“Usaha hamburger kamu masih jalan sampe sekarang?” tanya Valerie.
“Masih. Tapi jangan kamu bayangin usaha hamburger saya usaha yang besar, berkembang pesat dan punya franchise dimana-mana. Usaha hamburger saya usaha keluarga yang bahkan orangtua saya gamau anaknya ada yang colek-colek resep mereka hahha," Risko tertawa. Satu hal yang Valerie dapat dari Risko adalah, di luar pekerjaan, Risko orang yang sangat suka tertawa. “Orang tua kamu keren. Saya mau banget usaha makanan dari dulu tapi ga bisa-bisa. Mungkin karna masih kerja kali ya. Ajak saya dong ke usaha keluarga kamu,” pinta Valerie.“Boleh, kapan-kapan kamu saya ajak yaa ke warung hamburger punya orangtua saya,” janji Risko.“Kalo kamu emang niat mau usaha yang beneran, kamu harus berani buat keluar dari zona nyaman kamu di kantor Val,” nada bicara Risko semakin lama sudah semakin santai. Sudah seperti bicara dengan teman dan bukan partner bisnis lagi.“Itu yang belom saya bisa. Saya ngerasa kayak saya ga akan bisa kayak sekarang pemasukannya kalo saya mulai usaha. Dari nol lagi kan. Saya masih terlalu takut untuk mulai percaya sama mimpi saya sendiri,” kata Valerie. Mukanya sedih. Risko menemukan betapa Valerie ini begitu menyukai dunia kuliner.Terlihat dari hidangan yang ia hidangkan hari ini, bukan perkara mudah menyiapkan semuanya sendiri. Mulai dari hidangan pembuka, hidangan inti dan hidangan penutup yang belum keluar. Dan hidangan yang dihidangkan Valerie juga rasanya bukan rasa yang standar. Mengetahui posisi Valerie di kantor yang lumayan tinggi, pasti membuat Valerie tidak memiliki banyak waktu untuk belajar memasak. Jika bukan karna passion, Risko yakin masakan Valerie tidak akan seenak itu.“Kamu belajar masak udah lama?” tanya Risko. Senyum Valerie melebar. Akhirnya ada yang sedikit tertarik dengan hobi masaknya, biasanya laki-laki yang dekat dengannya, obrolannya tidak jauh-jauh dari bisnis dan posisinya Valerie di perusahaan.“Aku suka banget masak dari dulu,” Valerie merubah posisi duduknya. Ia yang tadinya duduk bersebelahan dengan Risko dan hanya menoleh untuk menjawab, kini duduk berhadapan dengan Risko. Valerie yang selalu exited jika mengenai masakan.Valerie memulai kisahnya tentang kecintaannya terhadap dunia kuliner.Flasback on..Valerie kecil adalah seorang anak yang bahagia, hampir setiap hari setiap pulang sekolah, mamanya mengajak Valerie untuk pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan untuk di masak sore hari untuk makan sekeluarga.“Mah, aku mau itu dong,” Valerie menunjuk sebuah jajanan, waktu itu adalah martabak telur.“Valerie mau itu? Oke nanti Mama buatin ya..” ujar Mamanya.“Oke Mah,” jawab Valerie. “Kalo gitu, kita belanja bahan untuk makanan yang tadi Valerie mau. Yuk.”Mamanya memperkenalkan Valerie bahan-bahan makanan untuk membuat martabak telur tersebut.“Nih Val, kalo kamu mau buat martabak telur kayak abang-abang tadi, kita butuh telur, terigu, gaam, sedikit gula, kaldu ayam, sama daun bawang.” Mama Valerie menjelaskan dengan sangat sabar. Valerie mengangguk-anggukan kepalanya. Ia menyimak dan memasukkan semua ilmu yang sedang diajarkan oleh Mamanya, ilmu yang tidak ia dapatkan di sekolah.Sampai di rumah, Mama Valerie membiarkan Valerie yang membuat apa yang ia mau, dengan tetap pengawasan Mamanya. “Nih, telurnya 2 buah kamu pecahin kayak gini, inget jangan sampe ada kulit telur yang masuk ya. Trus kamu masukin terigu, kamu aduk agak kenceng sampe terigunya bener-bener larut ke dalam telurnya,” ujar Mamanya. Valerie mempraktekan apa yang Mamanya ucapkan. Selagi Valerie sibuk dengan telur dan terigunya, Mama Valerie melanjutkan masak untuk mereka agar nanti malam ketika Ayah Valerie pulang, masakan sudah matang.“Duh capek Mah ngaduknya,” ujar Valerie. Mama Valerie tersenyum.“Kalo capek istirahatin dulu tangannya, nanti kalo udah ga capek, baru aduk lagi ya. Anak Mama pinter, anak Mama kuat.”Semangat Valerie membungkah kembali. Ia kembali mengaduk dengan penuh semangat telur yang sudah dicampur dengan tepung terigu tersebut. Sampai akhirnya...“Mahhh liat, udah larut kan segini?” tanya Valerie antusias.“Wah, iyaa udah. Bagus anak mamah pinter. Sekarang masukin garam sedikit, kaldu ayam bubuk, gula sedikit,” Valerie mengikuti arahan dari Mamanya.“Coba Mama cobain,” Mamanya memasukkan jari kelingkingnya ke dalam adonan yang Valerie buat.“Mah kan itu mentah,” kata Valerie.“Nanti lama-lama kamu juga ngerti kalo setiap masakan itu harus dicobain walaupun dalam keadaan mentah, kan ga banyak, biar kita yakin rasanya baru di goreng,” jelas Mamanya.“Emmm ini enak,” ujar Mamanya sumringah.“Serius Mah?” tanya Valerie.“Seriusss. Kamu mau coba?” tanya Mamanya. Valerie mengikuti Mamanya, mencelupkan jari kelingkingnya ke dalam adonan dan menjilatnya.“Weeee, gaenak Mamaaah,” Val berteriak.“Hahaha kamu belum terbiasa. Nanti kalo udah mateng pasti enak kok. Yaudah sana kamu mandi, selebihnya biar Mama yang goreng ya, kamu jangan goreng masih terlalu bahaya,” kata Mamanya.“Okee Mah.”Ketika Ayah mereka pulang, dan Valerie sudah mandi, mereka hendak makan malam bersama. Mama Valerie ikut menyajikan martabak telur yang Valerie buat di samping makanan yang Mamanya masak.“Ayah, ini Valerie yang buat loh,” kata Mamanya.“Serius? Wah anak Ayah pinter. Ayah cobain ya,” kata Ayahnya. Valerie mengangguk antusias. Sebelum ia mencoba, ia ingin melihat reaksi Ayahnya terlebih dahulu.Ayah Valerie memasukkan potongan martabak telur ke dalam mulutnya, merasakan gurihnya, rasa telurnya, dan lembut dari campuran dengan trigunya. “Ini enak banget,” kata Ayahnya dengan mata yang berbinar.“Wahhhhh, makasih Ayah,” kata Valerie.“Kamu pasti nanti akan pinter masak Nak,” kata Ayahnya. Valerie tersenyum lebar. Ia mengaminkannya.Valerie lanjut, ia juga ingin mencoba martabaknya. Dan ternyata ucapan Ayahnya benar, martabak telur ini enak sekali. Valerie, Mama dan Ayahnya makan dengan sangat suka cita.Sejak saat itu, Valerie seringkali membantu Mamanya memasak. Valerie yang saat itu baru kelas 1 sd masih belum memahami konsep membuat dan membeli. Kebiasaan itu berlanjut. Setiap Valerie meminta sesuatu, pasti Mamanya akan bilang untuk memasakannya dan memang benar.Valerie tetap ikut andil dalam setiap makanan yang ia mau. Valerie pasti membantu membuatkan. Dari situ timbul kecintaan Valerie dalam dunia kuliner. Beranjak SMP, Valerie bahkan sudah bisa ditinggal sendiri untuk memasak atau menyalahkan kompor.Bahkan kadang, Valerie hanya melihat di Youtube atau internet lain dan mempraktekannya sendiri. Orang rumah suka sekali jika Valerie sudah masak dan menyuruh mereka untuk mencicipi kue atau masakan buatan Valerie.Flasback Off.“Kalo kayak gitu kenapa kamu ga ambil sekolah masak yang lebih serius?” tanya Risko. Kini mereka benar-benar sudah rileks. Bahkan risko sudah duduk menyender juga di sofa.“Karna waktu saya SMA, saya ga PD untuk ngambil jurusan pastry atau tata boga, jadi saya tetep ambil SMA dan IPS. Yaudah pas kuliah ambil bisni, jadi keterusan. Lagian kalo masak jadi pekerjaan dan jadi pelajaran, saya takut kecintaan saya sama dunia kuliner justru jadi beban. Kan kalo kayak gini, masak selalu bisa jadi pelarian saya kalo stress ehehe,” ujar Valerie. “Jadi kamu ga pernah makan di luar dong?” tanya Risko.“Sering kalo sekarang sih, karna kadang ga sempet juga masak. Kayak yang kamu lihat, saya tinggal sendiri di sini, semuanya sendiri, jadi kadang ga sempet masak.”“Nah itu juga mau saya tanya, kenapa kamu tinggal sendiri? Kenapa kamu ga punya asisten rumah tangga?” tanya Risko.“Saya lebih suka semuanya saya yang ngerjain, saya yang nyentuh daripada saya harus ngandelin orang lain, iya kalo bener, kalo ga bener, kan buang-buang energi saya lagi.” “You really have trust issues.” desis Risko.“Jadi gini Bu Valerie..”Faris mendengarkan di depan pintu dengan Valerie yang ada di tempat tidur.“Ibu pernah punya histori radang tenggorokan ya?” tanya Dokter Ali.“Iya dok,” jawab Valerie.“Nah radang tenggorokannya itu kumat bu, jadi demam, enggak enak badan. Lidah juga pahit. Ini enggak apa-apa kok. Cuma butuh istirahat aja, makan juga jangan sembarangan dulu ya bu. Trus banyakin minum air putih.”Valerie mengangguk-angguk. Sudah bukan hal baru dirinya terkena radang tenggorokan. Biasanya jika ia banyak pikiran, atau tubuhnya sedang lelah, radangnya bisa memerah dan membuatnya tidak enak badan.Namun kali ini, sakitnya luar biasa. Mungkin karena ia benar-benar tidak memperhatikan makanan atau minuman apa yang ia konsumsi belakangan, ditambah lagi dengan aktifitasnya yang tidak ada behentinya.“Ini saya buat resep untuk radang tenggorokannya ya, nanti bisa ditebus di apotik. Kalo 3 hari be
Pukul 4 pagi, Valerie dan Faris baru sampai di rumah. Tubuh mereka sudah lelah dan mengantuk.“Kamu apa aku yang mandi duluan?” tanya Valerie.“Kamu aja dulu, abis itu baru aku,” jawab Faris.Setelah Valerie dan Faris mandi, keduanya langsung tertidur. Namun, kali ini Valerie merasa dingin yang dirasakan berbeda dari dingin yang biasanya.“Pasti gara-gara mandi abis begadang nih,” pikirnya.Valerie merapatkan selimutnya dan menaikkan suhu AC nya agar tidak terlalu dingin. Tapi ternyata tidak membantu sama sekali, tubuhnya menggigil saking dinginnya. Faris yang merasakan ada getar disampingnya, membuka mata dan melihat Valerie dalam keadaan menggigil.“Val, kamu kenapa? Dingin ya?” tanya Faris. Valerie mengangguk.Faris buru-buru menuju lemari, ia mengambil 2 pasang kaus kaki dan memakaikannya di kaki Valerie bersamaan. Ia mematikan AC, dan menyalahkan Air cooler. Tidak sedingin AC, namun tetap m
“Enggak apa-apa. Aku selalu kabarin ibuku kok kalo belom pulang,” jawab Anita.“Oh ya?”“Iya, aku lagi sama siapa, aku lagi dimana, ngapain, aku pasti kabarin ibuku. Sebenernya dia enggak minta, tapi emang aku yang selalu ngabarin biar enggak kuatir,” jelas Anita.“Oke kalo gitu.”Risko menyandarkan punggungnya ke sandaran kursinya. Ia memejamkan mata, tanpa sadar ia sudah terlelap tidur. Tidak berbeda dengan Anita, setelah memastikan semua pintu terkunci dan AC tetap menyala, Anita jatuh tertidur.Tapi tidak lama kemudian, Anita bangun, ia tidak bisa tertidr jika kondisi mobil tidak berjalan. Lagi pula, tidak baik untuk pernafasan. Buru-buru Anita membuka semua jendela dalam mobil Risko.Angin malam langsung berebut masuk. Malam ini tidak terlalu dingin sebenarnya, tidak seperti malam-malam kemarin. Tapi sudah cukup membuat Anita mengencangkan jaketnya.Anita melihat ke layar, sudah nomor
Valerie yang tadinya sedang serius mengerjakan laporan langsung bangkit dari duduknya.“Serius??” tanya Valerie sambil menghampiri Anita.“Iya Val. Dia bilang mau jadi suamiku tadi,” jawab Anita.“And you said yes?” tanya Valerie, dia benar-benar exited mendengar kabar ini.“Iya Val,” jawab Anita malu-malu.“Wahhhhhh keren banget kalian berduaaa, jadi kapan nih?” tanya Valerie. Ia menarik tangan Anita untuk duduk di sofa bersama dirinya dan Faris.“Masih lama kok. Aku mau kenal Risko dan keluarganya lebih dalam lagi, juga mau kenal sama temen-temannya Risko dulu. Soalnya kan kita kenalnya baru, jadi enggak langsung cepet juga. Minimal 3 bulan aku minta waktu, ya Ris?” tanya Anita kepada Risko.“Iyaa, aku juga mau kenal dulu sama keluarga dan temen-temennya dia. Abis itu kita diskusi lagi, baru deh tentuin tanggal,” jawab Risko. Ia duduk di kursi yang tadi Vale
Anita terdiam. Ia tidak menyangka Risko secepat itu melamar dirinya.“Anita?” tanya Risko.“Eh eh maaf Risko. Aku kaget, enggak nyangka kamu secepat itu ngelamar aku,” ujar Anita.“Iya makanya. Aku juga mikir kamu pasti ngerasa ini cepet banget. Tapi aku udah ngerasa cocok sama kamu. Aku mau hidup aku sama kamu.”Anita menatap Risko, mencari kebohongan dalam mata Risko, tapi ia tidak melihatnya sama sekali. Risko terlihat tulus, ia tidak terlihat bohong sama sekali.“Risko, kamu yakin? Kita belum lama kenal loh..” ujar Anita.“Aku yakin. Aku bisa kenal kamu nanti setelah nikah. Enggak apa-apa kok. Aku beneran yakin mau nikah sama kamu, kamu adalah calon istri yang aku rasa terbaik buatku, buat Papaku, buat keluargaku.”Anita tersentak.“Aku bahkan belom sempet kenal sama keluarga kamu, kalo mereka enggak suka sama aku gimana?” tanya Anita.“Eng
Anita dan Risko sudah duduk di dalam rumah makan. Mereka duduk berhadapan dengan pemandangan langit yang cerah. Dengan lampu-lampu kecil cantik menghiasi interior rumah makan tersebut yang makin terlihat ketika sudah gelap.Angin malam menerbangkan rambut Anita yang dikuncir hanya setengah.“Dingin ya?” tanya Risko.“Lebih tepatnya adem, bukan dingin. Yang waktu di Villa nya Faris aja aku kuat kan,” ujar Anita.“Oh iya bener.”“Kamu tau tempat ini darimana sih? Bagus banget tau,” ujar Anita.“Dulu pernah makan di sini sama temen kantor rame-rame. Kita dari luar kota trus mampir kesini eh ternyata bagus banget.”Obrolan mereka terselak oleh pelayan yang mengantarkan makanan untuk Risko dan Anita. 2 piring nasi dengan ayam goreng dan sambal juga lalapan tersaji di depan mereka. 2 gelas jus buah naga pun tidak luput dari pesanan.“Makasih Mas,” ujar Anita.“Sama-sa