Tidak ada orang yang senang mendekam dibalik penjara. Itulah yang Roni rasakan. Dua bulan sudah berlalu sejak dia mendekam dibalik jeruji besi. Dua persidangan tentang kasus korupsi di perusahaan sudah ia jalani dan semuanya memberatkan Roni sebagai terdakwa.Ia masih harus menjalani beberapa persidangan lagi untuk memutuskan masa tahanan dan denda yang harus dibayar. Roni juga bersiap jika asset yang ia kumpulkan berupa rumah dan mobil akan disita. Walaupun Bu Retno mengatakan sudah menyiapkan uang khusus untuk membayar denda Roni, tapi pria itu tidak yakin ibunya punya uang lebih dari satu milyar.Roni sudah mencari tahu ke sesama tahanan yang melakukan korupsi di perusahaan tempat mereka bekerja kalau denda yang dikenakan minimal dua milyar. Itupun setelah banyaknya asset terdakwa yang disita.Meskipun di dalam penjara Roni tidak selalu berada di dalam sel yang pengap, dia tetap tidak suka berada di sini. Setiap pagi berbaris di lapangan untuk olahraga. Setiap tahanan harus memilih
“Apa maksud anda?” Wajah Nana keruh. Dia memang tidak mengerti perkataan Andra, tapi Nana bisa menebak kalau Andra tengah menunduhnya dekat dengan pria lain.Sebuah penghinaan untuk Nana karena tidak mungkin dekat dengan lawan jenis dalam masa iddah. Bahkan saat tidak menjalani proses ini, Nana juga tidak punya teman laki-laki karena Bu Ningsih yang membatasi pertemanannya.Andra hanya diam. Tidak menjawab pertanyaan Nana. Wajahnya masih sedih seperti tadi. Nana menghela nafas kesal karena Andra hanya diam saja. Sorot matanya tajam. Bibirnya turun ke bawah saat memberikan struk pesanan pada Naura agar segera dibuat. Satunya lagi diberikan pada Andra.“Totalnya tiga belas ribu,” bisik Nana dengan suara pelan. Suaranya tidak ramah sama sekali. Dia masih kesal dengan Andra yang menuduhnya tanpa bukti.Andra memberikan dua lembar uang dengan total tiga belas ribu rupiah. Nana memberikan uang kembalian dua ribu. Andra masih mematung di tempatnya. Kepalanya menunduk. Matanya menekuri lantai
“Selamat datang.” Nana berdiri. Mendengar denting pintu kaca yang terbuka.Pegawainya yang berjaga di bagian kasir sedang salat dhuhur. Jadi dia yang menggantikan. Senyumnya merekah menatap pelanggan yang datang. Satu keluarga harmonis yang terdiri dari ayah, ibu dan dua anak perempuan mereka yang beranjak remaja.“Mau pesan apa?” tanya Nana ramah.“Saya pesan ayam geprek level dua lalu ayam krispi saos tomat tiga dan empat teh hangat tanpa gula,” jawab si pria yang sepertinya seumuran dengan Roni.“Baik saya ulangi lagi satu ayam geprek level dua dan tiga ayam krispi saos tomat. Minumnya teh hangat tanpa gula. Totalnya empat puluh sembilan ribu rupiah.” Nana mengambil struk lalu memberikannya pada pembeli. Tidak lupa dengan alat bundar berbentuk merah sebagai tanda kalau pesanan sudah siap.Pegawai bagian pelayanan yang bernama Naura menyiapkan pesanan dengan gesit kemudian menekan bel. Pria yang memesan tadi berdiri. Mengambil pesanan.“Kerja bagus Ra,” puji Nana tulus. Bibir tipisn
“Bagaimana Mbak? Sudah tiga hari amankan?” tanya Diah.Mereka sedang bicara di lantai dua. Menjaga anak-anak yang tengah menonton kartun. Sekarang Nana bisa meninggalkan warung karena ada dua karyawan baru yang ia terima untuk bagian kasir dan pelayanan. Anak kembar dari asisten rumah tangga Bu Retno yang baru lulus SMA.Langit mendung dan udara yang berhembus dingin diluar membuat Nana mengunci jendela. Tidak ada sinar matahari senja dari arah barat. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun.“Alhamdulillah tidak ada keluhan apapun dari pembeli. Pelanggan yang biasanya beli disini cuma buat beli es teh atau es kopi juga masih suka mampir,” jawab Nana menghela nafas lega.“Mungkin kalau kita dapat kabar Arni kabur keluar pulau, berarti dia mendapat mimpi buruk.” Diah bersandar ke tempat tidur. Rambut panjangnya yang tebal terjuntai lalu digulung kembali.“Hah kok gitu?” tanya Nana tidak mengerti.“Buat memutus mimpi buruknya karena Arni tidak mungkin diikuti terus jika menyebrang laut,”
Arni berusaha membuka pintu warung yang terbuat dari kaca. Aroma anyir darah yang merembes dari dinding benar-benar menusuk hidung. Bayangan hitam besar mulai keluar dari balik etalase. Udara dingin perlahan membuat tubuhnya menggigil ketakutan.“Jangan datang,” ucap sosok mengertikan itu yang bergema di seluruh warung.“Aku juga tidak mau datang,” teriak Arni ketakutan. Wajahnya basah dengan air mata yang menggenang.“Tolong,” teriak Arni keluar. Memandang langit gelap yang mengungkung warung. Jarak bangunan di sekitarnya semakin jauh. Seolah warung ini adalah tempat terpencil. Padahal Arni tahu kalau warung ini termasuk bangunan ruko yang menempel satu sama lain.Jejak dingin mulai terasa di tubuh Arni. Merenggutnya dalam kegelapan. Tiba-tiba mata Arni terbuka. Tubuhnya langsung terduduk dengan air mata yang masih keluar dan keringat mengguyur seluruh tubuhnya.“Sial. Kenapa mimpi buruk itu datang lagi?” gumam Arni kesal.Tiga hari berlalu sejak rencananya gagal. Bukannya mengirim m
“Apa aku bisa memberikan ancaman lewat pesan? Dia tidak akan tahu cara apa yang kupakai.” Arni memeluk Pak Herman erat. Berterima kasih atas saran yang ia dapatkan hari ini.“Tentu saja. Kau bisa mengancamnya untuk membuat mental tertekan. Jika dia terkena akibatnya, mantan kakakmu tidak akan tahu apa yang terjadi. Mau menuduhmu, tapi tidak ada barang bukti yang bisa ia dapatkan kalau kau adalah pelakunya,” jawab Pak Herman.Keesokan harinya Pak Herman mengantar Arni ke dukun langganannya. Dukun yang membantu Pak Herman menjaga bisnisnya selama ini. Sekaligus menyingkirkan pesaing yang datang menghadang.“Apa yang ingin kau lakukan pada usaha Nana?” tanya dukun yang umurnya lebih tua dari Pak Herman.“Metode halus untuk membuat warungnya sepi. Saya ingin melakukannya dari jarak jauh.”“Baik. Aku akan membuatnya mimpi buruk.”Tiga hari berlalu. Arni datang ke rumah dukun itu setelah menerima pesan dari Pak Herman. Wanita itu berharap akan menerima kabar baik kalau usaha mantan kakak ma