Share

Bab 7 : Kenyataan Pahit

Valerie mengulat. Senin pagi. Saatnya ia bekerja kembali. Valerie melihat ke arah jam di kamarnya, baru pukul 2. Ia masih memiliki banyak waktu.

Semalam, Valerie tertidur terlalu cepat, sekitar pukul 7, jadilah ia bangun terlalu dini. Valerie menguncir rambutnya, membawa hpnya bersamanya dan keluar dari kamarnya. 

Valerie meletakkan hpnya di atas meja, mengambil gelas yang berukuran sedang. Membuka toples kopi, menuangkan kopi 3 sendok dan gula pasir 1 sendok. Menyeduhnya dengan air panas sedikit, dan sisanya di masukkannya es batu.

Es kopi kesukaan Valerie sudah siap dinikmati. Ia tidak peduli pagi, siang, sore atau malam, es kopi tetaplah juaranya. Valerie duduk di meja makan, menikmati kopi sambil membuka hpnya. Ada 1 pesan dari Risko yang belum ia buka semalam.

-Oke goodnight Valerie. Have a very best dream-

Valerie tersenyum membaca pesan dari Risko. 

Hari Sabtu, mereka mengobrol sampai sore sekali, sampai Valerie hampir lupa mengeluarkan pudding yang sudah ia buat. Mengobrol dengan Risko benar-benar menyenangkan. Valerie merasa Risko benar-benar dirinya dalam versi cowo. 

Namun Risko berbeda dengan dirinya, jika dirinya masih sangat ingin didengarkan, Risko adalah pendengar yang sangat baik. Risko mendengar dan ingin mengetahui semua cerita Valerie. Tidak memotong ketika Valerie dengan antusiasnya bercerita mengenai kecintaannya dengan dunia kuliner.

Pikiran Valerie kembali melayang ke hari Sabtu dimana ia dan Risko saling bertukar pikiran.

“Kalo saya buka usaha kuliner, menurut kamu yang paling cocok apa?” tanya Valerie kepada Risko.

“What you love the most?” tanya Risko balik.

“I love every food,” jawab Valerie polos.

“Kalo gitu, yang kamu expert luar biasa,” kata Risko lagi.

“Saya bisa hampir semua masakan sih…” Valerie menjawab agak ragu kali ini.

“Hm.. Saya juga bingung nih. Masalahnya saya juga baru aja nyobain masakan kamu yang tadi. Dan itu semuanya enak. Spageti yang makanan western enak, sedangkan ayam bakar dan sambelnya juga enak.” Risko terdiam sesaat. Ia berfirkir. Valerie juga berfikir, hening menyelimuti mereka berdua.

Lama kelamaan obrolan ini berubah dari obrolan santai jadi brainstorming untuk membuka usaha. 

“Gimana kalo kamu kasih saya sample beberapa makanan yang kamu paling, paling, paling, suka dan jago, trus saya kasih nilai?” tawar Risko.

“Hemm ini sih kayaknya modus aja biar kamu makan masakan saya terus ya?” tanya Valerie.

“Yaaa saya sih Cuma mau coba bantu kamu aja,” ujar Risko cuek.

“Hahaahha bisa aja. Yaudah nanti kalo saya lagi bangun pagi dan kalo saya ga mager, saya kasih kamu sample beberapa makanan saya ya,” ujar Valerie.

“Besok kamu ada acara?” tanya Risko.

“Ada,” jawab Valerie.

“Hm yaudah,” jawab Risko lemas.

“Kamu ga tanya acaranya apa?” tanya Valerie. Risko mengerutkan dahinya.

“Emang apa?” tanya Risko.

“Rebahan di rumah hahaha,” jawab Valerie.

“Apa sih kamu, hahaha. Kamu bener-bener beda ya sama waktu kita meeting,” jawab Risko.

“Bedanya?” tanya Valerie.

“Kalo sekarang, kamu manusia. Bisa ketawa, bisa nyebeli,n, waktu meeting mah kamu robot, Cuma bisa kerja, ngomongin bisnis, trus senyumnya formalitas.”

“Yah, kamu juga. Kalo sekarang kamu beneran manusia, waktu itumah mesin,” kata Valerie.

“Hahahaha,” Risko tertawa keras.

“Ya kita emang harus gitu kan, bisa menempatkan diri. Saya manusia biasa kok kalo diluar pekerjaan. Tapi kalo dalam pekerjaan ya saya hanya menjalankan peran sebagaimana saya harus berperan dan bekerja, betul begitu Bapak Risko?” tanya Valerie.

“Betul sekali Ibu Valerie,” kata Risko. Valerie tersenyum. Risko benar-benar hangat. Betul kata Risko, ia memang seperti robot ketika di pekerjaan, makanya mungkin itu yang membuat para laki-laki takut mendekatinya, karna mereka kira Val akan sedingin ketika di pekerjaan, padahal tidak. Mereka saja yang tidak mau repot-repot untuk mengenal Val lebih jauh.

“Kenapa nanya besok ada acara atau gak?” tanya Valerie.

“Mau ngajak kamu ke resto burger keluarga saya,” jawab Risko singkat.

“Oh yaah sayang banget. Tadi bercanda hehe aku beneran ada acara besok, sama Intan. Emang Cuma sebentar sih, tapi selebihnya aku mau istirahat. Sebelum nanti senin aku perang lagi sama klien dan semua berkasnya,” jawab Val.

“Oke no problem. Next time ya,” ujar Risko.

“Iyaa, next time saya janji saya akan kesana, sama kamu. Saya mau belajar banyak sama keluarga kamu,” ujar Valerie.

***

Valerie membuat masakan sangat sederhana pagi ini, omelete. Tidak sampai 15 menit omeletenya sudah jadi. Valerie memakan omelete sambil mendengarkan lagu Westlife kesukaannya. Selesai makan , ia merapihkan piring seperti biasa. Valerie melirik jam. Masih pukul setengah 5. Masih terlalu pagi jika ia harus berangkat kerja.

Valerie akhirnya memutuskan untuk menghirup segarnya udara pagi di dekat rumahnya. Ia memakai kaos panjang dan celana training yang membungkus kaki jenjangnya dengan sempurna. Valerie mengikat rambutnya dan bersiap untuk berlari. 

Valerie membuka pintu rumahnya, ia hendak melakukan sedikit pemanasan di halaman rumahnya terlebih dahulu. Sayup-sayup terdengar suara tukang sayur. Wah Valerie kaget jika tetnyata tukang sayur di sini keluar amat pagi. Kebetulan, sebagian bahan makanan dirumahnya sedang habis, ia hendak memanggil tukang sayut tersebut.

Namun langkahnya urung dilakukann, kala ia mendengar namanya di sebut oleh seorang ibu-ibu.

“Si Val itu? Ah dia mah sering banget emang bawa cowo kerumahnya,” Valerie tertegun. Dirinya terpaku di tempatnya berdiri. Tukang sayur dan ibu-ibu itu mengobrol di rumah persis sampimhnya, mungkin karna masih subuh, jadi ia sampai bisa mendengarnya. 

“Dia itu belum nikah pasti karna ga ada yang mau sama dia. Ya gimana mau ada cowo yang mau kalo hampir setiap hari bawa cowo kerumah, deuhhh susah sih ya kalo anak gede ga pake didikan orang tua yaa gitu,” Valerie sudah hampir menangis. Ia benar memang sering ada laki-laki yang datang kerumahnya, namun tidak semua spesial. 

Val, Intan, dan pacar nya Intan memang sering main dirumahnya, karna merasa bebas dan tidak sungkan, mereka bisa tertawa tawa sampai pagi menonton film. Ternyata selama ini tetangga nya berfikir seperti itu.

Dan kalaupun dia ingin melalukan One night stand, Valerir tidak pernah melakukannya di rumah, ia sudah pasti melakukannya di hotel, karna laki-laki yang ia kencani adalah laki-laki bermodal, bukan hanya sekedar menumpang di rumahnya.

 Dan, tanpa didikan orangtua? 

Meskipun Valerie jauh dari orangtuanya, mereka tetap selalu memonitor appa yang Val lakukan, mereka tau Val memiliki etika. 

“Masa sih?” sebuah suara menyahuti suara ibu-ibu sebelumnya.

“Iyaaa Bu, orang dia juga kalo berangkat pagi, pulang tengah malem kadamg pagi. Liat deh dia punya mobil kan? Itu sih udah pasti dikasih sama ‘om’.”

“Bu, ibu ngegosip aja nih,” kata si Mamang tukang sayur.

“Ini bukan gosip atuh Mang, beneran ini sih. Ih saya mah kalo jadi orangtuanya malu anak umur segitu belom nikah. Mending anak saya, umurnya mah 10 taun kali lebih muda dari dia, tapi udah nikah,” ujar Ibu itu. Valerie ingat, ini adalah suara Bu RT. Benar, anaknya usianya baru 24 tahunan, dan sudah menikah dengan teman sebaya nya. Hamil diluar nikah. Ia mengetahui ini karna Tini, anak Bu RT ini pernah datang kerumahnya untuk meminjam uang untuk biaya anaknya. 

Suaminya tidak mau kerja dan Tini belum bisa bekerja karna sakit pasca melahirkan. Yang seperti itukah yang dibanggakan? Valerie benar-benar geleng kepala.

Sungguh miris kenyataan bahwa di negaranya masih sangat judgmental bagi perempuan-perempuan yang dalam usia sudah lanjut namun belum ingin menikah.

Bahkan mereka lebih malu jika anaknya berusia matang namun belum menikah karna banyak yang dipersiapkan daripada hamil diluar nikah dan hidup susah, bahkan harus sampai meminjam sana sini untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Valerie sudah tidak mood untuk berolahraga. Ia kembali masuk ke dalam rumah, mengemasi beberapa barang, bahkan beberapa baju ke dalam koper sedang kesayangannya, dan bergegas  memasukkan kopernya ke dalam mobil. Mungkin malam ini ia tidak akan pulang, entah mau bermalam dimana, ia akan pikirkan nanti. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status