Home / Rumah Tangga / Cinta Satu Malam dengan Berondong / Hei, Aku Mainan Barunya Padma

Share

Hei, Aku Mainan Barunya Padma

Author: Sara Maureen
last update Last Updated: 2024-01-22 13:33:20

Badai langsung bersiul begitu melihat penampilan Padma di Sabtu pagi yang cerah tersebut.

“Wow, seksi banget.”

“Ucapan kamu lebih seperti pelecehan dibanding pujian.” Padma mendelik tajam pada Badai yang hari ini berpenampilan kasual dengan kaos bertuliskan VLTN dan celana jeans hitam.

Sedangkan Padma hari itu mengenakan skinny jeans 7/8 dan kaos Polo yang ia tutupi dengan kardigan.

“Padahal itu pujian lho,” kilah Badai sambil memainkan kunci mobil di tangannya. “Orangtuamu mana? Aku mau pamit bawa anak gadisnya dulu.”

“Mereka lagi pergi ke Bali hari ini, kamu nggak usah repot-repot mau pamit sama mereka.” Padma berjalan mendahului Badai dan berhenti di samping pintu mobil Badai.

Badai berlari kecil menyusul Padma dan dengan gaya sok gentleman, ia membukakan pintu mobilnya untuk Padma dan setelah memastikan Padma sudah duduk dengan nyaman, ia menutup pintu mobilnya dan beralih ke sisi pengemudi.

“Mau ke mana kita?” tanya Badai sambil memasang seatbelt-nya.

“Senayan.”

“Kamu mau ke Senayan City?” Badai bertanya dengan ragu.

“Ke arah Senayan aja pokoknya. Nanti begitu udah dekat, aku kasih tahu arahnya.”

“Oke…. Kamu mau ajak aku lari di GBK ya?”

“Nggak kok, yang ini lebih asyik dari lari.”

“Tapi kita bakalan olahraga?” tanya Badai lagi.

Padma berdecak pelan dan menoleh pada Badai. “Banyak nanya deh kamu.”

“Biar nggak penasaran.”

Padma memutar kedua bola matanya. Ia mengambil lipbalm yang baru ia beli kemarin dan memakainya. Badai sendiri menunggu Padma dengan sabar.

Kalau mereka akan olahraga, maka pakaian Badai hari ini benar-benar tidak cocok sama sekali. Tapi Padma pun bukan mengenakan setelan pakaian olahraga.

“Ya, kita bakalan olahraga,” kata Padma sambil menutup tube lipbalm-nya. Ia mengatupkan bibirnya untuk meratakan lipbalm di bibir bagian atas dan bawahnya. “Tapi pakaian kamu cukup cocok kok untuk olahraga ini.”

“Wah….” Pikiran liar Badai langsung berkelana jauh. “Kita mau olahraga ranjang?”

Padma rasanya ingin sekali menoyor kepala Badai, tapi ia memilih untuk menahan dirinya. “Bisa nggak otakmu naik dikit dari selangkangan?”

Pertanyaan retorik Padma membuat Badai tergelak tak habis pikir. Perempuan di sebelahnya ini memang benar-benar spesies langka yang belum pernah ia temui. “Otakku di kepala, Hon, bukan di selangkangan. Cuma mungkin ada akses khusus ke sana.”

Padma semakin ragu dengan keputusan gilanya menerima Badai sebagai calon suaminya. Yah… mungkin tingkat kegilaan Badai jadi salah satu hal yang membuat Badai enggan bergabung dengan Sadira Group.

Memikirkan itu, Padma jadi teringat kalau ia belum pernah menanyakan kenapa Badai sukarela menyerahkan jabatan untuk Padma di Sadira Group.

“Kamu nggak pernah tertarik bergabung dengan Sadira Group?” tanya Padma saat mobil yang dikemudikan Badai berhenti di lampu lalu lintas yang berubah merah.

“Nggak, kamu aja yang di sana, Hon.”

Padma mengabaikan bagaimana Badai sudah terdengar nyaman memanggilnya dengan kata Hon atau Honey. Kadang ia masih bergidik ngeri, tapi untung tidak mual.

“Kamu beneran nggak mau?”

“Nggak.” Badai menggeleng. “Kerja di perusahaan keluarga itu ribet. Industrinya juga bukan bidang yang aku kuasai. Selagi ada Papa dan om yang lain, biar mereka aja yang ngurus.”

“Tapi kamu punya saham di sana?”

“Punya. Tapi aku lebih nyaman dengan usahaku sekarang.”

“Kenapa kamu buka klub malam?”

“Karena bisa sambil cari perempuan cantik.”

Jawaban Badai membuat Padma mendengus tanpa sadar. Tipikal. Tapi Padma tahu, jawaban itu bukan jawaban yang sesungguhnya karena Badai pun segera menambahkan.

“Terlepas dari banyaknya hal yang kusuka karena bekerja di bisnis seperti ini, aku nggak terlalu suka bekerja di bawah tekanan nama belakangku, Hon,” jelas Badai.

“Kalau dibandingkan dengan kamu yang berdedikasi di perusahaan keluargamu, aku jelas bukan apa-apa. Karena aku bahkan nggak berani bekerja di bawah tekanan seluruh keluarga dan orang yang tahu siapa nama belakangku.”

Ucapan Badai membuat Padma menatap lelaki itu dengan intens. “Wow, itu yang ada di pikiran kamu?”

“Iya.” Badai menjawab tanpa ragu. Sebenarnya ia sendiri bingung kenapa bisa menceritakan hal yang tak ia beri tahu pada siapa-siapa selain Padma.

Padma mengusap puncak kepala Badai dengan lembut dan tersenyum. “Wow, aku terharu. Kamu emang cocok jadi berondongku. Lucu juga kan kalau kamu berakhir memujaku?”

“Excuse me?” Kalimat Padma terasa menggelitik Badai. “Berondong?”

Satu alis Padma terangkat begitu saja. Apa Badai tak pernah mencari tahu tentangnya atau ia pura-pura tak tahu? “Aku lebih tua tiga tahun darimu, Badai. Jadi kamu cocok disebut sebagai boy toy-ku.”

“Padma, aku bersumpah aku akan mencium kamu—“

“Putar balik, nanti masuk ke gedung yang oranye itu warnanya.” Tangan Padma sudah berpindah ke bahu Badai dan menepuknya saat mereka hampir sampai di tempat tujuan mereka.

Dengan refleks, Badai menuruti kata-kata Padma. Keningnya berkerut saat berhasil membaca tulisan yang ada di sana. “Lapangan Tembak Senayan?”

“Iya, kamu nggak tahu ya aku anggota Perbakin?” Padma melepas seatbelt-nya dan tersenyum penuh kemenangan saat wajah Badai benar-benar clueless. “Kamu takut?”

“Nggak!” sanggah Badai dengan cepat. “Jangan bilang kamu atlet juga?”

“Tadinya hampir jadi atlet, tapi yah… Papa bilang lebih baik jadi hobi aja.”

“Jadi hobi tapi sampai jadi anggota Perbakin,” gerutu Badai yang tak percaya kalau Padma benar-benar bisa menggunakan senjata api.

Padma keluar lebih dulu setelah Badai berhasil memarkir mobilnya, lalu dengan langkahnya yang percaya diri seperti biasa, ia berjalan menggiring Badai masuk ke tempat yang sudah familier baginya.

Banyak lelaki yang menyapa Padma dengan ramah sampai kelewat ramah. Ternyata ada juga orang-orang yang tidak terlihat se-pro Padma—yah, sama seperti dirinya.

“Pakai ini, kita ke area outdoor aja. Aku biasa berlatih di sana.”

“Kamu biasa ke sini?” Badai menerima penutup telinga dan kacamata yang sepertinya memang punya Padma.

“Aku biasa latihan satu sampai dua minggu sekali.”

Keduanya berjalan menuju area outdoor dan entah kapan Padma mengambilnya, tahu-tahu perempuan itu sudah memakai holster di pinggangnya dan terdapat handgun-nya di sana.

“Kamu pernah ke sini sama mantanmu?”

“Nggak pernah.” Mereka tiba di area outdoor yang lapangannya dipenuhi rumput hijau, dengan papan-papan target yang sudah dipasang berjejer di jarak tertentu. “Kan udah kubilang, kamu akan kubawa ke tempat di mana mantanku nggak pernah kuajak.”

“Sialan.”

“Pakai penutup telingamu,” perintah Padma pada Badai. Perempuan itu menyempatkan diri untuk menyapa pelatihnya dan memperkenalkan Badai padanya.

Suara letupan senjata api cukup memekakkan telinga, maka dari itu Badai menuruti Padma yang menyuruhnya memakai penutup telinga.

Padma mengeluarkan Infinity Cal. 40-nya. “Kamu mau mencoba menembak?”

“Kamu dulu aja.” Badai menjawab dengan cepat. “Tapi entah kenapa kamu jadi kelihatan lebih seksi kalau lagi pegang senjata begitu.”

Padma memutar kedua bola matanya. Sepertinya Badai kalau tak bicara omong kosong minimal sekali dalam satu jam, dia akan kegerahan. “Aku bisa menghilangkan adik kecilmu hanya dengan satu kali percobaan, Badai.”

Lelaki itu langsung mendengus, tapi tak urung merapatkan kakinya. Hal itu membuat Padma tertawa senang.

Saat bersiap menembak, ponsel di saku celana Badai bergetar dan saat Badai mengambilnya, ternyata namaSayangku tertulis di layarnya. Ia melihat ke arah Padma di mana ia tengah memosisikan dirinya untuk mulai menembak.

“Pasti ini mantannya yang brengsek itu,” gumam Badai sambil menggeser layar ponsel Padma dan mendekatkannya ke telinga, setelah sebelumnya melepas sedikit penutup telinganya.

“Halo, Padma sayang.”

Cuih! Rasanya Badai ingin meludah mendengar suara sok merayu itu.

Karena Badai pikir seseorang yang tak jauh dari mereka masih menembak, maka Badai mengeraskan suaranya saat menjawab, “Hei, Padma bukan lagi kesayanganmu, Bung. Perkenalkan, aku mainan baru Padma Hardjaja.”

Badai baru sadar saat semua orang menatapnya dengan tercengang, kalau ia baru saja meneriakkan ke seisi lapangan tembak tersebut bahwa dirinya adalah mainan baru seorang Padma.

He is the real boy toy.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Badai Pasti Berlalu

    “Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Kamu Tahu Namaku?

    “Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Matahari yang Dingin

    “Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Dialah Angkasa Nirada Tanaka (2)

    Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Dialah Angkasa Nirada Tanaka (1)

    "Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Jadi Sayap Pelindungmu (3)

    Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Jadi Sayap Pelindungmu (2)

    “Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Jadi Sayap Pelindungmu (1)

    “Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik

  • Cinta Satu Malam dengan Berondong   [EXTRA] Ada Papa di Sini Buat Kakak

    “Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status