Share

3. Kekhawatiran Daniel

Author: Aeris Park
last update Huling Na-update: 2024-10-10 12:47:34

"Bellia, hei?" Daniel menepuk-nepuk pipi Bellia dengan pelan untuk menyadarkan gadis itu. Namun, Bellia tetap setia memejamkan kedua matanya. Suhu tubuhnya juga sangat panas.

Daniel menaruh kedua tangannya di antara lutut dan bahu Bellia. Dengan mudah dia mengangkat tubuh Bellia ke dalam gendongannya.

Saat akan melangkah suara seorang wanita tiba-tiba menghentikan pergerakannya.

"Astaga! Bellia kenapa, Pak?"

Lisa baru tiba di depan kamar Bellia, karena curiga dengan atasannya yang tiba-tiba menanyakan Bellia tadi. Namun, justru ia dikejutkan dengan pemandangan yang membuatnya kesal.

"Sepertinya Bellia pingsan. Apa Bapak mau membawa Bellia ke rumah sakit?"

Daniel mengangguk sekilas lalu kembali melangkah. Dia ingin segera membawa Bellia ke rumah sakit agar cepat mendapatkan penanganan. Namun, Lisa lagi-lagi menahannya.

"Apa saya boleh ikut, Pak?"

Daniel membuka mulut hendak bicara, tapi Lisa lebih dulu berkata, "Saya Lisa, teman baik Bellia. Saya kahawatir sekali dengan keadaannya. Tolong izinkan saya ikut ke rumah sakit, Pak."

Daniel memperhatikan Lisa dengan lekat. Dilihat dari tatapan matanya sepertinya Lisa memang benar-benar mengkhawatirkan Bellia.

"Baiklah."

Lisa tersenyum senang lalu mengucapkan terima kasih pada Daniel. Sebelum pergi dia meminta izin pada Daniel untuk mengambil tasnya di kamar.

Senyum Lisa seketika lenyap ketika tiba di kamar. Jujur saja rasa kesal di hati Lisa masih belum hilang sejak melihat Daniel yang begitu peduli pada Bellia. Daniel bahkan ingin membawa Bellia ke rumah sakit padahal lelaki itu bisa menyuruh orang lain.

Daniel sekarang tidak terlihat seperti presdir dingin yang tak tersentuh. Daniel malah terlihat seperti pria yang khawatir dengan kekasihnya.

Kenapa Daniel begitu mengkhawatirkan Bellia? Apa mereka mempunyai hubungan spesial?

Kening Lisa semakin berkerut dalam ketika melihat benda berkilau di dekat pintu kamar hotelnya. Wajah gadis itu sontak berubah keras setelah tahu kalau benda itu adalah jepit rambut Bellia.

Mengapa jepit rambut Bellia itu bisa ada di depan pintu kamar? Bukannya selalu Bellia kenakan? Atau … tadi dari kejauhan Lisa melihat Daniel menunjukkan sesuatu pada Bellia sebelum Bellia pingsan.

Jadi, yang ditujukan Daniel tadi pada Bellia adalah jepit rambut Bellia? Tetapi, mengapa jepit rambut Bellia bisa ada di tangan Daniel?

Entah kenapa firasatnya mengatakan jika ada sesuatu yang terjadi di antara Daniel dan Bellia. Apa lagi tingkah Bellia aneh sekali hari ini.

Daniel berjalan dengan tenang menuju mobilnya yang sudah siap di depan. Dia sudah menduga akan banyak pasang mata yang terkejut sekaligus heran melihatnya turun sambil menggendong Bellia. Namun, Daniel terlihat tidak peduli, lagi pula dia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian.

Daniel duduk di kursi belakang lalu meletakkan kepala Bellia dengan hati-hati di atas pangkuannya. Lisa ingin menemani Bellia duduk di belakang, tapi Daniel malah menyuruhnya untuk duduk di depan.

"Em, baik, Pak." Lisa mengembuskan napas kecewa lalu duduk di depan dengan terpaksa.

Jarak dari hotel ke rumah sakit tidak terlalu jauh. Butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk tiba di sana. Daniel langsung membawa Bellia ke UGD dan meminta dokter untuk memeriksanya.

"Tolong tunggu di luar."

Daniel mengangguk. Dia menunggu dokter selesai memeriksa Bellia di kursi kosong yang berada tepat di depan ruang UGD. Sementara Lisa memilih duduk di kursi yang agak jauh dari Daniel.

Detik demi detik berlalu. Lima belas menit kemudian dokter yang memeriksa Bellia tiba-tiba keluar dan bertanya siapa wali gadis itu.

"Saya, Dokter." Daniel sontak berdiri dari tempat duduknya lalu menghampiri dokter itu.

"Bagaimana keadaan Bellia?" tanyanya begitu tiba di ruangan dokter.

Lelaki berjas putih itu pun menjelaskan secara singkat tentang kondisi Bellia. Bellia ternyata mengalami gejala tifus dan kelelahan. Dia menyarankan agar Bellia dirawat selama dua sampai tiga hari untuk memulihkan kembali kesehatannya.

Daniel mengucapkan terima kasih pada dokter tersebut lalu pergi ke kamar Bellia. Ada perasaan aneh yang tidak Daniel mengerti sontak menyelip di dalam dirinya ketika melihat Bellia yang terbaring tidak sadarkan diri dengan tangan yang diinfus.

Daniel tersentak melihat jemari tangan Bellia yang tiba-tiba bergerak. "Kamu sudah sadar?"

Bellia mengerjapkan kedua matanya perlahan. Awalnya semua terlihat samar, tapi lama-kelamaan berubah jelas ketika cahaya putih yang menerebos masuk ke dalam indra penglihatannya.

"Syukurlah kamu sudah sadar."

Bellia sontak menoleh, menatap lelaki berwajah tampan yang duduk di sampingnya. "Pak Daniel?"

"Jangan bicara dulu, aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu."

Bellia gelapan, jujur saja Bellia bingung kenapa dirinya tiba-tiba bisa berada di rumah sakit bersama Daniel. Padahal dia ingin sekali menghindari lelaki itu.

"Syukurlah kamu sudah sadar, Bell."

"Lisa!?" Bellia menatap Lisa dengan dahi berkerut dalam. Dia tidak sadar kalau ada orang lain di kamarnya karena terlalu fokus menatap Daniel.

Lisa berjalan menghampiri Bellia sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Kamu tadi pingsan, makanya Pak Daniel membawamu ke sini," jelasnya tanpa Bellia meminta.

Bellia sontak mengingat kejadian yang dialaminya beberapa jam yang lalu. Saat itu dia sedang beristirahat di kamar karena sakit kepala. Tiba-tiba saja Daniel mengetuk pintu kamarnya lalu bertanya tentang jepit rambut miliknya yang tertinggal di kamar lelaki itu.

Bellia belum siap menghadapi Daniel dan merasa sangat tertekan. Apalagi kondisinya sedang kurang enak badan. Sepertinya karena alasan itulah dia sampai pingsan.

"Syukurlah ada kamu, Lis. Aku pikir cuma di rumah sakit berdua sama Pak Daniel."

"Memangnya kenapa kalau cuma berdua?"

"Ti-tidak kenapa-kenapa." Bellia membuang pandangannya ke arah lain. Dia takut Lisa curiga kalau terjadi sesuatu di antara dirinya dan Daniel.

"Apa aku boleh tanya sesuatu, Bell?"

"Em, tentu ...," jawab Bellia ragu. Entah kenapa perasaan Bellia mendadak tidak tenang. Apa lagi tatapan Lisa tidak terlihat bersahabat seperti biasa.

"Apa ada sesuatu di antara kamu dan Pak Daniel?"

Bellia terkejut mendengar pertanyaan Lisa, tapi dia cepat-cepat mengubah wajahnya kembali tenang.

"Ti-tidak. Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Aku heran saja melihat Pak Daniel peduli sama kamu. Kalian benaran tidak punya hubungan apa-apa, ‘kan?"

"Tidak ada, Lis. Sungguh, aku tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Pak Daniel. Lagi pula aku cuma karyawan biasa. Aku tidak mungkin berani mendekati pria sempurna seperti Pak Daniel."

"Lalu ini apa?"

Tubuh Bellia menegang ketika Lisa menyentuh tanda merah yang dibuat Daniel di lehernya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   87. Pelajaran Untuk Vania

    "Dasar bodoh!" Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Vania setelah Daniel memberi tahu sang ayah tentang perbuatannya.Rasa panas sontak mejalari pipinya yang terlihat memerah. Sudut bibirnya bahkan robek dan mengeluarkan sedikit darah.Vania meringis pelan, meratapi karma yang begitu cepat dia dapatkan. Seperti badai yang datang tanpa peringatan. Tamparan sang ayah tidak hanya menghantam wajahnya, tapi juga harga dirinya, padahal baru saja menyerang Bellia di rumah sakit beberapa jam yang lalu.Vania berdiri kaku di tempat, air mata perlahan menetes dari sudut matanya. Bukan karena sakit di wajahnya, tapi kerena kekacauan yang dia buat sendiri, dan mau tidak mau dia harus menanggung semuanya sekarang."Bagaimana kamu bisa melakukan hal serendah ini, Vania?" Suara Bastian—ayah kandung Vania menggema, penuh amarah dan kekecewaan. "Papi sudah menyekolahkanmu tinggi-tinggi, tapi kamu malah mempermalukan Papi seperti ini. Dasar anak tidak tahu diri!"Daniel menyilangkan sebelah kakinya

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   86. Luka dan Dendam

    Pintu kamar Marvell terbuka lebar dengan bunyi dentuman yang terdengar cukup keras, disusul langkah cepat Daniel yang langsung membeku di ambang pintu setelah melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih seketika.Bellia terduduk di lantai dengan rambut berantakan, pipinya merah karena tamparan yang baru saja mendarat di sana. Di sudut lain, Marvell menangis histeris di bawah tempat tidurnya dengan wajah penuh ketakutan. Sebuah vas bunga terjatuh dan pecah di lantai, kursi bergeser dari tempatnya. Jam dinding yang berdetik pelan, menjadi satu-satunya suara yang menyertai isak tangis Marvell.Sedangkan Vania berdiri di tengah-tengah mereka, tubuhnya masih gemetar karena amarah yang begitu membara. Tangan kanannya kembali terangkat, ingin melayangkan pukulan ke tubuh Bellia yang sudah tidak berdaya.Pandangan Daniel langsung berubah tajam, seperti pedang yang baru saja ditempa dalam bara api kemarahan. Berkilau, dingin, dan siap menebas siapa pun yang berani menyakiti orang yang

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   85. Melempar Kesalahan

    "Kamu masih tanya kenapa?" Vania tertawa jahat, seperti seorang psikopat yang menemukan kenikmatan di balik penderitaan orang lain.Tawanya nyaring, getir, dan penuh kebencian, menggema di antara dinding-dinding rumah sakit yang seketika berubah sempit dan dingin."Aku melakukan semua ini karena kamu terlalu naif, Bellia!""Terlalu naif?" gumam Bellia tidak mengerti. Selama ini dia selalu berusaha bersikap baik pada orang lain, bahkan pada tantenya sendiri. Dia tidak pernah membenci tante yang sudah memanfaatkan dan menghabiskan uangnya. Dia rela melakukan semua itu agar hubungannya dengan sang tante baik-baik saja.Namun, Vania tiba-tiba saja datang dan menyebut dirinya 'naif'. Padahal dia tidak pernah bertegur sapa dengan wanita itu.Dia pertama kali melihat Vania sekaligus untuk yang terakhir kalinya ketika ingin menemui Daniel di ruangannya. Kejadian itu pun sudah lama berlalu—mungkin sekitar empat atau lima tahun yang lalu.Saat itu dia ingin memberi tahu Daniel tentang apa yang

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   84. Kenyataan yang Menyakitkan

    Suasana kamar nomor 614 itu kembali hening selepas kepergian Cherry dan Seika. Bellia kembali ke dalam setelah menutup pintu lalu menghampiri Marvell yang duduk di atas ranjang.Marvell tampak murung, wajahnya terlihat tidak ceria saat bersama Cherry. Dan sebagai ibu, Bellia tentu saja menyadari hal itu."Ada apa, Sayang? Kenapa Marvell tiba-tiba sedih?" tanya Bellia terdengar penuh perhatian.Marvell melirik Bellia sekilas, setelah itu kembali memperhatikan gambar beruang yang belum selesai dia warnai. Jemarinya perlahan bergerak, memberi warna pada gambar tersebut agar terlihat lebih hidup.Bellia diam-diam memperhatikan apa yang Marvell lakukan lalu tersenyum tipis. Marvell memang dekat dengan Cherry semenjak masuk sekolah. Mereka selalu bermain dan belajar bersama.Di mana ada Marvell, di situ pasti ada Cherry.Ke mana pun Marvell pergi, Cherry selalu mengikuti. Seperti bayangan yang tidak bisa lepas dan dipisahkan.Saat Marvell bermain bola di halaman sekolah, Cherry akan duduk d

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   83. Teman Istimewa

    Kondisi Marvell berangsung-angsur membaik setelah dirawat selama satu minggu di rumah sakit. Dokter yang merawatnya bahkan merasa heran karena Marvell bisa pulih lebih cepat dari waktu yang mereka perkirakan.Hal ini tentu tidak terjadi begitu saja, Daniel dan Bellia juga memiliki peran yang sangat penting di balik kesembuhannya. Mereka bergantian menjaga Marvell setiap malam. Daniel bahkan rela menunda pekerjaannya agar bisa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk Marvell.Sedangkan Bellia terpaksa menutup toko bunganya selama beberapa hari karena Dita sedang mengunjungi orang tuanya yang tinggal di luar kota. Untung saja para pelanggan mau memahami kondisinya yang sedang tertimpa musibah. Mereka bahkan turut mendoakan semoga Marvell lekas diberi kesembuhan.Marvell tidak pernah merasa kesepian selama dirawat. Setiap hari selalu ada teman sekolah yang datang menjenguknya, terutama Cherry.Anak perempuan cantik berumur empat tahun itu hari ini kembali datang menjenguk Marvell bersama de

  • Cinta Satu Malam: Dimanja Sang Presdir Dingin   82. Kabar Baik

    Ruangan itu dipenuhi aroma karbol dan obat-obatan yang begitu menusuk hidung. Keheningan menggantung jelas di udara, seperti kabut tebal yang begitu menyesakkan.Daniel dan Bellia duduk berdampingan di salah salah satu kursi, sedangkan Mahes memilih berdiri di tempat yang agak jauh dari mereka.Kedua tangan Bellia terkepal erat di atas kedua pahanya. Wajahnya terlihat sangat tegang, seperti menahan beban yang begitu berat. Helaan napas panjang berulang kali lolos dari bibirnya, menahan perasaan takut sekaligus cemas yang berkecamuk di dalam dadanya.Marvell sudah masuk ke dalam ruang operasi sejak satu jam yang lalu, tepatnya setelah mendapat donor darah dari Daniel. Dokter ingin melakukan proses hematosis untuk menghentikan pendarahan yang dialami oleh Marvell.Bellia pikir, operasi Marvell tidak akan berjalan lama. Namun, lampu di atas pintu ruang operasi tersebut masih menyala sampai sekarang.Bellia tidak bisa bernapas dengan tenang, berbagai pikiran buruk terus melintas di pikira

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status