Share

03 . Bersyukur

"Kadang sepi jadi sahabat yang paling mengerti. Bahwa sunyi merupakan bagian dari hal yang paling memahami. "

_______________________________________

Awan kelabu masih menggantung di ujung langit, saat Ghania melangkah memasuki peron stasiun kereta api di Bekasi.  Ikut berdiri didalam antrian penumpang KRL yang rata-rata adalah orang-orang yang mengantungkan hidupnya di perusahaan, mall atau warung makan di ibukota negara, kota Jakarta.

Saat peluit petugas stasiun berbunyi. Ghania dengan cepat berjalan menuju peron. Melewati kerumunan wanita dengan seragam yang sama asik mengobrol tentang berita salah satu artis terkenal yang ditinggal oleh tunanganya yang menikahi artis lainnya.

Melewati beberapa pria dengan kemeja rapi dan dasi menghiasi lehernya,  tampak gagah dan tampan. Terbaca di idcard yang tergantung di leher, kalau mereka adalah karyawan bagian pemasaran disebuah perusahaan retail.

Ghania terus berjalan cepat,  gadis itu memindahkan tas punggung yang dibawanya menghadap ke dada.  Pengalaman pernah kecopetan saat berada di KRL mengajarkan gadis itu untuk lebih berhati-hati menjaga barang bawaannya.

Tak mau kalah dengan bapak-bapak bertubuh kekar. Dengan cepat Ghania menyelinap masuk ke salah satu gerbong khusus wanita.

Matanya dengan cepat mencari bangku kosong untuk mengistirahatkan kedua kakinya yang lelah akibat berlarian mengejar angkot yang menuju ke stasiun Bekasi.

Senyum gadis itu mengembang saat menemukan satu bangku kosong. Segera dia berjalan kearah bangku tersebut,  mendudukkan diri dengan perasaan lega.

Tetapi baru saja Ghania akan mengeluarkan ponsel dari dalam tas.  Pandangannya teralihkan pada seoramg wanita hamil yang menuntun anak kecil dengan seragam Sekolah Dasar.

Wanita itu terlihat kecewa karena semua bangku sudah terisi.  Ghania yang melihat itu, lalu berdiri dan memanggil wanita hamil tadi untuk mendekat.

"Duduk disini bu. " ucap Ghania sembari menunjukkan bangku kosong yang sebelumnya dia duduki tadi.

"Kalau saya duduk disitu,  adik duduk dimana?" jawab wanita hamil itu tak enak.

Ghania menampilkan senyum dengan hiasan lesung pipinya,"Saya berdiri saja , Bu. Saya kuat kok. Lagi pula ibu sedang hamil. Kasihan kalau berdiri. "

Jawab Ghania berusaha menyakinkan sang ibu.

Akhirnya di ibu pun bersedia duduk dikursi yang diberikan Ghania bersama anaknya bertepatan dengan suara nyaring peluit dan masinis pun mulai menjalankan keretanya.

Ghania yang memilih berdiri melepaskan pandangan kearah jendela.  Menikmati pemandangan yang selalu dilihatnya tiap hari, saat menggunakan KRL.

Atap-atap rumah warga yang beraneka bentuk dan warna berkejaran dengan jajaran tiang listrik,  tiang telphone bahkan tiang baliho photo calon pemimpin bangsa yang akan bertarung di Pemilu.

Hentakan sambungan rel yang dilalui roda kereta menimbulkan sensasi tersendiri dan menandakan kalau dirinya sedang berada didalam kereta bukan didalam angkutan kota.

Ghania melirik kepergelangan tangan, sebuah benda pipih bertali putih dengan merek yang sudah familiar yang dia beli di Pasar Senen menghiasi tangan kanannya .

Pukul 7.15 wib,  lalu Ghania mengambil ponsel untuk mengecek jadwalnya hari ini.

"Interview di rumah sakit ananda pukul 8.15 wib, berarti aku harus naik ojol biar nggak telat. " gumam Ghania lalu memasukkan kembali ponsel kedalam tas dan kembali berpegangan pada besi yang terpasang sejajar kepala.

Butuh waktu setengah jam untuk bisa sampai di stasiun Jatinegara.  Dan seperti saat masuk kedalam kereta, kali ini pun Ghania bergegas untuk keluar. Namun langkahnya sedikit terhenti saat dilihatnya wanita hamil tadi mengalami kesulitan saat berjalan menuju pintu keluar dari gerbong yang lumayan padat itu.

Ghania dengan cepat meraih tangan anak wanita itu dan mengendongnya,

"Ibu pegang lengan saya. Jangan dilepas sebelum kita sampai diperon."

Si wanita hanya mengangguk dan berpegangan pada lengan kiri Ghania sementara satu tangannya memeluk erat tas cangklong yang dibawanya.

Dengan sedikit perjuangan,  akhirnya Ghania bisa sampai di peron dan si ibu berulang kali mengucapkan terima kasihnya.

Ghania yang terburu-buru tak bisa berlama-lama menemani si ibu hamil tadi. Gadis itu segera berlari menuju pintu keluar mencari ojol yang biasanya mangkal di pojokan tempat parkir stasiun itu.

"Mang ke rumah sakit Ananda,Kemang. offline berapa?"tanya Ghania pada salah satu pengemudi ojek online.

"Dua puluh ribu ya,  Neng. Cuman beda lima ribu kalau online. "

Ghania memgangguk menyetujui tawaran si bapak."Tapi bisa sedikit lebih cepat ya, Pak. "

"Beres, Neng. Ini pakai helmnya. " si bapak ojol memberikan helm ke Ghania yang langsung memakainya dan gadis itu segera duduk di atas boncengan motor si bapak pengemudi ojek online.

Sesuai permintaan, motor melaju membelah jalanan ibukota yang lumayan padat menjelang jam masuk kantor. Menyalip dari kiri dan kanan mencari celah kosong untuk bisa lepas dari kemacetan untuk bisa sampai ditujuan dengan cepat.

Akhirnya bapak ojek online itu berhasil mengantar Ghania di depan lobby rumah sakit Ananda sebelum pukul delapan pagi. Setelah membayar jasa sang bapak ojol,  Ghania bergegas masuk kedalam lobby untuk bertemu dengan resepsionis.

"Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu, mbak?" sapa sang resesionis cantik  dengan ramah.

"Saya ada jadwal interview dengan profesor As Salam, mbak. "

"Boleh lihat idcard dan panggilan interviewnya, Mbak. "

"Oh, bisa Mbak!." Ghania lalu mengeluarkan idcardnya juga surat panggilan interview untuk diperlihatkan kepada petugas didepannya.

Petugas resepsionis cantik itu lalu menelphone kepada rekannya yang bertugas dibagian yang menangani wawancara  untuk memastikan.

"Baik,  mbak bisa naik lift kelantai empat. Nanti disitu ada meja resepsionis. Nah mbak bisa melaporkan kedatangan mbak pada petugas disana. " ucap si resepsionis sembari mengembalikan idcard dan surat panggilan milik Ghania.

Ghania pun bergegas menuju lift setelah mengucapkan terima kasih.

Dan sesuai intruksi Ghania pun melaporkan diri pada petugas yang menunggu di lantai empat.

"Maaf,  karena profesor belum datang. Saya harap, nona bisa menunggu di ruang tunggu sambil ngopi. " pria yang menerima laporannya mengarahkan Ghania dengan sopan.

Ghania lalu menuju ruang tunggu. Disana sudah ada beberapa orang yang memiliki keperluan yang sama dengannya.

Sambil menunggu kedatangan profesor As Salam,  Ghania memutuskan untuk menuangkan kopi manis hangat dan mengambil dua potong roti kroisan untuk mengganjal perutnya. Karena terburu-buru, dirinya tak sempat makan pagi dirumah padahal ibunya sudah membelikan lontong sayur di tetangga sebelah rumah.

****************

Ghania tampak duduk dengan sedikit gugup.  Didepannya ada tiga orang dengan berpenampilan rapi duduk menghadapinya.

Dinginnya suhu air conditioner  diruangan itu tak bisa mendinginkan rasa gugup yang tiba-tiba menghampiri gadis berkerudung coklat susu itu.

"Anda berkeringat,  apa anda gugup,  nona?"tanya pria dengan wajah oriental yang duduk didepannya.

Ghania berusaha tersenyum dan menggeleng untuk menyakinkan pria tersebut.  Gadis itu berusaha untuk tetap pada posisi tegak di kursinya.

"Lulusan Fakultas Psikologi,Universitas Riyadh. Luar biasa apalagi dengan jalur beasiswa. Kenapa memilih psikologi?  Bukankah dikampus anda, ada fakultas perminyakan yang tentunya lebih dibutuhkan disana. " pria berwajah oriental mengajukan pertanyaan pertama.

Ghania mengangguk dan mengulas senyumnya sebelum menjawab pertanyaan pria bernama Rubert Jerry itu.

"Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih atas undangan wawancara ini. Terlebih dahulu saya mengenalkan diri saya. "

Ghania Syaqilla berdiri dari duduknya dan mengambil sikap sempurna.

"Perkenalkan nama saya Ghania Syaqilla,  usia 25 tahun. Saya anak tunggal pasangan Abdulloh Ar Rasyid dan Maesaroh. " Ghania sedikit membungkukkan tubuhnya memberi hormat sebelum kembali duduk dikursinya.

"Saya ingin menjawab pertanyaan bapak Rubert , kenapa saya memilih fakultas Psikologi, bukan fakultas migas. Pertama karena program beasiswa yang ada saat itu hanya di fakultas Ekonomi,  Bahasa, dan Psikologi.  Kedua kenapa saya memilih Psikologi, tadinya saya ingin masuk Fakultas kedokteran dengan spesialis dokter bedah. Namun melihat jangka waktu belajarnya yang panjang dengan biaya yang besar akhirnya saya Psikologi karena saya sangat tertarik dan menyukai dunia anak-anak. " Jawaban lugas dari Ghania membuat ketiga orang yang berada didepannya tersenyum.

Wanita elegan yang duduk disebelah kanan pria dengan rambut yang sudah memutih meletakkan berkas pribadi Ghania yang barusan dibacanya.

"Kenapa memilih kuliah di luar negeri?Sementara di Indonesia sendiri banyak universitas yang bagus. "

"Kalau boleh jawab jujur, kenapa memilih universitas di luar negeri, satu karena program beasiswa yang benar-benar gratis. Kedua saya bisa belajar sambil menunaikan ibadah umroh yang kalau saya berada di Indonesia hanya berupa wacana tanpa kisah nyata. Selain itu saya juga bisa mengenal sejarah,  budaya dan pola hidup negara lain dan mengenalkan negara sendiri ke teman-teman yang berasal dari banyak negara. "

"Lalu bagaimana tanggapan mereka?"

"Mereka sangat senang. Dan berkeinginan untuk bisa datang berkunjung ke Indonesia. "

"Kalau seperti itu, kenapa kamu tidak memilih jurusan pariwisata saja. "

"Di sana tidak ada jurusan pariwisata, Bu. " jawab Ghania polos membuat ketiga penanya tertawa lirih.

"Apa yang kamu kerjakan setelah kembali dari luar negeri?"

"Tentu saja, saya harus mencari cara. Agar bisa tetap hidup dan menghidupi orangtua saya. "

"Dengan cara apa? Buka praktek psikolog? " Tuan Rubert kembali bertanya,  dirinya sangat penasaran dengan gadis cantik didepannya ini.

"Buka praktek perizinannya mahal pak. Duit tabungan saya nggak cukup."

"Lalu apa yang kamu kerjakan. "

"Buka kafe."

"Bukannya, buka kafe dananya lebih besar dari buka praktek? "

Ghania mengangguk dengan masih mengulas senyumnya.

"Lalu, darimana kamu mendapat modal untuk membuka kafe ?"

"Awalnya saya sewa pak,  patungan dengan teman saya yang seorang barista. Lalu almarhum ayah meminjamkan sertifikat tanahnya untuk menambah modal membeli sebuah ruko untuk dijadikan kafe dan modal usaha. "

"Dan kamu berhasil dengan kafemu?"

"Alhamdulillah, pak. Kalau dikatakan berhasil, saya tidak tahu bagaimana barometer penilaiannya. Namun jika dikatakan, lancar ya saya katakan iya."

"Berapa orang karyawan kamu? "

"Enam orang pak, termasuk saya. "

"Lalu kalau kamu, kami terima bekerja disini sebagai dokter psikolog anak,  bagaimana dengan kafemu?"

"Tetap jalan, pak, Bu . Saya akan mengaturnya dengan baik agar bisa sama-sama jalan. "

"Saya pegang kata-kata kamu. " pria dengan rambut berwarna kelabu berkata dengan sangat tegas.

"Siap,  pak. "

"Baik nona Ghania. Kami sudah mendengar apa yang kami ingin dengar dari anda. Mohon untuk bisa menunggu di ruang tunggu sembari menikmati makan siang yang sudah disiapkan. " wanita berpenampilan elegan itu tersenyum.

Ghania mengangguk lalu menyalami ketiganya sembari mengucapkan terima kasih.

*************

Senja perlahan mulai menepi mengiringi hari ini. Awan kelabu yang sejak pagi menghiasi langit tak juga berubah menjadi rintik hujan.

Hembusan angin terasa dingin hingga ketulang,  daun-daun akasia dan kuningnya warna bunga tabebuya berguguran di tiup angin sore.

Di ujung jalan petugas kebersihan dengan seragam orangenya sibuk berperang dengan sapu lidinya menyapu guguran daun yang berjatuhan di atas trotoar jalan.

Ghania menikmati suasana sore yang sendu ini dengan senyum lebar . Gadis itu selalu menyukai daun-daun yang berjatuhan. Mengingatkan dirinya akan kenangan saat berlibur akhir semester di tanah kelahiran teman kampusnya disebuah desa bernama Laqlouq yang merupakan sebuah desa di pengunungan kecil di utara kota Beirut, Lebanon dengan suasana musim gugur yang sangat menakjubkan.

Ghania yang baru turun dari busway, berjalan cepat menuju kafe miliknya,  melewati beberapa mall dan kafe ternama yang ada di kawasan kuningan tersebut.

Ghania masuk kekafe Marfosa,  langsung menuju ruang kerjanya dilantai dua kafe tersebut. Duduk di kursi meja kerjanya dan kembali memandangi surat kontrak kerja yang baru saja ditanda tanganinya. Posisi dokter Psikologi anak menjadi tanggung jawabnya . Satu posisi yang sesuai dengan cita-citanya.

Senyum bahagia terlihat jelas di bibir merah mudanya. Ghania memasukkan kembali kontrak kerjanya kedalam tas punggungnya. Dia akan menjadikan kontrak kerjanya sebagai hadiah buat ibunya.

Ketukan di pintu membuat gadis itu mengangkat kepala dari layar laptop didepannya. Tampak Nissa salah satu karyawannya meminta izin untuk masuk keruang kerjanyanya.

"Sibuk, mbak ?"

Ghania tersenyum sembari menggeleng dan berkata dengan ramah," Tidak. Hanya sekedar menyusun agenda kerja saja."

"Kalau gitu saya mau ngomong bentar, mbak." Nissa lalu menarik kursi yang ada didepan Ghania.

"Mau ngomong apa ?"

"Gini mbak. Lusa saya mau nikah, saya berniat meminta izin satu minggu nggak masuk kerja, Mbak." Ucap Nissa sembari menyorongkan selembar undangan cantik berwarna coklat tanah ke Ghania.

"Boleh, saya akan beri izin empat belas hari buat kamu. Tapi ketika kembali masuk kerja, saya minta dibuatkan surat izin bekerja dari suami kamu, bisa ?"

"Insya Allah, Mbak. Bisa."

"Formulir izin bekerjanya saya kirim nanti lewat email ya."

"Baik, Mbak. Terima kasih banyak."

"Sama-sama. Semoga acaranya lancar ya, dan samawa."

"iya,Mbak. terima kasih." Nissa tersenyum lebar, ternyata tak sulit mendapat izin dari atasannya ini. Nissa pun segera meninggalkan ruang kerja Ghania untuk meneruskan pekerjaannya.

Iseng Ghania membuka undangan pernikahan Nissa, undangan yang simpel namun indah. Tak ada photo calon pengantin yang ditampilkan dalam undangan tersebut sebagaimana yang sedang tren saat ini.

"Nissya Sabrina dan Syahidar Harris Abdurahman."Ghania tampak membaca pelan nama yang tertulis di undangan tersebut, satu alisnya naik menandakan kalau dirinya sedang berpikir. " Syahidar Harris Abdurahman?Berapa orang yang memiliki nama ini ?"

Ghania masih menerka-nerka nama calon suami karyawannya itu hingga seseorang masuk keruang kerjanya. Seorang gadis cantik yang juga berhijab sama dengan dirinya.

"Leen."sapa Ghania sembari meletakkan undangan dari Nissa keatas meja.

"Lagi ngelamunin apa ?"tanya Arleen Syahila, sahabat Ghania sejak SMA. Arleen mendorong segelas copuccino panas kearah Ghania.

"Nggak ada."

"Gimana hasil interniewmu ?"

"Alhamdulillah lancar, dan mulai besok kamu harus menghandle kafe sendirian sejak pagi hingga sore hari."

"Maksudmu, kamu diterima dirumah sakit itu ?" tanya Arleen setengah tak percaya,"Ahhh... selamat sobat. Akhirnya ijazah psikologmu berguna juga."seru Arleen setelah Ghania mengangguk.

Ghania tertawa mendengar ucapan Arleen,"Ijazah psikologku tentu saja berguna. Kalau tidak, buat apa empat tahun aku habiskan disana. Berteman dengan unta."

"Aku seneng dengernya, la," Arleen tersenyum bahagia melihat sahabatnya yang sedang bahagia," Setelah jadi psikolog anak, apa kamu tidak datang ke kafe lagi?"

"Mana bisa aku tidak ke kafe. Cicilan hutang masih banyak, sis."

Arleen mau tak mau ikut tertawa, memang benar mereka berdua memiliki hutang yang cukup besar di bank. Hutang terkait modal kerja untuk kafe yang baru berjalan satu tahun dari dua tahun waktu pelunasan yang mereka ajukan.

"Leen, kamu tahu nggak, calon suaminya Nissa ?"

Arleen yang baru meminum capuccinonya tampak bingung, gadis itu meletakkan gelasnya lalu meraih undangan pernikahan milik Nissa.

"Syahidar Harris Abdurahman. Kenapa nama ini sangat familiar ya."

"Aku pun berpikir seperti itu, Leen."

"Atau kamu berpikirnya, dia mas Harris. Cowok yang diam-diam kamu taksir ?"

"Ada iya, ada juga tidak Leen. Karena mas Harris,  terakhir bilang masih di Kairo menyelesaikan tesis S2nya."

"Apa mas Harris pernah janji sama kamu?"

"Janji apa ?" tanya Ghania tak paham akan pertanyaan sahabatnya.

"Ya, janji ingin menjadikanmu pasangan halalnya satu hari nanti ."

"Pernah sih, tapi aku menilainya bukan sebuah janji. Hanya sekedar obrolan seiring angin berhembus saja."

"Kenapa kamu berpendapat seperti itu?"

"Karena saat mengatakan itu, ekspresi wajah mas Harris lempeng saja, tidak ada kesungguhan yang bisa aku jadikan  sebagai sebuah janji."

"Iya juga sih. Tapi mas Harris memang seperti itu gayanya. Pria sholeh yang sangat menjaga pandangannya. Selain soleh, tampan dan cerdas. Mas Harris juga terkenal tajir, bukan.'

"Yang tajir ayahnya, bukan dia."

"Yaa.. tapi diakan anak laki satu-satunya di keluarga Abdurahman pengusaha batu bara. Sudah pasti dia akan mewarisi setengah dari harta ayahnya."

"Semakin kesini, kamu semakin matre ya, leen."

"Bukan matre sayang. Hanya menyesuaikan dengan kebutuhan hidup. Sudah nggak jaman menikah hanya modal cinta doang, memangnya cinta bisa dijual ganti beras?"

Ghania tak bisa untuk tidak tertawa mendengar pernyataan dari rekannya ini. Hati kecilnya membenarkan apa yang dikatakan Arleen. Manusia bisa hidup itu karena bisa makan. Bisa merasakan bahagia karena kebutuhannya tercukupi. Urusan cinta hari gini harus rela menduduki peringkat ke tiga setelah materi dan fisik. Saling mencintai tetapi tak memiliki pekerjaan, mau makan apa. Saling mencintai karena tak punya uang akan menarik hal kecil menjadi masalah besar dasar dari pertengkaran, karena sering bertengkar akhirnya mencari pasangan lain yang bisa membuat nyaman. Kalau sudah seperti ini apakah masih bisa di bilang cinta adalah segalanya.

Ghania meneruskan pekerjaannya memeriksa laporan keuangan kafe termasuk ketersedia stock bahan makanan dan laporan terkait operasional lainnya.

Namun sejenak pikirannya melayang ke pemuda santun bernama Syahidar Harris bin Abdurahman yang merupakan kakak kelasnya sewaktu SMA.

Si ketua ekstrakulikuler rohani islam yang sangat cerdas, bijak juga kalem. Walau mereka hanya setahun bersama dalam kegiatan luar sekolah, namun hubungan mereka tetap terjalin dengan baik karena ayah Ghania adalah teman baik sekaligus guru mengaji  ayah Harris.

Dari Harris juga akhirnya Ghania bisa mengikuti program beasiswa di Universitas Riyadh sementara Harris sendiri kuliah di Fakultas Teknik dan Teknologi Universitas King Saud di Riyadh, Arab Saudi. Awalnya pemuda itu mendapat beasiswa program pra S1 Ma'had Lughoh yaitu program persiapan bahasa Arab untuk orang ajam ( non- arab ) selama dua tahun atau 4 semester. Lalu lanjut ke program S1 fakultas Teknik dan Teknologi di Universitas yang sama.

Dari Arkan sahabat Harris, Ghania mengetahui kalau Harris memiliki hati kepadanya. Dan sejak itu, Ghania pun selalu menunggu kapan Harris akan  mengatakan perasaan pria itu padanya. Namun hingga kini pria itu tak pernah mengatakan apapun padanya. Obrolan mereka sekedar menanyakan kabar dan aktifitas apa yang dilakukan. Tak lebih dari itu. Namun Ghania masih saja menunggu Harris akan mengatakan perasaannya hingga saat ini.

Suara adzan maghrib sayup-sayup terdengar dari kejauhan, mengisyaratkan bagi siapa saja yang seiman untuk berhenti sejenak dan bermunajat pada sang Khalik, tak terkecuali Ghania.

Di kafenya, Ghania menyiapkan satu ruangan untuk mushola dan kamar mandi khusus bagi para pengunjung juga karyawan kafe yang ingin menjalankan ibadah sholat. Namun Ghania sendiri lebih memilih sholat diruang kerja, alasannya agar lebih khusuk . Selepas sholat seperti biasa Ghania turun kelantai satu untuk membantu karyawannya. Walau dirinya adalah pemilik dari kafe tersebut. Namun Ghania tak pernah berpangku tangan membantu pekerjaan karyawannya. Sehingga membuat hubungan mereka dekat layaknya teman dekat.

Tanpa Ghania sadari ada sepasang mata dengan netra abu-abu gelap sedang memandangi dirinya. Seorang pria berwajah khas pria Timur Tengah yang terkenal akan ketampanannya dengan rahang kokoh dan sorot mata tajam. Pria itu tersenyum tipis saat memperhatikan bagaimana Ghania berinteraksi dengan pengunjung kafe maupun karyawannya. Sangat natural dan hangat sehangat sajian kopi toraja yang dipesannya.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status