“Ilana manggil aku Papa, Hon!”
“Iyaaa, B.”
“Pa!” Badai mengulangi kata pertama yang diucapkan Ilana seminggu yang lalu di Fish & Co. Grand Indonesia. “Dia manggil aku Papa!”
Padma sudah mendengar ratusan kali (dan ini bukan hal yang berlebihan, memang faktanya Badai sudah membicarakan ini ratusan kali) mengenai kata pertama yang diucapkan Ilana.
Perempuan itu bahkan masih mengingat dengan jelas, ketika ia tiba di Fish & Co. setelah selesai creambath, hal pertama yang dilakukan Badai adalah memeluknya di depan anak-anak dan semua orang.
Dengan sangat senang lelaki itu mengatakan kalau kata pertama yang diucapkan Ilana merupakan ‘Papa&
“Mama nggak capek?”“Nggak.” Padma menggeleng sembari menggoyangkan gandingan tangan mereka. “Abang capek?”“Nggak, Abang nggak capek!”Kekehan kecil meluncur dari bibir Padma ketika melihat bagaimana bersemangatnya Asa pagi ini. Usai sarapan, Padma mengajak Asa untuk berjalan bersamanya ke taman yang tak jauh dari rumah mereka.Asa tentu saja langsung mengiakan. Anaknya itu sudah seperti bodyguard kecil untuknya. Ia bahkan memperhatikan jalanan di depan mereka, kalau ada kerikil yang mungkin akan mereka lewati, Asa akan memberi tahu Padma supaya minggir sedikit dan tidak menginjak kerikil tersebut.“Mama mesti sering-sering olahraga ringan biar sehat terus,” ce
“Kamu nggak capek gendong Ilana terus?”“Nggaklah, masa gendong anak sendiri capek.”Shua mendengus mendengar bagaimana bangganya Badai kuat menggendong anaknya selama berjam-jam.Saat ini mereka tengah berada di acara keluarga Tanaka, lebih tepatnya ulang tahun sang oma yang jadi hari wajib berkumpul untuk mereka semua. Padma sendiri sedang mengobrol dengan Oma dan Badai menawarkan pada istrinya agar ia saja yang menggendong Ilana.“Udah tahu mau kasih nama apa untuk anak ketiga kalian?”Badai langsung memicingkan matanya begitu mendengar pertanyaan Shua. “Nggak usah ngeledek deh.”Shua langsung tertawa melihat raut wajah Badai yang masam. &ldqu
“Sadar nggak sih kalau kita selalu ada di saat Asa dan Ilana dulu lahir?”“Hon!” Badai malah tak langsung menjawab pertanyaan Padma. “Kok sempet-sempetnya sih kamu mikirin itu? Ini kamu udah mau lahiran lho.”Padma tertawa singkat, tapi langsung mengernyit saat rasa ngilu itu kembali datang. Mereka sudah berada di ruang bersalin dan kini Badai tengah menemaninya.Pagi tadi, mereka memutuskan untuk ke rumah sakit ketika merasakan tanda-tanda kalau anak ketiga mereka sudah siap untuk bertemu orangtuanya.Asa dan Ilana dijaga oleh orangtua Padma, sementara itu, di luar sana sudah ada sahabat-sahabat Badai, Arsa dan Mili, juga Shua—yang baru kembali dari luar negeri dan langsung meluncur ke rumah sakit dari bandara.“Kam
“Hon, kaos kaki aku di mana ya?”“Udah aku taruh di dekat sepatu kamu tadi.”“Di—oh! Thank you, Honey.”Padma hanya tersenyum geli mendengar bagaimana Badai masih menanyakan hal tersebut setiap hari padahal Padma selalu meletakkannya di tempat yang sama.“Cantik,” puji Badai saat melewati Padma yang tengah berdiri di depan walk in closet untuk mengambil pakaian sehabis mandi.Lelaki itu melangkah mundur dan mencuri kesempatan untuk mencium pipi Padma, baru kembali berjalan ke tempat di mana sepatu dan kaos kakinya berada.“Hari ini kamu lembur, B?” tanya Padma setelah selesia mengenakan pakaiannya.“Nggak dong,” jawab Badai dengan cepat. “Hari ini kan ulang tahun Ilana. Mana mungkin aku lembur. Oh ya, kuenya nanti dianter ke rumah atau perlu diambil ke toko kuenya?”“Kata mereka sih bisa dianter ke rumah.”“Kalau perlu diambil, bilang ke aku aja ya. Biar aku yang ambil, kamu di rumah aja. Atau minta yang lain untuk ambilin.”“Aku nggak dibolehin keluar rumah nih?” goda Padma.Perempua
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka