Share

Lebih Hebat Aku atau Mantanmu?

“Padma, ada Badai di bawah.”

Padma yang baru saja membuka pintu kamarnya untuk sang ibu langsung menatap perempuan paruh baya tersebut dengan tak percaya. “Badai?”

“Iya, pacar kamu.” Walaupun sudah ratusan kali dibilang kalau ia dan Badai masih di tahaop ‘pendekatan’, bagi sang ibu tetap saja lebih mudah menyebut Badai sebagai pacar Padma. “Buruan gih, ganti baju yang sopan dikit buat ketemu Badai.”

Padma menunduk untuk menatap pakaian yang ia kenakan—celana pendek lima senti di atas lutut dan kaos universitasnya yang sudah lusuh tapi nyaman untuk dipakai.

Hari ini adalah hari Jumat dan ia baru saja pulang dari kantor, berharap bisa me time dengan nonton N*****x sampai malam.

“Ketemu Badai doang kan? Begini ajalah.” Padma berdecak pelan. Baru juga lima hari yang lalu mereka memberi tahu para orangtua mengenai keputusan mereka, tapi Badai sudah gencar datang ke rumahnya ‘selayaknya’ calon suami sungguhan.

“Padma….”

“Ma, dia kan calon suami aku….” Padma rasanya mau muntah saat mengatakan kalau Badai adalah calon suaminya. “Jadi ya dia mesti terima aku apa adanya dong. Nggak mungkin aku temuin dia di rumah perlu ganti pakai gaun dan makeup kan?”

Sang ibu hanya bisa menggeleng mendengar jawaban Padma. “Terserah kamu deh, Sayang. Ayo, temuin Badai di samping kolam renang. Dia tadi lagi ngobrol sama Papa di sana.”

Padma tak punya pilihan lain selain menuruti kata-kata ibunya. Di belakang rumahnya, terdapat kolam renang tempat di mana biasanya keluarga mereka menghabiskan waktu untuk bersantai atau untuk berolahraga.

“Nah, itu Padma-nya.” Ayah Padma langsung tersenyum lebar begitu mendapati putrinya berjalan menuju kursi santai yang ia duduki dengan Badai. Walau begitu, keningnya mengernyit saat melihat penampilan anaknya.

“Makasih, Pa, udah nemenin Badai.” Padma berkata dengan sok manis dan membuat ayahnya mengusap puncak kepala Padma dengan penuh kasih sayang—juga jadi lupa untuk menegur putrinya yang berpakaian seperti orang mau tidur saat bertemu dengan calon suaminya.

“Om tinggal dulu ya, Badai.”

Badai mengangguk sopan dan membuat Padma menahan diri untuk tidak memutar bola matanya. “Iya, Om.”

Di depan orangtuanya saja lelaki itu bisa bertingkah sopan dan seperti manusia. Kalau sudah berdua saja dengannya, Badai seperti manusia primitif yang menatapnya seakan ia adalah makanan—dan hal itu membuat Padma jengah.

Padma beranjak duduk di kursi yang berdampingan dengan Badai. Di antara mereka ada meja bulat berisi sepoci teh yang masih hangat dan dua cangkir. Satu cangkir untuk Badai yang sudah terisi dan satu cangkir lainnya masih kosong.

“Ngapain kamu ke sini?” Padma bertanya sambil menuang teh beraroma lemon itu ke dalam cangkirnya.

“Nyamperin calon istri sebelum kerja.” Badai memberikan cengiran terbaiknya. Kemudian matanya menelusuri penampilan Padma yang benar-benar ‘nyaman dan rumahan’. “Wow, aku suka betismu.”

“Kamu punya fetish sama betis?” Padma menyilangkan kakinya dan menatap Badai dengan tatapan mengejek.

“Nggak sih, tapi betismu bagus—hm, cantik, lebih tepatnya.”

“Apa laki-laki di luar sana bakal ngerayu dengan cara yang sama kayak kamu? Ngomongin betisku?”

“Tergantung.” Lelaki yang hari itu mengenakan celana jeans dan kemeja santai tersebut menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Sebagian besar lebih suka membicarakan anggota tubuh lain yang lebih… seksi.”

Padma hanya memutar kedua bola matanya.

“Emangnya mantan kamu nggak pernah muji betis kamu?”

Pertanyaan itu membuat Padma langsung ingin menceburkan Badai ke kolam renang di hadapan mereka. “Nggak usah bawa-bawa mantanku, bisa?”

“Nggak, soalnya saat kita pertama kenal juga kan yang kita bahas mantanmu.” Badai menolak untuk menurut pada Padma. Lelaki itu menyugar rambutnya dan menatap Padma dengan penasaran. “Kamu kalau sama mantanmu, nge-date ke mana?”

“Kenapa tanya-tanya soal itu?” tanya Padma balik dengan curiga.

“Aku mau ngajak kamu nge-date besok.”

Padma beruntung ia baru selesai menyesap tehnya. Pasti akan sakit rasanya jika ia tersedak teh panas. Perempuan itu memicingkan matanya dan menopang dagu dengan satu tangan.

“Aku dan mantanku nge-date ke banyak tempat, salah satunya ya ke ranjang,” jawab Padma tanpa basa-basi.

Ia hanya ingin memberi pertanda pada Badai kalau ia tak akan mau diajak ke ranjang oleh lelaki itu seperti saat dulu mereka pertama kali bertemu. “Tapi tentu aja aku nggak mau memperlakukanmu sama seperti saat aku dulu pacaran dengan orang lain.”

“Wow.” Badai berdecak kagum mendengar bagaimana frontalnya Padma. Macan betina dari mana ini? Padahal kedua orangtua Padma begitu baik dan ramah, tidak ada yang galak dan mencekam seperti Padma.

“Bukannya kamu baru mau kerja malam-malam begini? Kapan kamu akan ajak aku nge-date?”

“Aku bisa bangun pagi kok.”

Jawaban Badai terdengar meragukan di telinga Padma. Badai sejak beberapa hari yang lalu sudah menjelaskan tanpa Padma minta, kalau ia bekerja dari malam hingga dini hari. Lalu ia akan tidur di dini hari sampai agak siang.

Kesimpulannya adalah hari yang dijalani Badai hampir terbalik dari kebanyakan orang.

“Kalau gitu biar aku yang tentukan di mana tempat kencan kita besok. Kamu jemput aku pukul sepuluh pagi di rumah,” putus Padma dengan otoriter.

Ia tahu kalau Badai adalah sosok yang dominan, tapi jangan lupakan Padma yang selalu bisa mengambil alih pimpinan siapa pun di dekatnya.

“Oke, as you wish, my lady.”

Padma bergidik ngeri mendengar jawaban Badai. Lelaki itu justru tertawa melihat reaksi Padma yang terlihat lucu di matanya. “Kamu nggak mau ikut aku ke The Clouds?” tawar Badai pada Padma.

“Aku udah bersumpah nggak akan menginjakkan kaki di sana sampai tiga tahun ke depan supaya nggak bertemu dengan laki-laki yang waktu itu tidur denganku.”

Jawaban Padma membuat Badai tak bisa menahan tawanya. “Kamu mau menghindariku?”

“Iyalah.” Padma mendengus, tak percaya kenapa juga Badai menanyakan hal yang sudah jelas seperti itu. “Bagiku, kejadian waktu itu hanya kegilaan semalam. Aku nggak berminat untuk mengulanginya lagi atau bertemu denganmu lagi.”

“Kenapa?” Badai kini tertarik untuk memperpanjang topik pembicaraan mereka kali ini. “Kurasa kita cukup hebat di ranjang. Sayang waktu itu kamu belum tahu namaku.”

“Apa hubungannya?”

“Kan kamu bisa meneriakkan namaku waktu kamu mencapai—“

“Kamu mau aku siram pakai teh panas?”

“Nggak, nggak.” Badai langsung memundurkan tubuhnya saat Padma mengangkat ppoci berisi teh panas itu dengan mudahnya.

“Jaga mulutmu kalau kamu masih mau keluar hidup-hidup dari sini.”

“Wah, kamu sama galaknya ya dengan saat di ranjang. I like it.”

“Damn you, Badai!”

“Oh ya, aku lupa mau tanya ini dari Senin lalu.” Badai menjentikkan jarinya. “Kalau di ranjang, lebih hebat aku atau mantanmu?”

Dan Badai pun langsung berlari saat Padma benar-benar mengangkat poci tehnya untuk ia siram ke wajah tampan lelaki dari keluarga Tanaka tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status