Share

Bab 8 : Valerie mendapat pandangan lagi

Valerie berangkat ke kantor, berharap pikirannya akan teralihkan dengan setumpuk pekerjaan yang menumpuk. Valerie melewati kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja di tukang sayur, mereka terdiam melihat mobil Valerie lewat. Tersenyum padanya.

Munafik, pikir Valerie.

Setelah mobil Valerie lewat, mereka kembali melanjutkan menggunjing.

“Tuh bener kan, pagi banget berangkatnya. Karyawan apaan berangkat jam segini coba, emangnya OB,” ucap salah satu ibu-ibu.

“Ya mungkin kantornya jauh Bu, jadi berangkat pagi-pagi,” kata Si Tukang Sayur.

“Ah si Mamang emang ga bisa nih kalo dibilangin. Ya bu yaa,” Ibu-ibu yang lain mengangguk mengiyakan.

Valerie melihatnya dari kaca spion mobilnya, ia kembali kesal. Ia kesal karna beberapa fakta menyakitkan yang selama ini ia hindari.

Pertama, fakta bahwa dirinya belum menikah bahkan takut untuk menikah atau sekedar memiliki komitmen. Kedua, fakta bahwa orang-orang mengira dirinya memiliki banyak uang karna bekerja yang bukan-bukan, padahal untuk mencapai posisi di kantornya yang sekarang bukan perkara mudah. Ia mendapatkannya murni karna kerja keras dan hasil kerjanya, bukan karna ia mencari muka seperti teman-teman yang jabatannya sama dengannya.

Dan fakta menyedihkan yang terakhir adalah bahwa di lingkungannya, belum menikah di umur yang sudah matang adalah sebuah aib. Ia geram, ternyata tahun sekarang masih saja ada orang yang berfikirian seperti itu.

Valerie mengemudikan mobilnya dengan cepat. Sekarang masih jam 5, masih terlalu dini hari untuk dirinya berangkat ke kantor, jalanan pun masih sangat sepi, namun Valerie tidak peduli. Ia tetap berangkat ke kantor.

Sampai kantor, ia memarkirkan mobilnya, membawa tas kerjanya, hp dan kunci mobil dan hanya menggunakan sendal jepit, Val masuk ke dalam gedung perkantoran. 

“Wah Bu Valerie, pagi banget Bu,” sapa seorang satpam kantornya.

“Hehhehe iya nih Pak, lagi ada kerjaan urgent,” kilah Valerie.

“Wah iyaa deh bu, mari,” ujar Satpam. Valerie menganggukan kepalanya dan berrjalan melalui satpam tersebut. Valerie menaiki lift untuk sampai ke lantai 2, lantai dimana ruangannya berada. Pintu lift terbuka, ruangan kerja masih sangat lenggang. 

Belum terlihat satupun karyawan yang datang. Ya jelas, orang seakarang baru pukul setengah 6. Hanya terlihat seorang Office boy yang sedang mengelap meja dan menyediakan air minum.

“Pagi Daus,” sapa Valerie kepada Office Boy tersebut.

“Eh Bu Valerie. Pagi amat Bu, kaget saya,” jawab Daus.

“Hahhaha kenapa kaget?” tanya Valerir.

“Kaget Bu, biasanya jam segini saya sendirian, eh tau-tau ada yang negor. Kan saya kaget,” kata Daus.

“Hahaha bisa aja kamu,” Valererie berlalu lagi melewati Daus menuju ke ruangannya. Valerie duduk di mejanya, sedikit memperhatikan ruangannya yang ternyata selama ini tidak pernah ia perhatikan. 

Ruangannya tidak terlalu besar, namun cukup prestige untuk menyambut tamu dari luar. Valerie berjalan ke dekat pintu, ada sebuah meja kecil yang ia beri bunga. Bahkan bunga itu belum berganti sejak sekitar 6 bulan yang lalu.

Valerie ingat itu adalah bunga yang ia beli bersama Intan di pasar kembang. Bunga Lyly. Setiap pagi, pasti bunga ini disiram dan dirawat, hingga masih bisa hidup sampai sekarang.

Valerie keluar dari ruangannya, ia hendak membuat kopi di pantry. 

“Us, kopi sama gula mana?” tanya Valerie.

“Itu Bu di lemari yang paling atas. Sini saya buatin aja Bu,” kata Daus.

“Gausah gapapa, saya buat sendiri aja. Kamu lanjutin kerja kamu aja,” kata Valerie.

“Iya bu.”

“Kamu setiap hari dateng jam segitu?” tanya Valerrie.

“Iya bu, saya jam 5 sampe kantor Bu,” jawab Daus.

“Nanti pulang jam berapa?” tanya Valerrie lagi.

“Pokoknya kalo udah piulang semua Bu, kadang jam 9, kadang jam 10. Kalo ada yang nginep ya saya juga nginep kecuali ada OB di lantai lain yang nginep baru saya pulang, saya bisa nitip,” kata Daus.

Valerie mengangguk-angguk. Dirinya baru tau kalo ternyata OB pun memiliki beban pekerjaan yang berat. Tidak ada pekerjaan yang tidak memiliki beban.

“Bu Valerie tumben dateng pagi-pagi banget Bu,” ujar Daus.

“Eh iya saya bangun kepagian trus ga bisa tidur lagi, jadi yaudah saya berangkat aja ke kantor,” ujar Valerie.

“Ohhhh gitu,” Daus mengannguk-angguk sambil terus melanjutkan pekerjaannya mencuci piring. 

“Daus, kamu sudah nikah?” tanya Valerie tiba-tiba.

“Eh, udah Bu, saya udah pernah nikah,” jawab Daus, kaget dengan pertanyaan Valerie yang tiba-tiba.

“Sudah pernah nikah?” 

“Iya Bu, sekarang saya udah pisah sama istri saya Bu,” jawab Daus.

“Daus sini ngomongnya jangan sambil cuci piring. Sini duduk di depan saya,” ujar Valerie.

“T..Tapi Bu, cucian piring saya belum selesai, nanti kalo ga saya kerjain keburu karyawan pada dateng,” jawab Daus.

“Udah kamu tenang aja, nanti saya bantuin. Sekarang kamu temenin saya ngobrol dulu,”ujar Valerie. Dengan tidak enak hati, Daus mengikuti kemauan Valerie. Ia duduk di meja di depan Valerie.

“Kamu pisah sama istri kamu? Kenapa?” tanya Valerie.

“Istri saya selingkuh Bu,” jawab Daus sambil menunduk.

“Kok bisa?” tanya Valerie.

“Ya bisa Bu, kan saya  kerja di Jakarta, istri saya di kampung. Padahal saya sayang banget sama dia Bu, kita baru nikah 2 tahun, anak baru umur 1 tahun. Eh dia kepincut sama duda di sana. Ya saya yang salah sih Bu, ninggalin istri saya kerja lama-lama, walaupun saya kerja juga buat dia sama buat anak. Mana dia masih muda, masih cantik, walaupun udah punya anak juga masih banyak yang mau. ”ujar Daus dengan nada sedih.

“Emang kamu umur berapa sih Daus?”

“Saya 27 Bu.”

“Istri kamu?” 

“19 tahun ini.”

“Kenapa kamu masih muda udah nikah?”

“Kalo di kampung, umur saya segitu udah ketuaan Bu, istri saya juga umur 17 waktu nikah sama saya. Itu udah harus nikah. Di kampung mah umur 14 tahun juga udah disuruh nikah Bu,” ujar Daus lagi.

“Apa mereka udah siap? Secara finansial, secara mental, secara fisik?” tanya Valerie.

“Yah di kampung mah ga pake mikirin kayak gitu Bu, malah ada yang Cuma lulus SMP trus nikah. Padahal kadang cowonya juga masih muda.”

“Setelah nikah, mereka kerja, apa gimana?” 

“Ya yang laki-laki mah kerja Bu, bertani atau jualan. Kalo gak, ya mereka masih makan sama orangtua yang laki-laki atau orangtua yang perempuan. Makanya saya ke Jakarta, niat mau benerin hidup tapi malah diselingkuhin.”

“Anak kamu?”

“Ikut istri saya Bu, tapi saya masih suka kirimin mainan buat anak saya. Nanti kalo dia udah sekolah juga saya bayarin uang sekolahnya, biar gimanapun saya tetep tanggung jawab karna saya bapaknya.”

Valerie menghela nafas, fenomena seperti ini benar-benar sudah mendarah daging di negaranya. Bagaimana tingkat kehidupan masyarakatnya mau naik jika angka pernikahan anak dibawah umur maish sangat tinggi. Mereka belum siap untuk menikah namun dipaksa menikah.

Secara finansial mereka belum siap, akhirnya mereka mengandalkan orangtua, itu pun kalau orangtua nya masih bisa memberi mereka makan. Mereka belum siap secara mental, menghadapi masalah rumah tangga benar-benar diperlukan mental yang kuat, tidak bisa sembarangan. Termasuk masalah kesetiaan. Jika itu tidak bisa dipegang dengan teguh, yang terjadi ya seperti kisah Daus ini.

“Yaudah yuk saya bantuin cuci piring, makasih ya Daus kamu udah nemenin saya ngobrol,”ujar Valerie.

“Yaampun Bu, gausah deh saya bisa kok. Masih keburu ini,” ujar Daus.

“Ga, kan saya udah janji,” kata Valerie sambil berjalan menuju bak cuci piring dan mulai membantu Daus. Daus melongo melihatnya, baru kali ini ia lihat ada seorang manajer mau membantunya mencuci piring hanya karna ia menemaninya ngobrol. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status