Hatinya yang bergejolak menahan rindu pun tak bisa dia hindari lagi, semakin di tahan rindu itu semakin membara membakar dada. Rasa sesak pun mulai menjalar di rongga paru-parunya, dia ingin segera bertemu sang kekasih agar berakhir penderitaan hatinya.
Louisa sang pujaan hati tidak bisa dihubungi, Marco telah mencoba menghubunginya beberapa kali namun hasilnya nihil.
Louisa merupakan keturunan Italia namun keluarganya telah lama menetap di London. Louisa yang berparas cantik berhasil membuat Marco jatuh cinta pada pandangan pertama.
Perasaan Marco tidak bertepuk sebelah tangan Louisa juga menaruh hati kepada pemuda itu. Hubungan mereka berjalan dengan baik selama lima tahun, tidak ada pertikaian serius di antara mereka. Akan tetapi, beberapa bulan terakhir terjadi perselisihan antara mereka berdua.
Hal itu terjadi karena Louisa yang ingin ada kepastian hubungan antara dia dengan Marco. Louisa selalu mempertanyakan kepada Marco, pemuda yang telah di kencaninya selama bertahun-tahun apakah sungguh serius dengannya dan hubungan mereka akan di bawah ke jenjang selanjutnya yaitu pernikahan atau sebaliknya.
Marco telah menjelaskan kepada Louisa walaupun dia sangat mencintai gadis itu, dia belum siap menikahinya. Apa lagi sang ayah yang menginginkan Marco menggantikan kedudukan sang paman di perusahaan mereka, jika Marco menolak kesempatan itu maka ayahnya akan mencoret nama Marco sebagai pewaris dari kekayaan yang ayahnya miliki.
Hari itu terlihat awan hitam yang bergelombang mengitari langit yang sebelumnya terlihat cerah. Gemuruh langit mulai terdengar melantunkan tembang khasnya. Serta embusan angin yang mulai menggelitik pori-pori kulit.
Marco yang berdiri menatap keluar jendela sambil memegang sebuah tiket pesawat tampak bingung dan gelisah atas apa yang dia pilih. Sebagai satu-satunya anak lelaki di keluarganya, maka dia harus melakukan keinginan dari sang ayah.
Di tengah lamunannya, seorang wanita muda mendekatinya, dan memeluk pemuda itu dari belakang dengan eratnya.
“Jangan pergi Marco!” Pinta wanita muda itu dengan suara sedih.
Marco membalikkan badannya dan memeluknya. Di kecupnya kening pujaan hatinya itu lalu di tatapnya dengan penuh kasih. “Louisa, ikutlah denganku,”
Gadis itu pelan-pelan melepaskan pelukannya, matanya menatap lembut, terlihat butir-butir air mata hampir jatuh dari matanya. Dia bersedia ikut jika Marco ke rumah orang tuanya dan melamar dirinya. Dia akan ikut Marco ke mana saja pemuda itu pergi jika dia telah resmi menjadi istrinya.
Marco yang mendengar kata-kata Louisa hanya diam, tak menanggapi. Louisa bertanya lagi, namun Marco begitu berat menyetujui permintaan Louisa untuk menikah dengannya.
“Sekarang aku tahu, kamu tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Pergilah dan lupakan hubungan kita.” Louisa pergi dari sana dengan air mata yang terus berlinang membasahi pipinya.
Alih-alih mengejar Louisa yang pergi dari hadapannya, Marco malah membereskan semua barang bawaannya. Dengan tiket yang sudah ada di tangannya, Marco segera menuju bandara tanpa kata perpisahan kepada sang kekasih.
Tapi cinta tetaplah cinta. Marco ternyata tidak bisa jauh dari Louisa seberapa besar usahanya mengalihkan pikirannya. Bayang-bayang gadis itu selalu hadir menghantui dirinya.
Louisa yang tidak bisa di hubungi membuat Marco melampiaskan kesedihan dan penyesalannya dengan meminum- minuman yang beralkohol.
Malam itu sepulang kerja, Marco mencoba menghubungi Louisa lagi dan lagi nomor itu tetap tidak bisa dihubungi. Marco mencoba menelepon nomor rumahnya, berdering. Tetapi tidak ada yang mengangkat teleponnya.
Marco mengambil sebuah botol minuman yang ada di ruang kerjanya, dia terus menegak minuman itu. Entah sudah berapa botol yang telah dihabiskannya sehingga pemuda itu tak kuat lagi menahan matanya yang telah mengantuk hingga jatuh tertidur di sana.
***
Sang mentari telah menampakkan senyumnya di pagi hari yang cerah. Sayup-sayup terdengar suara burung yang berkicau saling bersahutan, berirama.Pemuda yang semalam tertidur karena terlalu banyak minum, mulai membuka matanya menatap teriknya mentari dari celah tirai jendela. Pusing di kepala masih terasa berat, enggan rasanya dia beranjak dari tempat dia tertidur.
Teringat olehnya kenapa dia bisa tidur di ruang kerjanya, dipegangnya dada sebelah kirinya yang masih terasa sakit, sakit karena rindu yang tak bisa dia obati.
Marco segera menuju ke kamarnya, membersihkan diri lalu berganti pakaian. Marco yang hari itu tidak pergi ke kantor masuk ke ruang kerjanya.
Pak Salim menghampirinya, pemuda itu tampak sibuk di depan laptop. Pak Salim menyampaikan kepada Marco jika ibunya sudah berapa hari menanyakan kabar pemuda itu. Marco hanya menganggukkan kepalanya. Pria itu pun berpamitan keluar setelah selesai dengan tugasnya.Setelah Pak Salim pergi, Marco mengambil ganggang telepon yang ada di meja. Pemuda itu menekan beberapa nomor, tidak berapa lama kemudian dari seberang terdengar suara wanita.
“Morning Mom, how are you?” Sapa Marco sambil tersenyum senang.“I’m good, are you okay, son?” tanya sang ibu balik. Setelah berbincang-bincang dengan sang anak, ibu Marco menutup teleponnya.
Marco melanjutkan pekerjaannya di depan laptopnya.
Ting!
Terdengar suara ada pesan masuk di handphonenya. Marco melihat nama pengirim yang tertera dan hatinya berubah senang karena pesan itu datang dari Louisa. Dia meraih handphonenya untuk membuka pesan. Sepasang matanya terbelalak tak percaya melihat foto yang di kirim Louisa. Jantungnya berdetak kencang, raut mukanya berubah pucat pasi.
Jari jemarinya yang bergetar menekan layar, dan langsung menelepon Louisa. Tidak berapa lama telepon itu terhubung. Marco mendengar suara dari seberang itu yang ternyata bukan suara Louisa, tetapi suara ibu Louisa.
Marco meminta penjelasan atas pesan yang di kirim kepadanya. “Apakah itu benar?”
“Benar, Louisa telah menikah seperti yang kamu lihat di foto itu,” Jawab ibu Louisa dengan dingin. Kentara jelas jika dia tidak suka dengan Marco dan mengharapkan respons seperti ini dari pria itu.
“Tidak, itu tidak benar. Louisa hanya mencintai aku.”
Ibu Louisa meminta Marco untuk tidak mengganggu putrinya lagi, dia menegaskan seharusnya Marco bahagia karena Louisa telah menemukan seseorang yang benar-benar mencintai putrinya.
Mendengar ucapan dari ibu Louisa seperti pukulan yang menyakitkan bagi Marco. Dia seakan-akan dianggap tidak mencintai Louisa karena belum siap menikahi sang kekasih.
Marco pergi keluar mengendarai mobilnya. Dia yang mulai paham dengan lingkungan barunya itu pergi sendiri tanpa seorang sopir. Pria itu melaju dengan cepat menuju sebuah Klub yang pernah di kunjunginya bersama Roni.
Di sana, Marco memesan beberapa botol minuman. Dia menegak minuman itu tanpa henti, tak peduli sudah berapa botol yang telah dihabiskannya.
Sedangkan di meja lain, segerombolan wanita muda baru sampai dan memesan beberapa minuman dan makanan. Salah seorang di antara mereka memperhatikan sosok pemuda yang duduk sendiri tidak jauh dari tempat mereka.
“Anna kamu lihat pemuda itu? Dia bukannya pemuda yang tempo hari itu kan,” kata wanita itu kepada Anna.
Setelah melihat lebih dekat, Anna yakin pemuda itu adalah Marco. Dia menghampiri dan bertanya kepada Marco. Namun Marco yang sudah mabuk hanya tersenyum sinis. Terlihat tatapan kesedihan yang terpancar di bola matanya.
Marco meminta sebotol bir lagi, namun pelayan di tempat itu tidak memberikannya. Pemuda itu menjadi marah, dia berteriak sekuat tenaganya.
Dengan terhuyung-huyung dia berjalan menuju tempat bartender, dia berniat ingin mengambil minuman itu sendiri. Tidak berapa lama dia berjalan badannya tumbang. Sontak orang-orang di sana berkerumun mendekatinya.
Anna meminta teman-temannya membantu membopong Marco masuk ke dalam mobilnya. Kemudian, Anna membawa Marco ke apartemennya yang tidak jauh dari tempat itu.
Di apartemennya, Anna membaringkan tubuh Marco di sebuah kamar. Wanita itu membersihkan wajah Marco yang lengket karena minuman. Saat sedang membersihkan wajah Marco dari dekat, lagi-lagi Anna terpesona dengan ketampanan Marco.
Dia mengkhayalkan pemuda itu mendekap tubuhnya, mencumbuinya. Fantasi liar Anna telah membuatnya berkeringat dingin, di tengah-tengah fantasi itu, Anna kaget.
Marco membuka matanya lalu menatapnya panas.
Anna yang kaget karena tiba-tiba Marco menatapnya panas dan dalam hitungan detik Marco langsung mencium bibirnya.Ciuman Marco yang hampir menutupi mulut Anna, membuat gadis itu tak mampu berkutik. Marco melumat bibir tipis nan merah itu berkali-kali.Anna yang sebelumnya berfantasi liar, tidak mensia-siakan kesempatan itu. Anna membalas ciuman Marco bertubi-tubi hingga membuat nafsu pemuda itu semakin memuncak.Mereka berdua saling membalas ciuman satu sama lain, membuat gairah mereka sampai ke ubun-ubun. Apalagi ketika tangan perkasa Marco mulai menunjukan aksi nakalnya. Tangannya mulai meraba-raba bagian sensitif gadis itu.Pemuda itu mulai meremas-remas, lalu memainkan puting pa*u*ara yang berwarna merah mudah itu. Dia mencumbuinya dari atas kebawah sehingga gadis itu tak mampu lagi menahan hasrat birahinya.Gairah yang membara itu tidak bisa mereka tahan lagi, satu persatu keduanya saling melepas helai pakaian yang
Sang bibi sengaja menuduh Sinta yang macam-macam agar dia punya alasan untuk memarahi gadis itu. Sinta yang baru memasuki pintu rumah mencoba menghiraukan tuduhan bibinya, melihat Sinta yang mengabaikannya dia langsung menjambak rambut Sinta.Gadis itu menjerit kesakitan ketika akar-akar rambutnya seolah lepas dari kulit kepalanya. Sinta pun memohon kepada bibinya supaya berhenti menjambak rambutnya. “ Ampun Bi, Aldi hanya antar aku pulang, kita ketemu di jalan, bener Bi.” Sinta memelas supaya bibinya memberinya belas kasih.“ Alasan, kamu sudah berani bohong ya,” bentak sang bibi.Bibinya menarik rambut gadis itu semakin kencang sehingga gadis itu berteriak lagi, jeritan kesakitan itu telah menciptakan keributan yang membuat paman Sinta terbangun dari tidurnya. Sang paman dengan matanya yang masih mengantuk karena semalaman lembur di kantornya, segera menuju sumber keributan itu.Dan, alan
Marco terperanjak mendengar ucapan Roni, dia tidak mengerti maksud Roni belum terlambat. Marco tahu seberapa besar cintanya terhadap Louisa, dia tidak mungkin merebut Louisa yang sudah menikah dengan seorang laki-laki yang telah disetujui oleh gadis itu.Roni yang mengetahui kebingungan Marco, lalu menjelaskan kepada saudara sepupunya itu jika Louisa belum resmi menikah. “ Marc, mereka baru bertunangan. Coba kamu perhatikan lagi foto ini.”Marco memperhatikan foto itu lagi secara seksama, tapi pemuda itu tidak menemukan perbedaan. “ Bagaimana kamu tahu, Ron, jika dia belum resmi menikah?” ucap Marco lalu meletakkan handphone-Nya ke atas meja.“ Aku pernah menghadiri pernikahan teman aku. Termasuk saat mereka bertunangan, jadi aku tahu perbedaan keduanya,” Marc, jika kamu butuh kepastian yang lebih, kamu temui dia di London,” lanjut Roni.Marco terdiam sejenak lalu memperhatikan kembali foto yang di kirim ke
Seorang pemuda berdiri tepat di depan Anna, pria itu berpakaian kasual, namun sangat modis. Di batang hidungnya yang mancung bertengger kacamata putih, yang cocok untuk mukanya yang lancip dan tampak berwibawa. Anna yang mulai jengkel karena sudah lama menunggu berniat meninggalkan pemuda itu.Pemuda itu mencegah Anna pergi, dia menjelaskan alasannya kepada Anna kenapa dia bisa datang terlambat. Namun, Anna terlanjur jengkel sehingga dia tidak mau mendengar penjelasannya. Pemuda itu segera membujuk Anna, dia mengeluarkan sebuah bingkisan kecil dari saku celananya.“ Happy birthday, Anna. Aku sudah sampai kesini tadi, tapi aku melupakan ini makanya aku pulang lagi.”“ Oh, Peter. Lama kamu di luar negeri ternyata kamu tidak pernah berubah.” Muka Anna seketika berubah menjadi merah muda.Sebelumnya, Peter yang baru tiba di rumahnya segera menelepon Anna. Dia juga mengutarakan ingin bertemu dengan gadis itu, Ann
Namun, Sinta mendapati bahwa Peter telah pergi pergi masuk ke dalam rumahnya. Hatinya sedikit kecewa, Sinta menghela napas yang terdengar berat. Sekali-kali dia menggelingkan kepalanya., tak kala dia teringat sosok wanita cantik, yang sedang tidur di dalam mobil Peter."Wanita itu, pasti kekasihnya," gumam Sinta dalam hati.Ah, entahlah Sinta tidak ingin terlalu jauh memikirkan siapa wanita tersebut. Lagi pula, pertemuannya dengan Peter merupakan suatu ketidaksengajaan. Sinta berpikir mungkin dia tidak akan bertemu lagi dengan Peter.
Marco yang melihat sosok wanita yang tak asing lagi, menerobos masuk ke ruang kerjanya, sontak membuat pemuda itu hampir memuntahkan air kopi yang baru masuk ke dalam mulutnya.“ Maaf, Pak, wanita ini memaksa untuk masuk. Pada hal, sudah saya larang,” ucap salah seorang security.“ Anna, kamu ada masalah apa?”Roni mendekati Anna, dan menyuruh security itu keluar. Anna hanya memandang Roni sekilas, matanya terus menatap Marco yang tampak bingung dengan kehadirannya.“ Ron, aku ingin bicara empat mata dengan, Marco!”Roni melongo dengan ucapan Anna yang to the point kepadanya. Roni melihat kearah Marco, pemuda itu memberi isyarat kepada Roni untuk meninggalkan mereka berdua. Roni mengerti dia pun keluar dari ruangan kerja Marco, walaupun di hatinya bertanya-tanya apa yang terjadi di antara mereka berdua.Roni tahu persis, Marco dan Anna belum lama saling mengenal. Perkenalan mereka i
Ketika Anna membuka pintu dia tidak melihat siapa pun, Anna menjadi sangat sedih mendapati Peter yang telah pergi. Namun yang Anna tidak ketahui, Peter sedari tadi masih menunggu di samping kamarnya.
“Sinta, wajahmu kenapa?” ucap Peter.