Share

Bab 4. Isakan Tangis Yang Menyayat Hati

Bab 4. Isakan Tangis Yang Menyayat Hati

Wanita itu terbelalak mendengar kata dipecat yang keluar dari mulut Sinta. Kedua bola matanya melotot seolah-olah kedua mata itu akan lepas dari cangkangnya. 

Kata-kata yang kasar dan kejam mulai menghujani telinga gadis yang malang itu. 

Sosok Paman sang kepala rumah tangga, selalu tak bisa berkutik ketika istrinya sedang emosi. Sama halnya dengan malam itu, sang paman mencoba untuk menenangkan istrinya agar berhenti memarahi Sinta. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, sang istri memaki dirinya. 

“Paman dan ponakan sama saja, kerjanya tidak pernah becus!” ucapnya sambil menunjuk muka sang suami. 

Mendengar kata-kata itu sang paman kehilangan kesabaran, sudah sering istrinya meremehkan dirinya. Dia hendak menampar istrinya, tapi bukannya takut malah ia menantang suaminya. 

“Sini tampar aku, tampar, Mas!” Wanita itu mengarahkan mukanya lebih dekat ke arah sang suami. 

Sinta dengan air mata yang membasahi pipinya mendekati sang paman, dia berusaha menghentikan pertengkaran itu. Melihat air mata Sinta yang terus mengalir pamannya pun mulai bisa mengendalikan diri, dia melihat gadis yang tidak bersalah itu dengan raut kasihan. 

“Jika kecelakaan itu tidak menewaskan kedua orang tuanya, Sinta pasti tidak akan mendapatkan perlakuan yang tidak adil seperti ini,” gumamnya di dalam hati. 

Pamannya pun meminta maaf kepada Sinta dan menghapus air matanya. Sejak kecil di rumah itu hanya sang paman yang tulus menyayangi Sinta, sedangkan Bibi dan sepupunya tidak menyukai dirinya. 

Diambilnya sebuah bingkai foto yang ada di atas meja dekat kasurnya, dia pandang foto kedua orang tuanya yang sedang menggendongnya sewaktu kecil. Melihat keceriaan yang tampak di wajah kedua orang tuanya membuat hatinya hancur. 

“Andai ... andai saja mereka tidak meninggalkan aku seorang diri di dunia ini.” Benaknya bergejolak, diiringi butiran air mata yang terus menjatuhi pipinya. 

Di ruang kamar yang gelap, Sinta seorang diri meratapi nasib. Hanya suara isakan tangis yang terdengar makin dalam dan menyayat hati. 

Sementara di luar, lolongan suara anjing di perumahan sederhana itu terdengar nyaring mengantarkan sunyi di penghujung malam. 

***

Keesokan harinya, di tempat yang berbeda tepatnya di sebuah rumah yang mewah, seorang pemuda sudah siap berangkat dengan memakai jas hitam yang terlihat elegan di badannya. Pak Salim berjalan mengikutinya lalu menyerahkan sesuatu kepada tuan mudanya. 

“Pak Salim, ini ...?” tanya Marco memegang sebuah bingkisan. 

“Dari tuan Roni, katanya untuk Tuan Muda.” 

Marco membuka bingkisan itu yang ternyata sebuah hand-phone. Entah apa yang ada benaknya, ia hanya tersenyum kecut lalu dia melangkahkan kaki menuju ke meja makan menikmati sarapan yang telah tersedia. 

Marco yang akan segera berangkat menuju kantor tiba-tiba mendengar suara handphonenya berbunyi, nomor dengan nama Anna tertera di hand-phone itu. Sejenak dia berpikir kenapa ada nomor Anna di hand-phone barunya. Karena bertanya sendiri tidak akan menemukan jawaban dia pun mengangkat telepon tersebut. 

“Mr. Marco, good morning.” Suara wanita yang lembut menyapanya di pagi hari. 

“Morning, who are you?” tanya Marco. 

“Anna ... Apakah kamu lupa semalam kita sudah berkenalan,” jawabnya. 

Marco mengingat kembali kejadian tadi malam tidak berapa lama kemudian dia ingat dengan nama Anna. 

Gadis itu senang mendengar Marco telah mengingat dirinya. Namun sebaliknya, Marco yang tidak tertarik berbicara dengan Anna ingin segera menutup teleponnya. 

Anna hanya meminta waktu Marco sebentar. Gadis itu meminta agar dirinya bisa bertemu dengan Marco lagi. Namun Marco dengan sikap dinginnya mengatakan jika dia tidak punya waktu untuk bertemu dengan Anna. 

Di seberang sana, Anna yang mendengarnya menjadi geram dan menghamburkan semua barang yang ada di meja riasnya. Hatinya sedih karena pria yang dia sukai mengabaikan dirinya. 

Marco pun berangkat menuju perusahaan milik keluarganya. Sesampainya di perusahaan, ternyata Roni telah menunggunya. Roni mengajak Marco masuk ke sebuah ruangan, di sana Pak Hans dan staf-staf penting perusahaan telah menunggu kedatangan Marco. 

Setelah semuanya berkumpul Pak Hans menyampaikan tujuan pokok dari pertemuan tersebut. Pak Hans mengatakan jika perusahaan King Mansion Grup akan di pimpin oleh keponakannya yaitu Marco Chan. 

Marco pun berdiri memperkenalkan dirinya yang diiringi tepukan tangan para staf perusahaan itu. 

“Selamat datang di perusahaan kita dan selamat bekerja,“ ucap pak Hans seraya menepuk punggung Marco. 

“Terima kasih, Om,” jawab Marco sambil memeluk Pak Hans. 

Pak Hans mengajak Marco menuju ruangan kerjanya yang baru, mereka berdua berbincang satu sama lain layaknya seorang paman kepada keponakannya. 

“Om percaya sama seperti Daddy-mu, jika perusahaan ini bisa lebih besar berkembang di masa depan jika berada di tanganmu, Marc.” Pak Hans memberi dukungan kepada Marco lalu keluar dari ruangan itu. 

Marco berjanji kepada Pak Hans jika dia akan bekerja lebih keras, dia tidak akan mengecewakan keluarga yang telah mendukungnya. Setelah pak Hans keluar Marco melihat berkas-berkas yang sudah ada di meja kerjanya. Pemuda itu bekerja seharian tanpa henti, dia mempelajari semua struktur perusahaan sampai dia paham dengan semua sistem yang ada. 

Begitulah hari-hari selanjutnya, Marco mulai membiasakan diri dengan pekerjaannya dan lingkungan barunya. 

Marco yang berusaha mengalihkan pikirannya akan rindu pada sosok seorang wanita, tapi ternyata hatinya tidak bisa lagi dia bohongi. 

“Louisa...” panggilnya lirih penuh kerinduan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status