"Kemanapun kaki melangkah, sejauh apapun ia pergi, cinta tahu kemana harus pulang, karena cinta tahu dimana rumahnya."-Anonim
***
GUMPALAN awan putih yang cerah terlihat memenuhi luasnya langit yang biru. Sekawanan burung gereja pun asik berterbangan dan hinggap pada kabel panjang yang membentang di atas tiang listrik yang berdiri kokoh di depan jajaran rumah mewah dalam kompleks perumahan elite itu, dengan paruh kecil mereka yang asik berkicau riang dan menghasilkan suara yang merdu. Namun beberapa dari mereka kemudian memilih untuk mendarat di sebuah cabang pada pohon rindang itu.
Dari tempat tersebut, dapat terlihat di bawah sana, seorang gadis kecil tengah menggigit bibir bawahnya dengan sepasang mata hazelnya yang berkaca-kaca. Namun sebisa mungkin ia menahan cairan bening yang telah berkumpul di pelupuk matanya itu, seketika seorang anak laki-laki yang rapih dengan kemeja kotak-kotak mulai berjalan mendekat.
Anak itu menyunggingkan senyum simpulnya, sesaat setelah ia sampai di hadapan gadis itu. "Lala .. Aku pamit sama kamu, aku mau pergi nih. Kamu jangan lupa yah sama aku? Awas loh kalo lupa, aku kelitikin kamu. Tapi, kamu nggak usah sedih, karena suatu saat aku pasti kembali, kok."
Namun, pertahanan gadis yang ia panggil Lala itu runtuh sudah, cairan bening yang ia tahan sedari tadi akhirnya pecah dan turun membentuk sungai kecil di wajah cantiknya. Bibir mungil itu kini tampak sedikit bergetar. "Ichi nggak boleh pergi, nanti Lala main basketnya sama siapa? Lala cuma mau mainnya sama Ichi aja."
Melihat Lala menangis, anak laki-laki yang dipanggil Ichi tersebut pun langsung memeluk tubuh mungil gadis itu erat, seraya mengusap rambut panjangnya yang dikuncir kuda. "Lala nggak boleh nangis. Soalnya Lala jelek kalo nangis, jelek banget. Haha."
Dengan cepat, Lala melepaskan pelukannya dengan wajah cemberut. Ia langsung mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Hikz hikz.. Biarin. Lala emang jelek. Dan sampe kapanpun Lala akan tetep jelek. Hikz." katanya lalu berkacak pinggang.
Hal itu membuat Ichi seketika terbahak. "Hahhahaa.. Aku cuma becanda sama Lala. Lala nggak jelek kok. Tapi Lala itu cantik, cantik banget, apalagi kalo lagi senyum."
Lala tersipu malu, kemudian tersenyum sebentar dan akhirnya tertawa juga. "Hahaahaa."
Tawanya yang lucu membuat Ichi ikut tersenyum. "Nah, yang aku bilang bener 'kan? Lala itu cantik. Oh iya, aku mau kasih Lala sesuatu nih, supaya Lala inget terus sama aku." kata Ichi sembari merogoh saku celananya.
Lala menghentikan aktivitas tertawanya dan mengernyitkan dahi. "Apa?" tanyanya. Ichi langsung memperlihatkan sebuah kalung perak berliontin keong di depan wajah gadis kecil itu. "Ini."
Kedua tangan Ichi bergerak maju untuk memakaikan kalung tersebut di leher Lala. "Kalung ini kenang-kenangan buat Lala. Pokoknya, jangan pernah lepas kalung ini yah."
Sembari tersenyum simpul, Lala mengangguk. "Iya. Lala bakalan pake terus, kok." katanya sembari menyentuh liontin keong itu. "Ehm~ Sebenernya Lala juga punya sesuatu buat Ichi."
Ia kemudian merogoh saku terusan celananya. "Nih." kata Lala sembari menunjukkan sebuah kalung berliontin katak di depan wajah Ichi. "Kamu pake ya."
"Lala yang pakein." ujar Ichi dengan senyum lebar. Lala segera mengalungkan benda itu ke lehernya.
Ichi mengangkat jari kelingking. "Janji nggak bakalan dilepas?" tanyanya. Lala mengangguk dan mengangkat jari kelingkingnya pula. "Janji." katanya sembari menautkan jari kelingking mereka.
Setelah itu, mereka saling melempar senyum. "Oke, kalo gitu aku pergi ya.. Putri keong." ujar Ichi dengan berbisik di dekat telinga Lala saat berkata putri keong. Dan sedetik kemudian ...
Cups~
Karena tak ingin melewatkan kesempatan, Ichi langsung mencium pipi Lala. Saat melihatnya terkejut pun, ia kemudian tertawa. "Hahhhaaha."
Lala segera menoyor pipi anak itu. "Nggak lucu yah.. Pangeran kodok." katanya dengan berbisik saat berkata pangeran kodok.
Dan melihat Ichi terdiam, Lala langsung tertawa, tawa khas anak kecil berumur 7 tahun. "Hahhahaha."
Tapi tak berlangsung lama karena menyadari dirinya diperhatikan Ichi dengan tak berkedip. "Kamu lucu deh." katanya, seketika membuat pipi Lala bersemu.
Ichi tersenyum melihat rona merah itu. "Aku pergi ya.." katanya namun Lala hanya menunduk lesu. "Kamu jangan sedih. Yakinlah. Aku pasti kembali .. Untukmu!" bisiknya dengan lembut.
"Are you okay?" ujarnya lagi. Lala mengangkat kepalanya dan mengangguk pelan.
Lagi-lagi Ichi tersenyum. "Oke, kalo gitu aku pergi yah." katanya sembari berjalan mundur ke belakang dan melambaikan tangan. "Dadahh Lalaa." teriaknya.
Lala pun melakukan hal yang sama. Melambaikan tangan. "Dadahhh Ichiii."
Ichi segera masuk ke dalam mobil, lalu disusul kedua orangtuanya. Dari sana, mereka melambaikan tangan keluar. Dan tak butuh waktu yang lama, pajero hitam itu pun berjalan menjauh dari halaman rumah tersebut dan perlahan-lahan menghilang dari pandangan mata Lala dan kedua orangtuanya.
Melihat perubahan ekspresi wajah Lala yang menjadi sedikit murung, sang ibunda langsung menggandeng tangannya. "Udah yuk nak, pulang. Ichi udah pergi." katanya.
Lala hanya mengangguk lesu. "Iya Mah."
Mereka akhirnya melangkah beriringan ke rumah mewah bercat biru muda yang letaknya memang di sebelah rumah itu. "Sayang, tadi kamu dikasih kalung yah sama Ichi?" tanya pria muda itu sembari mengusap puncak kepala Lala.
Lala tersenyum, moodnya kembali membaik. "Iya nih, Pa. Aku dikasih kalung sama Ichi. Bagus banget deh, ada keongnya!" jawabnya gembira sembari memegang liontin berbentuk keong itu. Sedangkan pasangan suami istri itu hanya berpandangan sejenak, lalu menggelengkan kepala.
"Kapan kamu kembali lagi, pangeran kodok?" Batin Lala bertanya-tanya. Dan burung-burung gereja yang menjadi saksinya di atas ranting pohon rindang itu pun kembali mengepakkan sayap kecilnya, kemudian terbang.[]
PAGI menyapa. Posisi bulan telah digantikan oleh sang mentari. Dengan malu-malu, bola panas yang menjadi pusat tata surya itu menampakkan cahayanya. Perlahan-lahan cahaya itu masuk ke dalam kamar milik Adelia, menembus tirai putih dibalik jendela itu juga melewati celah-celahnya. Adelia meregangkan otot, saat cahaya tersebut mengarah ke matanya karena tirai yang telah disibakkan oleh Marissa, ibu kandungnya. Perlahan namun pasti Adelia mengumpulkan nyawanya, ia mengerjapkan mata beberapa kali sembari bangun dari posisi tidurnya. Dengan tampang yang kucel abis dan sesekali menguap, gadis itu menggaruk rambutnya yang terlihat berantakan. "Jam berapa sih, Ma? Kok udah siang aja?" tanyanya sembari mengucek mata, suaranya pun serak-serak basah khas orang bangun tidur.  
Sampainya di parkiran sekolah, Adelia langsung memarkirkan motornya di tempat yang teduh. Gadis itu menghela nafas lega setelah melepas helm full facenya, karena masih banyak anak yang baru datang. "Huft. Untung aja gue belum telat." gumamnya lalu turun dari motor Ninja merahnya itu dan merapikan sebentar rambut panjangnya. Karena Adelia naik motor sport, maka ia memakai bawahan celana jeans dan akan berganti rok abu-abu ketika sampai di sekolah, juga sebaliknya, apabila sudah waktunya pulang sekolah ia akan berganti celana itu lagi. "Pagi, Del." "Morning, Adelia."
"Jadi, dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa sifat-sifat zat dapat dipengaruhi gaya antarmolekul antara-" jelas Pak Amir terpotong ketika melihat dua orang muridnya di bangku paling belakang tengah asik mengobrol dan tidak mendengarkan dirinya yang mengoceh sedari tadi. "Adel, lo mau sampe kapan sih jadi jones? Sumpah gue nggak nyangka lo betah banget hidup tanpa seorang pacar?" tanya Friska, teman sebangku Adelia sembari memainkan pulpennya. Adelia yang tengah bertopang dagu menoleh. "Gue juga nggak tau, Cha. Hahahaa lagian buat apaan pacar? Gue malah jijik kalo liat orang pacaran, mana deket-deketan, terus sayang-sayangan kayak gitu. Nggak gue banget, asal lo tau." jawab Adelia sembari bergidik ngeri. Gadis yang dipanggil 'Cha' tersebut menghela napas. Memang, is sudah akrab dipanggil Icha. "Ya ampun, Adel. Lo tuh polos bang
"Eh, tadi itu beneran kita ngibulin Pak Amir? Sumpah, dia aja sampe lupa loh kalo kita disuruh ngulangin kata-katanya dia. Ahahaha gokil abis deh." cerocos Friska di sela-sela langkah santainya ke kantin bersama Adelia. "Iya, dia emang gokil. Tapi gue tadi nggak bermaksud ngibulin dia loh, beneran. Dia nya aja yang.. Sungguh terlalu. Hahaha pikun juga." jawab Adelia sembari menoleh kearah Friska. "Hahaha tapi ada untungnya juga lo tadi dapet nilai plus. Enak banget yah hidup lo, nggak ngerjain soal apapun, cuma muji aja kalo Pak Amir itu masih muda, langsung deh dikasih nilai plus. Padahal itu bokis lagi, dia kan udah ubanan, udah tua." kata Friska. "Hahaha cuma keberuntungan aja Friska. Tapi jangan ngatain gitu dong, ntar
"Lo beneran serius, Del ntar pulang sekolah mau tanding basket sama Kak Reno?" tanya Friska sembari menyantap semangkuk soto ayamnya. Yup! Mereka sedang berada di kantin, di salah satu bangku. Friska takut kalau Adelia kalah. Karena semua orang juga tahu kalo tim basket GHS yang digawangi oleh Reno, Yudha, Ivan, Raihan, dan Sham itu kuat dan tak jarang juga mereka pulang dari pertandingan melawan sekolah lain itu dengan membawa piala, piala kemenangan. Tak ayal, Reno banyak digilai cewek-cewek di sekolah terutama adek kelas. Dan, hal itu juga yang menjadikannya playboy. "Mau gimana lagi, Cha? Gue dikatain takut lawan dia tadi, ya nggak terima dong gue." jawab Adelia mengaduk-aduk jus melonnya dengan sedotan. "Tapi lo tau sendiri ka
Adelia mengeratkan pegangannya pada tas punggung yang ia gantung pada pundak kirinya. Ia menyipitkan matanya seketika sampai di pinggir lapangan. Pandangan Adelia lurus ke depan, di pinggir lapangan seberang sana. Rupanya Reno cs sudah stay di bangku yang berada di bawah pohon. Ya! Sekarang sudah waktunya pulang sekolah, murid-murid pun berbondong-bondong menuju parkiran. Friska juga telah pulang terlebih dahulu. Adelia pun menghembuskan nafasnya kasar kemudian berjalan santai di tengah lapangan untuk menghampiri Reno cs yang tengah berbincang kecil. Tak butuh waktu lama, Adelia sudah sampai di tempat mereka tentunya dengan wajah datar, "Eh, Adel tuh." gumam Ivan sembari menengok kearah Adelia, "Iya tuh Ren." tambah Sham. Reno yan
ADELIA membuka pintu kamarnya dengan wajahnya yang ditekuk. Ia lalu melepas tas dan jaketnya dan duduk di pinggiran kasur. Mengingat Reno cs yang songong itu Ia jadi kesal sendiri. Padahal kakak kelasnya yang menjadi idola cewek-cewek itu hanya mengajak dinner, tidak lebih. Apa susahnya? "Aduhh!! Gila gila gila!! Nyesel gue mau duel sama Reno tadi!! Tau kalah gitu mending nggak usah!!" gerutu Adelia sambil memukul-mukul sebuah bantal yang berada di pangkuannya. "Apaan lagi maksudnya dia bilang pengen deket sama gue? Ah~ Jangan-jangan dia suka lagi sama gue? What the fuck!!" tambahnya lagi sembari berdiri dan melempar bantal itu ke sembarang arah. "Ih geer banget ya gue? Biarin aja lah, mau dia suka kek sa
--Flashback On-- Saat itu, Lala dan Ichi tengah bermain basket bersama, tak lepas dari canda tawa yang keluar dari mulut mereka. Setiap Lala ingin memasukkan bola itu ke dalam ring, berkali-kali Ichi berhasil menggagalkannya. Hal itu membuat Lala pun semakin lama semakin cemberut. Gadis kecil itu melipat tangannya di bawah dada, memperhatikan Ichi yang begitu menikmati permainannya, "Main sendiri aja sana!" ketus Lala kemudian berbalik menuju undakan yang menjadi akses jalan masuk ke pintu utama. Lala duduk di undakan paling bawah, masih memperhatikan Ichi yang sepertinya tidak memperdulikannya. Tak berapa lama kemudian, Ichi pun berhenti bermain ba