Bab 3. Gadis Yang Malang
Roni yang sedari tadi asyik dengan handphone-nya kaget melihat Marco datang membanting pintu mobil.
Roni berusaha menanyakan ada masalah apa, namun Marco tidak menyahut. Dia hanya mengepalkan tangannya, lalu memalingkan muka melihat pinggiran kota dengan pandangan kosong.“Sudahlah tidak usah emosi, mungkin kamu salah lihat. Ayolah jangan cemberut begitu, kita kan mau bersenang-senang.” Kata Roni lagi membujuk Marco lalu memutar balik mobil serta menambah kecepatan kendaraannya.
***Sementara itu di dalam bus, gadis yang di kejar Marco masih was-was serta takut apabila pemuda itu masih mengejarnya.“Aduh sial banget, kenapa harus bertemu dia lagi,” gumamnya dalam hati.
“Sinta?” Seseorang menyapa dan memegang pundak gadis itu. Gadis yang bernama Sinta itu pun menoleh ke belakang, rasa takut tadi berubah menjadi sebuah senyuman yang manis. Ternyata yang memegang pundaknya adalah teman masa sekolahnya dulu.“Aldi, kamu kapan kembali ke Jakarta?” tanya Sinta bahagia.
“Sudah satu minggu aku disini, bagaimana kabarmu, Sin?” tanya Aldi yang sama bahagianya ketemu teman lamanya. “Baik Al, kamu sendiri?” Sinta balik bertanya seraya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.Aldi pun menjawab hal yang sama. Kemudian, mereka bercerita satu sama lain. Saking asyiknya bertemu dengan teman lama, mereka tidak sadar bus telah berhenti. Sebelum berpisah lagi dengan Sinta, Aldi meminta nomor ponsel yang bisa dia hubungi.
Sinta berjalan di trotoar, di ambilnya amplop yang tadi di berikan oleh bosnya. Beberapa hari yang lalu si bos telah memperingatkannya, jika dia terlambat lagi maka pihak kantor akan mengambil sikap yang tegas.
Hari itu Sinta di tugaskan mengantarkan berkas penting ke bandara, berkas tersebut harus segera di tanda tangani. Setibanya di sana, ternyata pesawat yang ditumpangi oleh klien mereka telah berangkat. Karena hal itu, pagi ini dia di suruh menghadap bosnya.
“Kamu selalu datang terlambat! Gara-gara keterlambatan kamu, klien kita marah dan membatalkan kerja sama dengan perusahaan!” teriak atasannya dengan emosi dan wajah marah.
Sinta pun meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Si bos hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pasrah, merasa tak berdaya dengan keteledoran Sinta.
“Tidak perlu berjanji! Ini ambil pesangonmu, besok kamu tidak usah datang kesini lagi.” Dengan angkuhnya bosnya menaruh sebuah amplop di atas meja.
Itulah kata-kata bosnya tadi saat memecat dirinya. Sinta membuka pesangon selama tiga bulan itu, dia diam sejenak, terlintas sosok seseorang di matanya.
”Ah ... ini semua gara-gara pria sialan itu! Jika dia membiarkan aku pergi, hal ini tidak akan terjadi!”
“Dasar pria sialan!” Pekiknya kesal secara spontan. Seketika mata orang-orang di sekitarnya mengarah kepadanya. Sadar akan hal itu, sontak Sinta pun merasa malu, lalu melangkah pergi dari tempat tersebut. *** Di tempat lain, sebuah mobil mewah berhenti di sebuah Klub yang terkenal di tempat tersebut. Di gerbang pintu masuk tertera nama Dragon Fly. Kedua pemuda yang ada di dalam mobil itu tidak lain Marco dan Roni. Pengunjung Klub Dragon Fly begitu ramai, mereka lalu lalang silih berganti memarkirkan kendaraan mereka. Tepat di depan klub terdapat juga diskotek dan beberapa restoran serta hotel. Tak heran jika tempat itu tak pernah sepi.Setelah memarkirkan mobilnya, kedua pemuda itu masuk ke dalam, memilih tempat bersantai dan memesan minuman kepada seorang bartender.
“Jeroboam of Chateau Mouton Rotschild 1945, please.” Kata Marco kepada seorang bartender.
“Tuan mau minum apa?” tanya Bartender kepada Roni. “Aku juga sama dengannya,” jawab Roni singkat.Bartender itu yakin pemuda itu bukan orang sembarangan karena minuman yang pemuda itu pesan merupakan jenis whiskey termahal di sana.
Bartender itu segera mengambil minuman yang di pesan oleh kedua pemuda itu, lalu menuangkannya ke dalam gelas mereka.
Diiringi musik disko yang bergema mereka sangat menikmati suasana itu. Roni yang sedari tadi melihat sekelompok gadis muda yang sedang minum tidak jauh dari mereka, lalu mengajak Marco untuk berkenalan dengan mereka.Marco menolak ajakan itu, dia asyik dengan minuman yang ada di gelasnya. Roni pun menghampiri kelompok gadis tersebut. Entah apa yang Roni bicarakan, salah satu dari mereka berjalan menghampiri Marco.
Dengan langkah kaki yang begitu gemulai, gadis itu mendekat sambil memegang sebuah anggur merah di tangannya lalu dia memperkenalkan diri. “Hai, aku Anna. Boleh aku duduk di sini,” ucap Gadis cantik itu sok akrab.
“Tentu saja ... aku Marco,” jawab Marco datar lalu menuangkan kembali minuman ke dalam gelasnya.Anna mencoba menggodanya namun pemuda itu tidak bergeming. Seakan-akan kehadiran dirinya tidak pernah ada di samping pemuda itu. Marco terus menuangkan minuman ke dalam gelasnya.
Anna melihat ke arah Roni dan teman-temannya, lalu memberi isyarat pada Roni bahwa dia tidak bisa merayu Marco. Melihat hal itu, Roni menganggukkan kepala tanda dia sudah mengerti. Roni mengajak teman-teman Anna yang lainnya untuk bergabung dengan Marco dan Anna.
Setelah Roni menghampiri Marco, dia pun berusaha mencairkan suasana. Roni menyuruh para gadis itu memperkenalkan diri mereka ke Marco, sedangkan Marco dengan sikap cueknya menunjukkan ketidak ketertarikannya kepada mereka.
Tapi yang terjadi sebaliknya, Anna tertarik dengan pemuda tampan itu, dia berusaha mendapatkan perhatian dari Marco. Walaupun dia tahu pemuda yang ada di hadapannya begitu dingin bahkan mengabaikannya, tapi hatinya malah terpikat oleh sikap acuhnya. Anna yakin pemuda itu nanti akan jatuh ke pelukannya.
“Mau berdansa denganku?“ Anna memberanikan diri mengambil gelas di tangan Marco.
Pemuda yang hampir mabuk itu, bukannya berhenti minum dan menerima ajakan Anna, dia mengambil kembali gelas yang ada di tangan Anna, mengacuhkan Anna.
Gadis itu kehabisan akal, lalu dibiarkan saja pemuda itu terus menegak minumannya, Anna pun bergabung dengan yang lainnya menikmati malam dengan musik yang bergema dan berdansa.***
Di malam yang gelap, seorang diri menyusuri pinggiran jalan perumahan yang diterangi beberapa lampu yang menerangi pejalan kaki seperti dirinya. Sinta yang baru di pecat dari pekerjaannya, berjalan menuju rumahnya dengan perasaan campur aduk.“Bibi pasti akan marah besar jika tahu aku sudah di pecat,” gumamnya ketakutan.
Bibi yang telah membesarkan dirinya selalu menganggap Sinta bukan anggota keluarganya. Sinta, seorang gadis yang malang yang sejak kecil dia telah kehilangan kedua orang tuanya.
Sesampainya Sinta di rumah, seorang pria sedang duduk di depan tv sedang menikmati segelas kopi dan sebatang rokok.
Pria itu melihat kedatangan Sinta, lalu tersenyum, pria itu tidak lain adalah pamannya. “Sinta kok baru pulang, kamu sudah makan belum?” Sang Paman menaruh puntung rokoknya.Belum juga Sinta sempat menjawab, sosok wanita sekitar umur 40-an ke atas keluar dari pintu kamar. Dengan hiasan di mukanya yang baru dipoles ulang dan mulut yang merah merona yang tersungging di bibirnya. Dia berjalan mendekati Sinta dengan tangan dilipatkan ke dadanya, jelas jika dia wanita yang dominan di rumah itu.
“Hari ini gajian kamu, ‘kan? Sini mana uangnya?!” Pinta sang bibi kepada Sinta berlagak seperti nyonya besar.
Sinta membuka tas dan memberikan amplop yang di terimanya tadi siang. Bibinya pun membuka amplop itu, matanya berbinar-binar. Alangkah bahagia dia melihat uang dalam jumlah yang tak seperti biasanya.
“Bi, itu uang pesangonku selama tiga bulan,” katanya takut-takut, “Aku di pecat.”Bab 4. Isakan Tangis Yang Menyayat Hati Wanita itu terbelalak mendengar kata dipecat yang keluar dari mulut Sinta. Kedua bola matanya melotot seolah-olah kedua mata itu akan lepas dari cangkangnya. Kata-kata yang kasar dan kejam mulai menghujani telinga gadis yang malang itu. Sosok Paman sang kepala rumah tangga, selalu tak bisa berkutik ketika istrinya sedang emosi. Sama halnya dengan malam itu, sang paman mencoba untuk menenangkan istrinya agar berhenti memarahi Sinta. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, sang istri memaki dirinya. “Paman dan ponakan sama saja, kerjanya tidak pernah becus!” ucapnya sambil menunjuk muka sang suami. Mendengar kata-kata itu sang paman kehilangan kesabaran, sudah sering istrinya meremehkan dirinya. Dia hendak menampar istrinya, tapi bukannya takut malah ia menantang suaminya. “Sini tampar aku, tampar, Mas!” Wanita itu mengarahkan mukanya lebih dekat ke a
Hatinya yang bergejolak menahan rindu pun tak bisa dia hindari lagi, semakin di tahan rindu itu semakin membara membakar dada. Rasa sesak pun mulai menjalar di rongga paru-parunya, dia ingin segera bertemu sang kekasih agar berakhir penderitaan hatinya.Louisa sang pujaan hati tidak bisa dihubungi, Marco telah mencoba menghubunginya beberapa kali namun hasilnya nihil.Louisa merupakan keturunan Italia namun keluarganya telah lama menetap di London. Louisa yang berparas cantik berhasil membuat Marco jatuh cinta pada pandangan pertama.Perasaan Marco tidak bertepuk sebelah tangan Louisa juga menaruh hati kepada pemuda itu. Hubungan mereka berjalan dengan baik selama lima tahun, tidak ada pertikaian serius di antara mereka. Akan tetapi, beberapa bulan terakhir terjadi perselisihan antara mereka berdua.Hal itu terjadi karena Louisa yang ingin ada kepastian hubungan antara dia dengan Marco. Louisa selalu mempertanyakan ke
Anna yang kaget karena tiba-tiba Marco menatapnya panas dan dalam hitungan detik Marco langsung mencium bibirnya.Ciuman Marco yang hampir menutupi mulut Anna, membuat gadis itu tak mampu berkutik. Marco melumat bibir tipis nan merah itu berkali-kali.Anna yang sebelumnya berfantasi liar, tidak mensia-siakan kesempatan itu. Anna membalas ciuman Marco bertubi-tubi hingga membuat nafsu pemuda itu semakin memuncak.Mereka berdua saling membalas ciuman satu sama lain, membuat gairah mereka sampai ke ubun-ubun. Apalagi ketika tangan perkasa Marco mulai menunjukan aksi nakalnya. Tangannya mulai meraba-raba bagian sensitif gadis itu.Pemuda itu mulai meremas-remas, lalu memainkan puting pa*u*ara yang berwarna merah mudah itu. Dia mencumbuinya dari atas kebawah sehingga gadis itu tak mampu lagi menahan hasrat birahinya.Gairah yang membara itu tidak bisa mereka tahan lagi, satu persatu keduanya saling melepas helai pakaian yang
Sang bibi sengaja menuduh Sinta yang macam-macam agar dia punya alasan untuk memarahi gadis itu. Sinta yang baru memasuki pintu rumah mencoba menghiraukan tuduhan bibinya, melihat Sinta yang mengabaikannya dia langsung menjambak rambut Sinta.Gadis itu menjerit kesakitan ketika akar-akar rambutnya seolah lepas dari kulit kepalanya. Sinta pun memohon kepada bibinya supaya berhenti menjambak rambutnya. “ Ampun Bi, Aldi hanya antar aku pulang, kita ketemu di jalan, bener Bi.” Sinta memelas supaya bibinya memberinya belas kasih.“ Alasan, kamu sudah berani bohong ya,” bentak sang bibi.Bibinya menarik rambut gadis itu semakin kencang sehingga gadis itu berteriak lagi, jeritan kesakitan itu telah menciptakan keributan yang membuat paman Sinta terbangun dari tidurnya. Sang paman dengan matanya yang masih mengantuk karena semalaman lembur di kantornya, segera menuju sumber keributan itu.Dan, alan
Marco terperanjak mendengar ucapan Roni, dia tidak mengerti maksud Roni belum terlambat. Marco tahu seberapa besar cintanya terhadap Louisa, dia tidak mungkin merebut Louisa yang sudah menikah dengan seorang laki-laki yang telah disetujui oleh gadis itu.Roni yang mengetahui kebingungan Marco, lalu menjelaskan kepada saudara sepupunya itu jika Louisa belum resmi menikah. “ Marc, mereka baru bertunangan. Coba kamu perhatikan lagi foto ini.”Marco memperhatikan foto itu lagi secara seksama, tapi pemuda itu tidak menemukan perbedaan. “ Bagaimana kamu tahu, Ron, jika dia belum resmi menikah?” ucap Marco lalu meletakkan handphone-Nya ke atas meja.“ Aku pernah menghadiri pernikahan teman aku. Termasuk saat mereka bertunangan, jadi aku tahu perbedaan keduanya,” Marc, jika kamu butuh kepastian yang lebih, kamu temui dia di London,” lanjut Roni.Marco terdiam sejenak lalu memperhatikan kembali foto yang di kirim ke
Seorang pemuda berdiri tepat di depan Anna, pria itu berpakaian kasual, namun sangat modis. Di batang hidungnya yang mancung bertengger kacamata putih, yang cocok untuk mukanya yang lancip dan tampak berwibawa. Anna yang mulai jengkel karena sudah lama menunggu berniat meninggalkan pemuda itu.Pemuda itu mencegah Anna pergi, dia menjelaskan alasannya kepada Anna kenapa dia bisa datang terlambat. Namun, Anna terlanjur jengkel sehingga dia tidak mau mendengar penjelasannya. Pemuda itu segera membujuk Anna, dia mengeluarkan sebuah bingkisan kecil dari saku celananya.“ Happy birthday, Anna. Aku sudah sampai kesini tadi, tapi aku melupakan ini makanya aku pulang lagi.”“ Oh, Peter. Lama kamu di luar negeri ternyata kamu tidak pernah berubah.” Muka Anna seketika berubah menjadi merah muda.Sebelumnya, Peter yang baru tiba di rumahnya segera menelepon Anna. Dia juga mengutarakan ingin bertemu dengan gadis itu, Ann
Namun, Sinta mendapati bahwa Peter telah pergi pergi masuk ke dalam rumahnya. Hatinya sedikit kecewa, Sinta menghela napas yang terdengar berat. Sekali-kali dia menggelingkan kepalanya., tak kala dia teringat sosok wanita cantik, yang sedang tidur di dalam mobil Peter."Wanita itu, pasti kekasihnya," gumam Sinta dalam hati.Ah, entahlah Sinta tidak ingin terlalu jauh memikirkan siapa wanita tersebut. Lagi pula, pertemuannya dengan Peter merupakan suatu ketidaksengajaan. Sinta berpikir mungkin dia tidak akan bertemu lagi dengan Peter.
Marco yang melihat sosok wanita yang tak asing lagi, menerobos masuk ke ruang kerjanya, sontak membuat pemuda itu hampir memuntahkan air kopi yang baru masuk ke dalam mulutnya.“ Maaf, Pak, wanita ini memaksa untuk masuk. Pada hal, sudah saya larang,” ucap salah seorang security.“ Anna, kamu ada masalah apa?”Roni mendekati Anna, dan menyuruh security itu keluar. Anna hanya memandang Roni sekilas, matanya terus menatap Marco yang tampak bingung dengan kehadirannya.“ Ron, aku ingin bicara empat mata dengan, Marco!”Roni melongo dengan ucapan Anna yang to the point kepadanya. Roni melihat kearah Marco, pemuda itu memberi isyarat kepada Roni untuk meninggalkan mereka berdua. Roni mengerti dia pun keluar dari ruangan kerja Marco, walaupun di hatinya bertanya-tanya apa yang terjadi di antara mereka berdua.Roni tahu persis, Marco dan Anna belum lama saling mengenal. Perkenalan mereka i