak terjadi begitu saja, Daniel dan Bellia juga memiliki peran yang sangat penting di balik kesembuhannya. Mereka bergantian menjaga Marvell setiap malam. Daniel bahkan rela menunda pekerjaannya agar bisa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk Marvell.Sedangkan Bellia terpaksa menutup toko bunganya selama beberapa hari karena Dita sedang mengunjungi orang tuanya yang tinggal di luar kota. Untung saja para pelanggan mau memahami kondisinya yang sedang tertimpa musibah. Mereka bahkan turut mendoakan semoga Marvell lekas diberi kesembuhan.Marvell tidak pernah merasa kesepian selama dirawat. Setiap hari selalu ada teman sekolah yang datang menjenguknya, terutama Cherry.Anak perempuan cantik berumur empat tahun itu hari ini kembali datang menjenguk Marvell bersama de
Ruangan itu dipenuhi aroma karbol dan obat-obatan yang begitu menusuk hidung. Keheningan menggantung jelas di udara, seperti kabut tebal yang begitu menyesakkan.Daniel dan Bellia duduk berdampingan di salah salah satu kursi, sedangkan Mahes memilih berdiri di tempat yang agak jauh dari mereka.Kedua tangan Bellia terkepal erat di atas kedua pahanya. Wajahnya terlihat sangat tegang, seperti menahan beban yang begitu berat. Helaan napas panjang berulang kali lolos dari bibirnya, menahan perasaan takut sekaligus cemas yang berkecamuk di dalam dadanya.Marvell sudah masuk ke dalam ruang operasi sejak satu jam yang lalu, tepatnya setelah mendapat donor darah dari Daniel. Dokter ingin melakukan proses hematosis untuk menghentikan pendarahan yang dialami oleh Marvell.Bellia pikir, operasi Marvell tidak akan berjalan lama. Namun, lampu di atas pintu ruang operasi tersebut masih menyala sampai sekarang.Bellia tidak bisa bernapas dengan tenang, berbagai pikiran buruk terus melintas di pikira