“Sama seperti Pamanmu, Kak Gita juga punya toko hanya saja bukan di kawasan pasar tanah abang blok A melainkan di jalan jati bunder, yang buka 24 jam,” jawab Randi yang mengetahui jika toko Pamannya Ridwan berada di kawasan Blok A pasar tanah abang. “Oh, jadi pasar tanah abang itu banyak ya, Bang?” “Ada 3 lokasi, pasar tanah abang di jalan jati bunder, lalu Blok A dan Blok F,” Randi menjelaskan karena Ridwan memang belum tahu banyak akan kawasan pasar tanah abang itu. “Kalau sekiranya aku ikut Abang Randi aja, gimana? Nanti aku bantu deh Bang Randi kerja di toko Kak Gita itu,” Randi terkejut mendengar permintaan dari Ridwan. “Loh, emangnya kamu nggak kerasan tinggal dan kerja bareng Pamanmu?” “Paman Ramli sih baik dan sangat ngertiin aku, akan tetapi Tante Ayu agaknya nggak suka dengan kehadiranku di rumahnya. Tadi malam aku sempat dengar pertengkaran Paman dan Tante menyangkut keberadaanku di rumah mereka, aku jadi nggak enak Bang.” “Kenapa Tantemu begitu? Setahuku kamu sosok y
“Aku mengerti Bang, aku hanya akan mengambil keputusan itu jika aku benar-benar tak sanggup lagi bertahan tinggal dengan mereka,” jawab Ridwan. “Hemmm, kamu nggak usah kuatir Ridwan. Aku dan Kak Gita akan menerimamu kapan saja kamu ingin tinggal bersama kami, kamu cukup beritahu nanti aku akan menjemputmu.” “Terima kasih, Bang,” ucap Ridwan. “Hemmm, sama-sama Ridwan. Yuk, kita makan nanti keburu dingin kurang enak,” Randi terseyum lalu mengajak Ridwan untuk menyantap pesanan yang mereka pesan di tempat itu. Sementara di toko milik Paman Ramli, Tante Ayu merasa penasaran kemana Ridwan dan menemui siapa? Karena dia sendiri tahu di Jakarta selain Ridwan tak memiliki saudara selain Paman Ramli. “Tadi Ridwan pamit mau ke mana, Bang?” “Oh, Ridwan mau ketemuan sama temannya,” jawab Paman Ramli sambil menata barang-barang dagangannya yang tak lama lagi toko itu akan ia tutup. “Teman? Bukannya Ridwan baru satu bulan di sini dan itupun nggak pernah ke mana-mana selain di toko ini dan di
Malam kian larut hujanpun tak kunjung reda sama derasnya air mata yang turun membasahi kedua pipi Kintani, dia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan untuk meredam rasa yang tiba-tiba hadir menyesakan dadanya. Semakin ia berusaha menepis bayangan wajah Ridwan, semakin lekat di pelupuk matanya.Karena tak kuasa dan tak tahu berbuat apa-apalagi, Kintani berserah diri pada Allah SWT dalam do’a di sholat tengah malam yang ia lakukan, setelah hatinya tenang barulah Kintani berbaring dan dapat pejamkan mata.“Tok, tok, tok. Kintani..! Yuk, berangkat kuliah bareng,” seru Dila dan Eva yang pagi itu berdiri di depan pintu kos-kosannya bersiap berangkat kuliah.Beberapa kali mereka mengetuk pintu dan memanggil, namun tak ada sautan dari dalam, hingga akhirnya Kintani tersentak kaget saat Dila dan Eva mengedor pintunya cukup keras.“Astaqfirullah, aku kesiangan!” kejut Kintani bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju pintu.“Waduh, kamu baru bangun, Kintani?” Eva terkejut dan heran m
“Oh, ya pas deh kalau begitu.” ujar Paman Ramli lalu menyeruput teh hangat yang baru dibuatkan pembantu rumah itu.Walaupun Ridwan tak begitu peduli berapapun yang diberikan Tante Ayu di dalam amplop yang saat ini masih berada di kantong celananya, namun Ridwan penasaran berapa potongan biaya makan-minum yang dimaksudkan Tantenya itu, Ridwan segera mengeluarkan amplop dari kantong celananya lalu membuka dan menghitungnya.“Rp. 3.500.000,- berarti biaya makan-minumku di rumah ini sebesar Rp. 1.000.000,- dipotong Tante,” gumam Ridwan dalam hati.Sejatinya Ridwan tak pernah meminta upah ataupun gaji dari kesehariannya membantu Paman Ramli di toko, akan tetapi sikap Tante Ayu yang semakin hari makin membuatnya tak nyaman jadi beban pikiran baginya. Terutama dengan pemotongan biaya makan-minum segala di rumah Pamannya, ia merasa seperti orang lain ataupun orang asing di rumah itu.Selepas sholat magrib Ridwan yang telah memperkirakan jika Randi tidak dalam keadaan sibuk di toko Kakaknya la
Siang itu sepulang dari masjid melaksanakan sholat jum’at, Ridwan bicara berdua dengan Pamannya sebelum sampai di toko kembali. “Paman, kapan Paman punya waktu untuk ketemuan dengan Bang Randi? Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan dengan Paman,” tanya Ridwan berjalan beriringan dengan Pamannya itu menuju toko. “Kan dulu Paman udah pernah bilang sama kamu untuk mengundang Randi ke rumah, nah kebetulan jika memang ada hal penting yang ingin ia sampaikan undang saja ia ke rumah besok malam,” tutur Paman Ramli. “Tapi Paman hal yang ingin ia sampaikan pada Paman itu cukup kita bertiga saja yang tahu, aku kuatir jika Tante Ayu mendengarnya akan salah paham nantinya,” ujar Ridwan. “Memangnya Randi mau ngomong soal apa? Kok sampai kamu merasa kuatir kalau Tantemu akan salah paham?” “Nanti jika kita udah ketemuan bertiga dan bicara, Paman pasti paham kenapa Bang Randi meminta bicarakan itu di luar bukan di rumah Paman.” “Oh ya udah, besok siang setelah zhuhur kamu telpon Rand
“Ya Bang, aku setuju. Nanti aku akan ajak Paman ke sana. Tapi Bang sebelumnya aku ingin tanya, apakah keinginanku ini udah Abang kasih tahu sama Kak Gita?” “Oh tentu udah dong, tadi Kak Gita ke sini dan aku juga ceritakan tentang kelakukan Tantemu itu. Kak Gita ikutan geram mendengarnya dan menyuruhku secepatnya mengajakmu untuk kerja dan tinggal bersama kami,” tutur Randi. “Oh ya udah kalau begitu, berarti besok siang udah sepakat kita ketemuannya di tempat yang kemarin itu ya, Bang?” “Iya Ridwan, aku akan tunggu kalian di sana.” “Oke Bang, hanya itu yang ingin aku sampain. Bang Randi silahkan untuk ngelanjutin kerjaannya, sampai ketemu besok. Assalamualaikum,” ucap Ridwan. “Waalaikum salam,” balas Randi sembari menutup panggilan di ponselnya. Di kenagarian P di rumah Kintani, Pak Wisnu dan Bu Anggini masih belum pejamkan mata meskipun mereka telah berbaring di pembaringan. “Abang yakin jika Kintani akan baik-baik saja di Padang?” Bu Anggini membuka pembicaraan di kamar itu.
“Loh, Mas Ridwan mau pindah ke mana?” “Ke rumah Abang dan Kakak angkatku, sekaligus bekerja di toko mereka.” jawab Ridwan. “Mas Ridwan baru 2 bulan di sini, kok udah dapat saudara angkat?” “Mereka anak Bapak dan Ibu angkatku di Kota Padang, sewaktu aku bekerja di kota itu sebelum ke sini. Kami sebenarnya telah saling kenal sejak lama meskipun baru kemarin kami bertemu dan bertatap muka,” tutur Ridwan yang sengaja menikmati kopi buatannya itu di dapur sembari bercakap-cakap dengan Bi Sumi. “Oh, jadi mereka udah lama juga tinggal dan punya usaha di Jakarta?” “Iya Bi, tapi Bi Sumi jangan bilang sama Tante ya?” “Tenang aja Mas, aku nggak akan ngomong itu sama Nyonya. Kalau boleh tahu juga apa alasan Mas memutuskan untuk pindah dan ikut saudara angkat Mas Ridwan itu?” tanya Bi Sumi sambil meneruskan kerjaannya membuat menu sarapan. “Seperti yang Bi Sumi ketahui kalau Tante Ayu nggak suka akan keberadaanku di rumah ini, meskipun pada kenyataannya aku keponakan kandung dari Paman Raml
“Baiklah kalau begitu Om setuju, jadi kapan rencananya cabang itu akan dibuka dan dijalankan?” “Besok siangpun bisa Om, tergantung Ridwan bersedianya kapan?” “Ya udah Ridwan, nanti malam selepas magrib Paman akan antar kamu ke rumah Kakak angkatmu itu,” “Nggak usah repot-repot Om, biar aku aja yang jemput Ridwan nanti ke rumah Om Ramli,” ujar Randi. “Nggak repot kok, justru aku senang sekalian bisa bertemu dan kenal dengan Gita.” “Oh ya udah, ini kartu namaku Om,” Randi menyerahkan kartu namanya agar Paman Ramli nanti mudah mencari alamat rumah mereka yang akan dituju. Cukup lama mereka ngobrol di tempat itu, hingga begitu kembali ke toko tak beberapa saat Paman Ramli pun menutup tokonya dan pulang ke rumah. Setibanya di rumah Paman Ramli meminta istrinya untuk duduk di ruang tengah, begitu pula dengan Ridwan untuk membicarakan hal berkaitan pertemuan dengan Randi tadi siang. “Ayu, setelah kami bertemu dengan seseorang yang aku katakan itu. Ternyata orang itu bukanlah pemasok m