Share

04. Menangis Dalam Sepiku

"Jalan takdir seseorang tak ada yang bisa mengetahuinya kecuali si pembuat takdir itu sendiri."

_______________________________________

Hari sabtu selepas sholat Dhuha. Ghania bersiap untuk menghadiri acara akad nikah Nissa yang dilaksanakan disalah satu hotel di jalan Hayam Wuruk.

Mengenakan gamis warna hijau botol berpotongan A dengan bahan yang lembut  dan jatuh dipadu dengan pasmina model plisket warna abu-abu rokok membuat tampilan Ghania terlihat lebih anggun dan semakin cantik.

Dan Arlena berjanji akan menjemputnya untuk bisa pergi bersama keacara pernikahan tersebut. Tepat pukul sepuluh pagi, mobil Agya berwarna merah parkir didepan rumah Ghania yang sederhana dengan halaman yang ditanami pohon buah seperti mangga manalagi, jambu air dan mlinjo.

"Mak, Qilla pergi dulu ya." Pamit Ghania pada wanita paruh baya yang mengantarnya hingga teras. Ibu Maesarah mengangguk dan mencium kening putrinya saat gadis itu menyalami tangannya dengan takjim.

"Mama ." Panggil seorang gadis kecil yang berdiri bersama ibu Maesarah. Ghania berjongkok untuk menyamakan tinggi badanya dengan gadis kecil didepannya.

"Khanza dirumah dulu, ya Nak. Besok baru mama ajak ketaman bermain."ucap Ghania sembari mencium puncak kepala Khanza dengan sayang.

Gadis kecil dengan mata indah dan pipi cubby itu mengangguk dan kembali berkata dengan riang," Berarti nanti sore, Khanza boleh main sama Feny, Ma ?"

"Iya, boleh. Tapi mainnya dirumah saja, ya. Suruh Feny datang kesini, oke?"

"Oke, Ma. Hati-hati dijalan." Sahut Khanza riang sembari mencium pipi Ghania.

Ghania pun berdiri dan bersama Arlena bersiap menuju mobil yang sudah menunggu mereka.

"Lena, pergi dulu ya, Mak. Lain waktu, Lena akan main kesini."pamit Arlena sembari mencium punggung tangan ibu Maesarah.

"Iya, kamu sudah lama tidak nginap dirumah emak."

"Insya Allah, saat libur kerja nanti. Lena sempatkan nginap di rumah emak."

Ibu Maesarah kembali mengangguk dan tersenyum. Ikut melambaikan tangan bersama Khanza saat mobil meninggalkan pelantaran rumahnya.

"Beruntung banget ya, Nissa. dapat suami tajir, jadi bisa nikahan di hotel bintang lima." komentar Arleena saat mereka sudah berada didalam mobil menuju Jakarta.

Ghania yang duduk dibelakang hanya menyebik," Ini kode keras, bang Faisal." goda Ghania sembari tertawa. Pria yang sedang menyetir hanya tersenyum mendengar candaan Ghania.

"Kalau kami nanti, nikahnya di Senayan saja, La." sahut Faisal santai.

"Senayan? Memangnya mau demo anggota dewan."

"Bukan demo, La . Tapi memanfaatkan fasilitas negara untuk rakyat. Kan nggak apa-apa."

"Ngarang. Yang ada malah ditangkap sama satpol pp, bang." Kini giliran Arleena menanggapi ucapan Faisal, pria yang sudah melamarnya sebulan yang lalu.

"Kalau gitu, nanti acara nikahan kalian di Gelora Bung Karno saja. Lebih luas dan puas."

"Adu pinalty dong nanti." Ghania dan Arleena mau tak mau tertawa mendengar jawaban Faisal yang kadang suka nyeleneh.

"Tapi bener loh. Info yang aku dapat. Suaminya Nissa ini pewaris perusahaan tambang batu bara di Kalimantan." Arleena masih berusaha membahas apa yang dia dapatkan.

"Pasar batu bara lagi lesu. Banyak perusahaan tambang yang merumahkan karyawannya. Karena harga yang tidak stabil." Faisal menyampaikan pendapatnya.

"Wahhh... kalau seperti itu . Repot juga ya." balas Ghania.

"Kamu sendiri kapan ngenalkan kami ke calon suami."

"Calon suami dari Mars. Ntar deh kalau Allah tiba-tiba menjatuhkan seorang pria tampan, seksi dan tajir seperti pangeran Arab dihadapanku. Baru aku ajak kalian

kenalan." Sahut Ghania yang langsung mendapat cibiran dari Arleena," Dasar tukang halu."

"Memangnya, pasienmu nggak ada yang jomblo, La."

"Pasienku semuanya jomblo, bang."

Faisal menaikkan kedua alisnya mendengar jawaban Ghania," Kok bisa , La?"

Ghania tersenyum simpul."Bisa dong, kan aku dokter anak."

"kampret. Aku kira beneran." Umpat Faisal merasa dibodohi oleh gadis cantik dibelakangnya.

Tak terasa mobil yang dikendarai Faisal sudah mendekati tempat acara. Dan tiba-tiba ada perasaan tak nyaman yang dirasakan Ghania, tapi gadis itu tak bisa menerkanya.

****************

Ghania bersama Arleena juga Faisal menempati kursi dideretan kedua dari tamu pengantin wanita. Ghania mengedarkan pandangan ke sekeliling ballroom yang disulap begitu indahnya. Di dominasi dengan warna biru laut yang lembut, dengan hiasan bunga segar yang mengeluarkan aroma wangi ditambah dengan kain dan lampu yang berpadu mengantarkan kesan mewah.

Disebelah kiri dekat panggung pelaminan pengantin, tim penghibur sudah siap ditempatnya. Sebuah meja yang didesign untuk acara pengucapan akad nikah pun di dominasi warna biru muda yang lembut dan mewah.

Puas menilai design ruangan pesta, kini Ghania sibuk membalas chat dari asisten perawatnya hingga tak menyadari kalau pasangan pengantin sudah memasuki ruangan dan duduk di kursi untuk melangsungkan akad nikah.

Ghania baru berhenti dengan ponselnya ketika suara mc meminta hadirin untuk khusyuk mendengarkan alunan ayat suci Al Qur'an.

Suara merdu qori membacakan surah An-Nur Ayat 32 , membuat telinga meminta hati untuk meresapinya.

"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya."

Setelah selesai terdengar suara pria memandu pengucapan kalimat ijab kabul ke pengantin pria. Dan Ghania serasa sangat mengenal suara pria yang sedang bersiap mengucapkan kalimat sakral itu. Namun karena terhalang kepala orang yang duduk didepannya membuat dirinya tak bisa melihat dengan jelas wajah pengantin pria.

Jantung gadis itu tiba-tiba berdebar lebih cepat dari biasanya, saat telinganya kembali mendengar suara bariton yang sangat familiar ditelinganya.

"Kenapa suaranya , sangat mirif suara bang Harris?"gumam Ghania dalam hati. Gadis itu sedikit mengeser posisi duduknya sedikit ke pinggir agar bisa melihat dengan jelas wajah pengantin pria.

Dan mata indah gadis itu membola sempurna dibarengi dengan mulut yang terbuka saat si pengantin pria mengangkat wajahnya membuat tatapan mereka untuk sesaat bertemu.

Tampak si pria terkejut namun berusaha untuk ditutupinya. Sementara Ghania hampir saja berteriak karena terkejut saat menyadari kalau pria yang menjadi pengantin itu adalah pria yang ditunggunya selama ini.

Ya, dia adalah Syahidar Harris bin Abdurahman. Si ketua rohis di SMAnya, pria yang dikabarkan menyukai dirinya sehingga membuat dia pun menyukai pria ini dan selalu menunggunya.

Tanpa disadari airmata Ghania turun dengan sendirinya saat Harris berhasil mengucapkan kalimat Kabulnya dihadapan saksi dan wali nikah, walau sempat diulang dua kali karena gugup.

Arleena yang menyadari apa yang terjadi, langsung memegang tangan Ghania yang terasa dingin," La.' Panggil gadis itu.

Ghania berusaha tersenyum sembari menghapus airmatanya dengan selembar tissu pemberian Arleena."Aku , nggak apa-apa. Len."

"Ta-pi , itu benar bang Harris, La."

"Aku tahu. Dan inilah jawaban atas pintaku selama ini. Allah memang mempertemukan kami tapi tidak menyatukan kami."

Arleena yang mendengar ucapan penuh rasa kecewa dari sahabatnya itupun ikut merasakan sakitnya. Dirinya sangat tahu, bagaimana sahabatnya itu menunggu kedatangan pria bernama Harris datang untuk mewujudkan perkataannya dulu ingin menjadikan Ghania sebagai pasangan halalnya. Dan Arleena juga tahu alasan Ghania tidak menerima pria lain, ya karena seorang Syahidar Harris yang ditunggunya. Namun semua mimpi dan harapan itu musnah dalam sekejap. Bagai sebutir debu yang diterbangkan oleh angin musim kemarau.

"Kamu mau ngasih selamat kepada mereka?" tanya Arleena pelan. Ghania mengangguk berusaha untuk tegar.

"Tentu, aku nggak mau. Nissa berpikir macam-nacan terhadapku, jika aku pergi sebelum memberi doa selamat padanya." jawab Ghania dengan pasti.

Arleena lalu membantu Ghania untuk berdiri dari kursinya. Kaki gadis cantik itu tiba-tiba terasa lemas tanpa daya untuk bisa menopang tubuhnya.

Dengan memgulas senyum manis di bibirnya yang dipoles lipstik warna nute yang lembut,  Ghania melangkah pasti menuju panggung untuk memberi ucapan selamat kepada kedua pengantin.

Nissa yang melihat bossnya datang langsung tersenyum lebar, wanita itu lalu berbisik kearah suaminya.

"Mas. Ituloh boss aku di kafe. Masih muda dan cantik. Dia juga dokter dan psikolog anak, loh. "

Harris mengikuti arah yang di tunjuk istrinya. Nafas pria itu serasa berhenti saat menyadari kalau apa yang dilihatnya tadi,  adalah benar gadis yang dicintainya sejak masa SMA.

Sementara ditemani Arleena dan tunangannya. Ghania menyalami Nissa sembari mengucapkan doanya.

"Baarakallahu lakum wa baraka alaikum. Semoga Allah memberikan keberkahan bagi kalian dan melimpahkan keberkahan atas kalian.” Ucap Ghania tulus sembari mengenggam tangan Nissa.

"Terima kasij banyak, Mbak. Atas doa dan kehadirannya. "

Ghania mengangguk lalu beralih ke pengantin pria. Gadis itu mengabaikan tangan Harris yang menggantung begitu saja.  Ghania memilih menangkupkan kedua tangannya kedada dengan sedikit menunduk. Tanpa senyum sedikit pun Ghania langsung turun dari panggung dan bergegas berjalan menuju pintu keluar.

Tak di hiraukannya Arleena yang memanggil namanya.  Tak dihiraukannya ajakan keluarga Nissa untuk menikmati hidangan yang sudah disediakan.

Hatinya terlalu sakit untuk sekedar bertahan menyaksikan pria yang selama enam tahun ditunggunya bersanding bahagia dengan wanita lain.  Wanita yang tak lain karyawannya di kafe miliknya.

Tangan Ghania sampai gemetar menahan tangisnya saat menekan tombol lift.  Wajah gadis itu tertunduk untuk menyembunyikan airmata yang siap jatuh.

Namun suara sapaan membuatnya mengangkat kepala.

"Anda yang bekerja di kafe Marfosa, bukan? " tanya pria dengan kemeja batik warna coklat itu.

"Iya. "

Pria yang berdiri disebelahnya tersenyum lalu mengukurkan tangannya, "Kenalkan saya Sabran teman pria yang anda suruh mengepel lantai waktu itu. "

Kini ganti Ghania yang mengangguk dan membalas jabat tangan Sabran, "Saya Ghania. "

"Dari acara nikahan juga? Tamu mempelai pria atau wanita? "

"Saya teman mempelai wanita,  anda sendiri? "

"Saya sepupu pengantin pria. Ini mau ke bandara menjemput keluarga yang baru datang dari Papua. "

Ghania hanya mengangguk dan kembali menunduk. Rasanya dia ingin keluar saja dari lift yang berjalan sangat lambat menurutnya.

Tak lama pintu lift terbuka,  bergegas Ghania keluar dari lift menyerobot seorang wanita dengan kebaya cantiknya.

"Maaf bu,  saya buru-buru. " ucap Ghania sebelum berlari melintasi lobby hotel menuju pintu keluar.

Gadis itu tak tahu akan kemana.  Pikirannya terlalu kalut dan hatinya terlalu sakit untuk bisa berpikir secara normal.

Suara adzan terdengar menyadarkan Ghania untuk bisa berpikir waras barang sejenak.

Gadis itu lalu menghentikan taksi yang lewat dan minta diantar ke masjid yang terdekat.  Dan akhirnya dia sampai di masjid jami' Kebon Jeruk. Setelah membayar ongkos taxi,  Ghania pun bergegas masuk kedalam masjid untuk sholat Dzuhur.

Butuh waktu dua puluh menit bagi gadis itu untuk bermunajat menghibur hatinya.

Setelahnya Ghania kembali bingung mau pergi kemana. Di periksanya ponsel yang berada di dalam tas kecilnya. Ada 10 kali panggilan dari Arleen , ditambah pesan dari gadis itu.

Dan Ghania hanya membalas dengan kalimat." Aku baik-baik saja, leen. Ini lagi di mall mau beli boneka buat Khanza dan baju gamis buat emak. "

Dan kembali Ghania harus menahan nafas juga tangisnya, saat Arleena menyampaikan kalau Harris mencari dirinya.

Ghania tersenyum sinis membaca pesan dari sahabatnya itu. "Mencariku, untuk apa. Untuk mengatakan maaf kalau sudah menikahi gadis lain. Drama sekali. " gumam Ghania.  Gadis itu lalu mendudukkan diri begitu saja dibawah pohon trambesi yang tumbuh di luar pagar halaman masjid.

Di bukanya galery photonya dan mulai menghapus semua photo pria yang sudah membuatnya berharap sekaligus patah hati.

Tak lupa menghapus chat dari pria itu dan menghapus nomornya dari daftar nomor di ponselnya.

Hatinya terlalu sakit,  gadis itu menundukkan kepalanya diantara kedua lututnya. Menangis menumpahkan semua kecewanya.

Hingga dia merasakan kalau dirinya tak sendirian,  matanya bisa melihat sepasang sepatu sport pria berada di hadapannya.

Perlahan diangkatnya kepala sambil menghapus sisa airmata. Kening Ghania sedikit berkerut saat melihat sebuah gelas air mineral tergantung didepan matanya.

"Ambil dan minum,  sebagai ganti airmatamu. Ntar kalau sudah habis, gelasnya jangan dibuang. " ucap suara yang pernah didengarnya. Serta merta Ghania mendongak dan mendapati pria berwajah Timur Tengah yang sedang menatapnya.

"Kemal. "ucapnya lirih.

"Ambil nih." Kemal menggoyangkan gelas berisi air mineral itu. Dan mau tak mau Ghania pun mengambil dan meminumnya.

"Habiskan,  karena aku butuh gelasnya. " Ucap pria itu lagi.

Dan Ghania menurut begitu saja,  menangis ternyata membuat tenggorokannya kering.

Kemal lalu merebut gelas plastik kosong ditangan Ghania,  memasukkan selembar uang sepuluh ribu kedalam gelas dan memberikannya kembali ke Ghania yang menerimanya dengan tatapan bingung.

"Daripada kamu duduk dipinggir jalan nggak menghasilkan apa-apa. Lebih baik seperti ini. Nanti akan ada orang yang akan memberimu uang. "

Ghania yang sedikit bingung mencerna secara perlahan apa yang di ucapkan pria tampan itu.

Dan mendadak Ghania memukulkan gelas plastik bekas air mineral itu ke tangan Kemal.

"Kamu nyuruh aku ngemis? Tega banget sih. Orang lagi sedih disuruh ngemis. "

Kemal hanya diam saja saat Ghania menghujaninya dengan pukulan dan malah membalas ucapan gadis itu dengan ekspresi datarnya.

"Kamu ngapain duduk disini,  seperti anak hilang. Kamu terpisah dari ibumu. "

Ghania menatap Kemal kesal, "Nggak ! Ya terserah aku dong, mau duduk dimana. "

Kemal tampak mengangkat bahunya sembari bergumam, " Hemm, kambuh juteknya. "

Pria itu lalu berdiri dan menatap kearah langit yang semakin kelabu. "Seprtinya mau turun hujan. Kamu mau pulang tidak?  Atau mau tetap disini  nunggu gelasmu penuh.," ejek Kemal membuat Ghania melempar kaki pria itu dengan batu kecil.

Ghania yang kesal pun akhirnya berdiri dan melangkah menjauhi Kemal.  Dan Kemal yang melihat itu tak tinggal diam. Pria itu segera berseru memanggil Ghania.

"Ayo aku antar. Hari ini aku free!  Kamu boleh minta antar kemana saja."

"Antar ke surga, bisa nggak? " balas Ghania dengan sedikit wajah kesalnya.

"Waduh kalau kesitu, aku nggak tahu rute jalannya. Pake g****e map bisa nggak?." Kemal masih semangat menganggu gadis yang sedang kesal itu.

Ghania hanya mencibir dan tetap berjalan. Tak dihiraukannya Kemal yang berjalan mengikutinya.

Baru beberapa langkah, tiba-tiba hujan turun tanpa memberi peringatan, membuat keduanya segera mencari tempat berteduh.

Sebuah emperan sempit toko kelontong menjadi tempat berteduh mereka.

"Kamu tunggu disini, jangan kemana-mana. " Pinta Kemal pada Ghania yang tengah mengibas-ngibaskan gaunnya dari tetesan air hujan.

"Kamu denger, nggak. "

"Iya,  dengar. Tapi buat apa aku menurutimu. " Ghania menanggapi perkataan Kemal dengan tatapan penuh tanya bercampur kesal.

"Karena aku ingin menyelamatkan bedak dan skincare diwajahmu dari terkena air hujan. " Kemal berkata sebelum berlari menembus hujan dengan melepas jas yang dipakainya untuk menutupi kepala.

Ghania hanya menggeleng dan bersedekap menahan hawa dingin juga percikan air hujan.

"Nunggu didalam saja, mbak. " Seorang wanita muda menawarkan Ghania untuk masuk kedalam tokonya.

Karena hujan semakin deras, Ghania akhirnya memilih menerima tawaran wanita muda pemilik toko klontong tempatnya berteduh.

Ghania duduk disebuah kursi plastik tak jauh dari pintu.  Dan tak lama sebuah mobil suv warna putih berhenti tak jauh dari toko tersebut.

Seorang pria bertubuh tinggi dan juga tampan tampak keluar dari dalam mobil dan langsung berlari kearah toko kelontong dimana Ghania sedang berteduh.

Kemal mengibaskan rambutnya yang sedikit basah,  kemeja pria itu terlihat sedikit basah sehingga menempel ditubuhnya yang atletis.

"Ada jual payung? " tanya Kemal tanpa basa-basi.

Wanita muda pemilik toko itu mengangguk dan mengambil barang yang di minta Kemal.

"Adanya payung lipat, pak! Yang besar habis. Babe belum beli lagi. " Wanita muda itu lalu menyerahkan payung berwarna biru itu ke Kemal.

"Berapa? "

"Dua puluh lima ribu pak. "

Kemal mengangguk lalu merogoh saku celananya untuk mengambil dompet dan memberi wanita pemilik toko itu selembar uang seratus ribu.

"Sebentar ya, pak. Saya ambilkan kembaliannya. "

"Tidak perlu. Anggap saja sebagai jasa sewa kursi untuk duduk nona itu. " Jawab Kemal sembari menunjuk kearah Ghania dengan dagunya.

Ghania yang melihat itu hanya berdecih pelan, "Sombong. "

Sipemilik toko tersenyum simpul dan mengangguk. Sementara Ghania membalas tatapan mata elang milik Kemal demgan tatapan kesal.

Kemal berjalan kearah Ghania duduk dan berkata kepada gadis itu, "Ayo,  kamu mau nginap disini?"

"Apaan sih. Tentu saja tidak. "

"Ohh. Aku pikir, kamu mau nginap disini. Bukan apa,  kasihan pemilik toko kalau kamu tetap disini. Kamu seperti orang-orangan sawah yang nakutin anak kecil. " Jawaban Kemal sukses membuat Ghania memukulkan tas kecil miliknya ke lengan pria tampan didepannya.

Karena tak enak dengan pemilik toko,  akhirnya Ghania pun berdiri dari duduknya.

Gadis itu terkejut saat Kemal merangkul bahunya.  Dan Kemal yang merasakan penolakan gadis itu malah mengeratkan rangkulan tangannya.

"Payung ini ukurannya kecil. Kalau kamu tak dekat denganku,  kamu akan basah kuyup. "

Ghania tak bisa protes, karena hujan yang turun cukup deras.  Kemal membuka pintu depan agar Ghania bisa masuk dan memastikan gadis itu nyaman sebelum dirinya sendiri masuk kedalam mobil dan duduk dibelakang setir sebelah Ghania duduk.

Kemal mengulurkan selembar handuk kecil yang dapat mengeluarkan wangi pelembut pakaian kearah Ghania.

"Keringkan wajahmu. Sebelum masuk angin. Dimobil ini, aku hanya punya handuk, bisa saja sih kamu pakai buat ganti jilbabmu yang basah," cerocos Kemal sembari menjalankan mobilnya, "Kita mau kemana, nona? "

"Katanya tadi kamu mau cari rute ke Surga. "

Kemal meringis mendengar perkataan Ghania. Namun tetap saja pria itu menjalankan mobilnya menembus hujan perlahan mulai reda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status