Share

Ternyata Aku Sudah Gila

“Ternyata aku udah gila! Bisa-bisanya aku tidur sama laki-laki yang nggak kukenal!”

“Kenapa, Sayang?”

Wajah Padma langsung pucat pasi saat sang ayah sudah ada di depan kamarnya yang terbuka. “Ng-nggak, Pa.”

“Dari tadi kamu ngomong sendiri aja soalnya.” Sang ayah kini bersandar di kosen pintu kamar Padma yang tadi lupa ia tutup usai dari lantai satu. “Kamu semalam dari mana? Kok baru pulang tadi pagi?”

Padma menggigit bibirnya. Ayahnya memang bukan orang yang sangat ketat dan menerapkan jam malam. Tapi setiap tindakannya pasti diminta alasan yang rasional dan logis.

“Dari klub,” jawab Padma dengan jujur. “Terus ketiduran di tempat temen.”

“Perempuan atau laki-laki?”

“Perempuan,” jawab Padma dengan tenang. Padahal hatinya sudah ketar-ketir karena sepertinya baru kali ini ia berbohong.

“Oh, oke….” Ayahnya mengangguk paham, Padma hampir tak pernah berbohong padanya, jadi ia percaya saja. “Kamu hari ini nggak ada rencana ke mana-mana kan? Kita diundang keluarga Tanaka untuk makan malam di rumahnya.”

“Keluarga Tanaka?” Padma mengernyit. “Yang punya perusahaan jamu dan obat herbal itu?”

“Iya. Kita berangkat pukul lima, oke?”

“Oke, Pa.” Toh Padma tak punya rencana lain selain merutuki nasibnya di hari Minggu ini.

Setelah sang ayah pergi, Padma beranjak menutup pintu kamarnya dan kembali merebahkan diri.

Pagi tadi ia terbangun dengan tubuh pegal-pegal dan anehnya… tubuhnya merasa sangat puas. Saat ia menoleh ke sampingnya, ada seorang lelaki tampan dengan rahang yang begitu tegas dan bibir tebal yang menggoda, sedang tertidur dengan nyenyak.

Kejadian semalam memang bukan yang pertama untuk Padma, tapi kali itu adalah kali pertama bagi Padma tidur dengan orang asing. Yah… ia memang tak menyalahkan lelaki itu sepenuhnya—toh semalam ia juga berpartisipasi membuka kancing kemeja lelaki bertubuh tegap tersebut.

Tapi Padma berharap jangan sampai ia bertemu lagi dengannya. Padma berjanji dalam hatinya untuk tidak menginjakkan kakinya di The Clouds lagi minimal sampai tiga tahun ke depan.

Tiga jam ia habiskan untuk melamun dan bermain ponsel, sampai akhirnya ia bersiap pergi ke acara jamuan makan malam dengan keluarga Tanaka.

Di sepanjang perjalanan, Padma tak terlibat banyak pembicaraan dengan kedua orangtuanya—padahal isu mengenai transaksi tidak wajar di pasar modal minggu ini adalah salah satu bahasan favoritnya.

“Ayo, turun, Padma. Kok melamun?” tanya sang ayah begitu mobil mereka tiba di sebuah kediaman yang sangat luas dan besar di kawasan Menteng. “Kamu sakit?”

“Nggak kok, Pa. Aku baik-baik aja.” Padma buru-buru turun dari mobil dan berjalan mengikuti orangtuanya.

Mereka disambut dengan baik dan kelewat ramai kalau hanya untuk jamuan makan malam. Sepertinya sang ayah ingin membicarakan soal bisnis juga, pikir Padma.

“Kamu belum ketemu lagi sama putriku kan?” Ucapan ayahnya yang disertai sentuhan lembut di bahu Padma membuat Padma menoleh pada lelaki paruh baya seumuran ayahnya, yang kini menatapnya dengan tertarik.

“Ini Padma, putri sulungku. Padma, ini Om Alkadri. Kamu pernah ketemu beliau waktu masih SD, tapi setelah itu kayaknya nggak pernah ketemu lagi karena beliau pindah ke luar negeri.”

Padma tersenyum dan menjabat tangan lelaki paruh baya tersebut. “Apa kabar, Om?”

“Baik, Padma. Senang bisa bertemu kamu lagi ketika sudah dewasa.”

Obrolan basa-basi itu berlanjut hingga mereka digiring ke ruang makan.

“Sebentar ya, Badai masih di atas sepertinya,” ucap Alkadri dengan sungkan.

“Nggak apa-apa, santai aja. Udah lama juga nggak ketemu Badai,” komentar ayah Padma.

“Apa tingkahnya jadi seperti ‘badai’ kayak apa yang dulu kamu bilang, Al?” tanya ibu Padma dengan nada bercanda.

Alkadri mengangguk sembari tertawa. “Anak itu benar-benar… kelakuannya membuatku kena badai migrain.”

Kedua orangtua Padma tertawa sedangkan Padma hanya bisa terkekeh pelan. Kadang memang jokes bapak-bapak susah masuk untuk dirinya yang lempeng.

“Maaf, saya terlambat.”

Suara bariton itu membuat semua orang di meja makan menoleh padanya. Ketika Padma menoleh, rasanya jantung Padma hampir lepas dari rongganya saat melihat si lelaki yang memuaskannya semalam, kini berdiri di hadapannya.

Sementara itu, Badai Tanaka yang baru memasuki ruang makan langsung memfokuskan tatapannya ke satu orang—seorang perempuan cantik dengan gaun santai berbahan satin yang mencetak jelas lekuk tubuhnya.

Hanya dengan melihatnya, Badai seakan teringat kembali sentuhan perempuan itu di tubuhnya, apalagi ketika mereka mencapai puncak bersama.

“Hai, Cantik,” sapa Badai yang jelas-jelas ditujukan pada Padma.

Ketiga orang tua di meja itu menatap Badai dan Padma bergantian.

“Kalian udah saling kenal?” tanya ayah Padma dengan bingung.

“Udah.”

“Belum.”

Dua jawaban dari Badai dan Padma yang bertolak belakang tersebut membuat ketiga orang lainnya semakin mengerutkan kening.

Tapi Badai tak ambil pusing, ia melangkah dengan pasti menuju kursinya dan duduk berhadapan dengan sosok Padma yang tengah menahan diri untuk tidak pergi dari kediaman tersebut.

“Badai, ini Padma. Putri sulungnya Om Refaldy,” jelas Alkadri. “Kalian belum pernah ketemu waktu kecil karena kamu masih sama ibumu.”

“Padma?” Badai mengulang nama tersebut dan merasakan rasa asing di lidahnya. “Nice name.”

Padma menahan diri untuk tidak melempar serbet ke wajah Badai yang terlihat menggodanya, seakan-akan ia bersedia membocorkan soal kejadian semalam kapan saja di meja makan ini.

“Kita bahas dengan santai aja ya, Ref,” ucap Alkadri pada temannya, Refaldy Hardjaja yang merupakan ayah Padma. “Apa kamu udah ngomong sama Padma?”

“Belum. Biar sekalian kita omongin di sini aja.” Refaldy menoleh untuk menatap anaknya. “Perusahaan kita yang bergerak di bidang farmasi dan distribusi akan bekerja sama dengan perusahaan Tanaka, Padma. Dan… dulu kami pernah membicarakan untuk menjodohkan kamu sama Badai.”

Alkadri pun menimpali, “Iya. Dulu sih cuma bercandaan aja. Tapi pas kesini-sini, sepertinya bagus juga kalau kalian mencoba lebih dekat dan akhirnya nanti menikah. Apa kamu punya pacar, Padma?”

Padma mengerjap cepat. Apa-apaan ini? Dari bicara soal bisnis lalu berlanjut ke perjodohan?

“Nggak punya sih, Om, tapi—“

“Bagus, Badai juga nggak punya pacar.”

Badai mengangguk mengiakan. “Iya, aku juga nggak punya pacar. Tapi kalau teman kencan, banyak sih.”

Padma terbelalak kaget mendengar kejujuran Badai, sedangkan ayahnya tersedak dan ibunya pun tertawa ringan. Padma lupa kalau keluarganya kadang-kadang memang aneh.

Ibunya yang merupakan mantan playgirl pasti sedikit-banyak bisa nyambung dengan apa yang dimaksud Badai.

“Badai!”

“Aku cuma jujur, Pa.” Badai menyahut dengan santai sambil mengedikkan bahunya. Kemudian tatapannya tertuju pada Padma. “Aku yakin Padma nggak keberatan dengan siapa aku. Kebetulan kami sudah saling mengenali satu sama lain dengan baik, luar dan dalam, iyakan, Honey?”

“Honey?” Padma mendesis pelan. Ia menggeser kursinya ke belakang. “Saya izin ke toilet sebentar.”

Seorang pelayan yang berdiri tak jauh dari meja makan agar bisa membantu siapa pun di ruang makan itu, langsung bergerak dengan sigap mengantar Padma menuju toilet terdekat.

Badai menatap kepergian Padma dengan senyum miring di wajahnya. Perempuan itu jadi benar-benar menarik. Bukannya melemparkan diri pada Badai begitu tahu mereka dijodohkan, Padma malah lari sekencang mungkin.

“Aku juga mau ke toilet,” pamit Badai pada tiga orang tua di meja makan tersebut.

Dengan tungkainya yang panjang, menyusul Padma tak perlu waktu yang lama karena satu langkahnya sama dengan dua langkah perempuan itu.

Pelayan yang kebetulan menoleh ke belakang dan mendapati Badai menyusul mereka, segera menyingkir begitu mendapat kode dari Badai supaya meninggalkan mereka berdua.

Padma hampir berbelok ke kanan saat Badai meraih bahunya dan merangkulnya. “Belok ke kiri, Hon.”

“Kamu!” Padma tersentak kaget dan langsung ingin melompat menjauh, tapi rangkulan Badai menguat di bahunya. “Ke mana pelayan yang mengantarku?”

“Kalau ada aku, kenapa harus diantar pelayan?” tanya Badai. Ia melirik Padma dan berkata, “Kenapa tadi pagi kamu meninggalkanku sendiri?”

“Memangnya aku harus apa? Membangunkanmu dengan secangkir kopi?” tanya Padma dengan sinis.

“Kata orang, lelaki dengan rahang tegas sepertimu pasti seorang player. Dan melihat bagaimana kamu semalam bisa menggiringku ke ranjang tanpa tahu namaku, pasti adalah hal yang biasa buatmu tidur dengan sembarang perempuan.”

“Yah… begitulah aku kurang lebihnya.” Badai cuek saja mengakui kelakuan minusnya. Ia bukan orang yang suka berpura-pura bersikap sebaik manusia suci. “Tapi jujur padaku, kamu menikmati yang semalam kan?”

Padma langsung berhenti melangkah dan menampik dengan keras lengan Badai hingga terlepas dari bahunnya. “Dengar ya, Badai Pasti Berlalu,” ledek Padma atas nama Badai yang mirip dengan lagu.

“Yang semalam itu bukan apa-apa. Aku ingat wajahmu hanya karena kejadian itu baru terjadi semalam, bukan berarti kamu memuaskanku dan aku jadi selalu ingat sama kamu.”

Tentu saja Padma berbohong. Bahkan jika dibandingkan dengan mantan pacarnya, Badai ada di sepuluh level di atas mantan pacarnya.

“Yakin?” Badai mengeluarkan dompetnya dan memberikannya pada Padma. “Cek dompetku?”

“Buat apa?

“Cek aja.”

Padma membuka dompet kulit tersebut dan hanya menemukan kartu-kartu serta uang pecahan seratus ribu. “Apaan sih?”

“Ada kondom di sana?”

Pertanyaan Badai membuat Padma mendelik. “Nggak ada.”

“Nah, tiga kondom yang biasa ada di dompetku, sekarang nggak ada karena semalam kamu membuatku menghabiskan stok kondomku. Masih mau mengelak kalau kamu nggak puas sama sekali, Padma?”

Padma melotot dan langsung mendesis kesal. Ia melempar dompet itu ke arah Badai dan akan kembali ruang makan, ketika Badai menarik pergelangan tangannya dan dengan cepat memojokkannya ke dinding.

Lelaki itu mengungkung Padma di antara dinding dan tubuh tinggi tegap Badai. Padma bukan perempuan yang pendek, tinggi tubuhnya terbilang standar dengan 165 senti. Tapi sepertinya Badai lebih dari 180 senti karena Padma bahkan masih perlu mendongak untuk menatapnya.

“Badai,” geram Padma dengan kesal saat Badai malah menghimpit tubuhnya, membuat gaunnya bergesekan dengan kemeja yang dikenakan Badai. “Minggir! Kalau ada yang lihat—“

“Kenapa kalau ada yang lihat?” tantang Badai. “Paling-paling mereka akan putar balik atau meminta kita untuk pindah ke kamar sekalian.”

“Dasar kurang ajar!”

“Aku bisa terima kalau kamu menolak perjodohan ini, Padma. Masuk akal karena ini bukan eranya Siti Nurbaya lagi.” Badai menunduk dan deru napasnya menerpa wajah Padma. Tatapannya tajam seperti hewan buas yang tengah mengincar mangsanya.

“Tapi aku nggak pernah terima kalau kamu mengelak dari rasa puasmu terhadapku.”

Padma langsung menginjak kaki Badia sekuat tenaga dan membuat lelaki itu mundur sambil mengumpat.

“Aku nggak akan sudi memberi makan egomu itu,” ucap Padma dengan tajam.

Ia berjalan meninggalkan Badai dan menyempatkan diri untuk berkata, “Dan laki-laki macam apa kamu yang membanggakan diri lewat kondom yang habis terpakai dalam semalam? Orang lain bisa aja berpikir kamu sampai puncaknya hanya dalam lima menit.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status